Cerita ini dibuat berdasarkan penuturan langsung oleh Romelu Lukaku. Cerita ini membahas mengenai masa kecil Lukaku sebelum menjadi pemain sepakbola profesional. Tulisan ini pertama kali dipublikasikan oleh The Players Tribune. Bagian pertamanya baca di sini.

***

Saya hanya ingin menjadi pemain terbaik dalam sejarah Belgia. Itulah tujuan saya. Tidak perlu menjadi yang terhebat tapi saya hanya ingin menjadi yang terbaik. Saya bermain dengan begitu banyak memendam amarah. Marah karena tikus banyak berkeliaran di apartemen kami, marah karena saya tidak bisa menonton Liga Champions. Dan marah karena pandangan orang-orang ketika melihat diri saya.

Pada usia 12 tahun, saya mencetak 76 gol dalam 34 pertandingan. Saya mencetak gol tersebut dengan memakai sepatu ayah. Kami terbiasa berbagi sepatu karena ukuran kaki kami sama.

Suatu hari saya menelepon kakek yang merupakan ayah dari ibu saya. Dia adalah orang penting dalam hidupku. Dia adalah penghubung jika saya kembali ke Kongo, tempat ayah dan ibu berasal. Suatu hari saya berbicara denganya dan berkata, “Saya bermain baik dan mencetak 76 gol. Kami juga memenangi liga dan tim besar memperhatikan saya.”

Biasanya dia selalu tertarik dengan sepakbola yang saya mainkan. Tapi kali ini segalanya berjalan aneh. Dia berkata, “ Ya, Rom, itu hebat. Tapi bisakah kamu membantu saya?”

Saya berkata, “Ya, apa itu?”

Dia berkata, “Tolong jaga anak saya (Ibu Lukaku).”

Saya bingung dengan apa yang dia ucapkan. Saya berkata, “Ibu? Ya kami baik-baik saja.”

Dia berkata lagi, “Tidak, berjanjilah kepada saya. Bisakah kamu berjanji kepadaku? Jaga dia untukku, oke?”

Saya menjawab, “Ya, kakek. Saya berjanji.”

Lima hari kemudian, kakek meninggal. Kemudian saya paham apa yang dia maksud. Saya benar-benar sedih karena saya berharap dia bisa hidup minimal empat tahun lagi untuk melihat saya bermain untuk Anderlecht. Untuk melihat kalau saya menepati janji saya.

Saya berhasil menepati janji saya. Saya bermain untuk Anderlecht di usia 16 tahun meski terlambat 11 hari.

Pada 24 Mei 2009, Anderlecht bermain melawan Standard Liege pada babak Play Off. Itu adalah hari paling gila dalam hidup saya. Mundur sedikit di awal musim ketika saya nyaris tidak bermain sama sekali untuk tim U19 Anderlecht. Pelatih menyingkirkan saya. Saya berpikir, “Bagaimana bisa saya menandatangani kontrak profesional pada hari ulang tahun saya ke-16 jika saya masih jadi pemain cadangan di tim U19?”

Kemudian saya bertaruh dengan pelatih kami. Saya mengatakan, “Jika Anda benar-benar memainkan saya maka saya jamin akan mencetak 25 gol pada bulan Desember.”

Mendengar hal itu dia menertawakan saya. Tetapi saya serius. Dia berkata, “Oke, tetapi jika kamu tidak mencapai 25 gol pada bulan Desember maka anda akan ke bangku cadangan.”

Saya membalas, “Baik, tetapi jika saya menang maka Anda akan membersihkan mobil van yang membawa pemain pulang dari latihan serta membuat pancake untuk para pemain setiap hari. Dia menjawab, “Oke.”

Yang terjadi kemudian adalah saya sudah mencetak 25 gol pada bulan November dan kami makan banyak pancake sebelum Natal. Itu adalah pelajaran kalau Anda tidak boleh main-main dengan seorang anak laki-laki yang lapar.

Di ulang tahun saya ke-16, saya menandatangani kontrak profesional dengan Anderlecht. Setelah kontrak ditandatangani saya langsung keluar membeli konsol Play Station dengan game FIFA terbaru. Saat itu sudah memasuki akhir musim dan keadaan di rumah sangat dingin. Liga Belgia saat itu berjalan sangat gila. Anderlecht dan Standard Liege memiliki poin sama sehingga keputusan siapa yang akan juara ditentukan oleh sepasang laga play off.

Pada leg pertama, saya haya menonton di rumah sebagai penggemar. Kemudian sehari sebelum leg kedua, saya mendapat telepon dari pelatih tim cadangan.

“Halo?”

“Halo, Rom. Kamu sedang apa?”

“Bermain sepakbola di taman.”

“Saya minta sekarang kamu kemasi barang-barangmu. Sekarang.”

Saya menjawab, “Apa yang saya lakukan?” Dia kemudian menjawab, “Kamu ke stadion sekarang karena tim pertama menginginkanmu.”

Mendengar hal itu saya kaget. Saya lari ke kamar ayah dan berkata, “Ayah cepat bangun. Kita harus pergi.”

Dengan malas dia berkata, “Pergi ke mana?”

Saya menjawab, “Anderlecht.”

Saya tidak lupa ketika saya muncul ke stadion, saya berlari ke ruang ganti dan pengurus perlengkapan (Kitman) berkata, “Oke, bocah, kamu mau memakai nomor berapa?”

Dengan percaya diri saya menjawab, “saya ingin nomor 10.” Kemudian dia tertawa sambil berkata, “pemain akademi harus mengambil nomor 30 ke atas.”

Saya berkata, “Oke, saya pilih 36 karena tiga ditambah enam menjadi sembilan. Itu angka yang keren. Berikan saya nomor 36.”

Di hotel, para pemain senior meminta saya menyanyikan sebuah lagu untuk mereka saat makan malam. Saya tidak ingat apa yang saya nyanyikan. Keeskokan paginya, seorang teman datang ke rumah untuk mengajak saya bermain bola. Ibuku berkata, “Dia sudah pergi bermain.” Teman saya berkata, “Bermain di mana?” Ibuku menjawab, “final.”

(1) Romelu Lukaku: Masa-Masa Penuh Kesulitan
(2) Romelu Lukaku: Tentang Amarah yang Terpendam
(3) Romelu Lukaku: Tak Perlu Lagi Kartu Pengenal