Cerita ini dibuat berdasarkan penuturan langsung oleh Romelu Lukaku. Cerita ini membahas mengenai masa kecil Lukaku sebelum menjadi pemain sepakbola profesional. Tulisan ini pertama kali dipublikasikan oleh The Players Tribune. Baca bagian pertamanya dan keduanya.

***

Kami turun dari bus di stadion dan setiap pemain berjalan mengenakan setelan yang sangat keren. Kecuali saya. Saya keluar dengan mengenakan pakaian yang mengerikan. Semua kamera TV berada tepat di wajah saya. Butuh 300 meter dan tiga menit untuk berjalan dari tempat kami parkir menuju ruang ganti. Setelah saya duduk, saya mendapat 25 pesan dalam tiga menit. Teman-teman saya menggila.

“Bro, mengapa Anda ada di pertandingan?” “Rom, apa yang terjadi? Mengapa Anda ada di TV?”

Hanya satu pesan yang saya balas yaitu sahabat saya. Saya berkata, “Bro, saya tidak tahu apakah saya akan bermain atau tidak, tapi teruslah menonton TV.”

Pada menit ke-63, manajer meminta saya untuk bermain. Di usia 16 tahun dan 11 hari, saya berlari di lapangan mengenakan seragam Anderlecht. Kami memang kalah di final, tetapi saya sudah berada di surga. Saya menepati janji saya kepada ibu dan kakek saya.

Musim berikutnya, saya masih menyelesaikan pendidikan saya sembari bertanding bersama Anderlecht. Ketika klub ingin bermain di Liga Europa, saya harus membawa tas besar ke sekolah sehingga saya bisa langsung naik pesawat di sore hari. Di akhir musim kami memenangi liga dengan selisih poin sangat jauh dan saya menjadi top skor liga.

Saya memang mengharapkan itu semua terjadi, tetapi tidak secepat ini. Tiba-tiba media datang kepada saya dan mulai meletakkan harapan-harapan besar kepada saya apalagi berbicara mengenai tim nasional ketika saya tidak bermain bagus bersama mereka.

Tapi, ayolah. Saat itu saya masih berusia sekitar 18 hingga 19 tahun. Jika semuanya berjalan lancar, surat kabar akan menuliskan kalau saya adalah Romelu Lukaku, striker Belgia. Tetapi ketika semuanya tidak berjalan dengan baik, mereka akan memanggil saya Romelu Lukaku, striker Belgia keturunan Kongo.

Tidak masalah jika anda tidak suka cara saya bermain. Tapi saya adalah orang asli Belgia. Saya lahir di sini, dibesarkan di Antwerpen, Lier, dan Brussels. Mimpi saya adalah bermain untuk Anderlecht. Saya akan memulai dengan bahasa Prancis dan menyelesaikan dalam bahasa Belanda. Kemudian saya memasukkan beberapa bahasa Spanyol dan Portugis atau Lingala tergantung lingkungan kami. Tetapi saya orang Belgia.

Saya tidak tahu mengapa orang-orang di negara saya sendiri ingin melihat saya gagal. Saya benar-benar tidak menyangka. Mereka menertawakan saya ketika saya tidak bermain di Chelsea. Mereka kembali menertawakan saya ketika saya dipinjamkan ke West Brom.

Tapi saya senang. Orang-orang itu tidak bersama saya ketika saya makan sereal dengan campuran air. Jika anda bukan orang yang bersama saya ketika saya tidak punya apa-apa maka anda tidak akan pernah bisa memahami saya.

Anda tahu kisah apa yang paling lucu? 10 tahun saya tidak bisa menonton Liga Champions ketika masih kecil karena tidak punya TV. Saya datang ke sekolah dan semua anak membahas final Liga Champions dan saya tidak tahu apa-apa. Yang saya ingat kejadian itu terjadi pada tahun 2002 ketika Madrid bermain melawan Leverkusen dan semua orang berkata, “Tendangan voli! Ya Tuhan, tendangan voli.”

Saat teman-teman berbicara tentang sepakbola, saya harus pura-pura tahu apa yang mereka bicarakan. Dua minggu kemudian, kami sedang di kelas komputer dan teman saya mengunduh video dari internet, dan akhirnya saya melihat Zidane yang mencetak gol dari tendangan voli tersebut.

Musim panas 2002, saya pergi ke rumah teman untuk menonton final Piala Dunia 2002 dan melihat Ronaldo. Cerita sebelum final hanya bisa saya dengar dari mulut teman-teman saya. 12 tahun setelah kejadian itu, saya bermain di Piala Dunia.

Sekarang saya bermain di Piala Dunia lainnya. Saya hanya ingin mengajak orang-orang di luar sana untuk bersenang-senang pada Piala Dunia kali ini. Hidup terlalu singkat untuk stress dan drama.

Saat saya kecil, saya tidak bisa menonton Thierry Henry di Match of The Day. Sekarang justru saya bisa bekerjasama dengan Henry (Thierry Henry adalah asisten pelatih Belgia, Roberto Martinez). Saya berdiri dengan legenda dan memberi tahu saya bagaimana caranya mencari ruang seperti yang ia lakukan.

Saya berharap kakek saya bisa melihat apa yang sudah saya raih sekarang ini. Bukan Manchester United, bukan Liga Champions dan bukan juga soal Piala Dunia. Saya berharap punya satu kesempatan lagi untuk menelepon dia agar saya bisa berkata, “Lihat kek. Ibu baik-baik saja. Tidak ada tikus di apartemen. Kami tidak lagi tidur di lantai. Tidak ada stress. Kehidupan kami membaik sekarang.”

“Dan untuk orang-orang di luar sana, mereka sudah tidak perlu memeriksa kartu pengenal saya lagi karena sekarang orang-orang sudah tahu siapa saya.”

tamat

(1) Romelu Lukaku: Masa-Masa Penuh Kesulitan
(2) Romelu Lukaku: Tentang Amarah yang Terpendam
(3) Romelu Lukaku: Tak Perlu Lagi Kartu Pengenal