Cerita ini dibuat berdasarkan penuturan langsung oleh Romelu Lukaku. Cerita ini membahas mengenai masa kecil Lukaku sebelum menjadi pemain sepakbola profesional. Tulisan ini pertama kali dipublikasikan oleh The Players Tribune.

***

Saya ingat masa-masa ketika kami tidak memiliki uang. Aku bisa membayangkan bagaimana raut wajah ibuku ketika berdiri di depan kulkas. Saya masih berusia enam tahun dan saya pulang untuk makan siang saat istirahat sekolah. Menu makanan saya selalu sama setiap hari yaitu roti dan susu. Ketika masih kecil, Anda tidak memikirkan makanan yang Anda makan karena itulah yang pantas kami makan.

Suatu hari saya pulang ke rumah dan berjalan ke dapur. Saya melihat ibu di dekat kulkas dengan kotak susu seperti biasa. Tapi kali ini dia mencampurkan sesuatu dalam susu tersebut. Dia mengguncang kotak susu di tangannya. Saya tidak tahu apa yang dilakukan ibu. Dia hanya tersenyum seperti segalanya tidak terjadi apa-apa. Tapi saya sadar apa yang telah terjadi.

Dia mencampur susu dengan air. Kami tidak punya uang untuk membeli susu yang baru. Kami tidak hanya miskin, tapi tidak punya uang sepeserpun. Ayah adalah pesepakbola profesional, tetapi dia berada pada akhir karier dan uangnya mulai habis. Hal pertama yang pergi dari keluarga kami adalah TV berbayar. Tidak ada lagi pertandingan sepakbola. Tidak ada lagi Match of the Day (Acara Highlights Premier League tertua di Inggris). Tidak ada lagi sinyal.

Baca juga: Romelu Lukaku: Berikan Rasa Hormat Sedikit untuk Saya

Kemudian saya pernah pulang pada malam hari dan melihat semua lampu telah dimatikan. Selama dua hingga tiga minggu, kami hidup tanpa listrik.

Ketika saya ingin mandi, tidak ada air panas. Ibu akan memasak air di dalam ketel dan aku akan berdiri di kamar mandi dengan air hangat yang kusiram kebadan dengan memakai cangkir.

Bahkan ada masa ketika ibuku harus berhutang roti. Penjual roti mengenal saya dan adik laki-laki saya (Jordan Lukaku), jadi dia membiarkan ibu mengambil beberapa roti pada hari Senin dan membayarnya pada hari Jumat.

Baca juga: Lukaku Pindah dari Everton Karena Voodoo?

Saya tahu kami benar-benar terpuruk. Tetapi ketika saya melihat Ibu mencampur air dengan susu saya sadar kalau inilah kehidupan kami sebenarnya.

Saya tidak ingin mengeluarkan kata apapun. Saya tak ingin orang tua saya stress. Saya selesai makan siang lalu bersumpah kepada Tuhan kalau saya tidak mau melihat ibu saya hidup seperti itu.

Orang-orang di sepakbola berbicara apa itu kekuatan mental. Dan saya adalah contoh pria terkuat yang Anda temui. Saya ingat dalam kegelapan bersama saudara laki-laki dan ibu mengucapkan doa-doa kami dan berpikir kalau kehidupan yang lebih baik akan terjadi.

Beberapa hari kemudian saya pulang dari sekolah dan melihat ibu menangis. Akhirnya saya memberi tahu kepada ibu, “Bu, kehidupan kita akan berubah. Saya akan bermain sepakbola untuk Anderlecht dan itu akan terjadi suatu hari nanti. Ibu tidak perlu khawatir.”

Saya masih berusia enam tahun dan berkata kepada ayah, “Kapan Anda mulai bermain sepakbola profesional?” Ayah menjawab, “16 tahun.” Saya berkata, “Baiklah di usia 16 tahun.” Dan kemudian segalanya terjadi (Lukaku bermain untuk Anderlecht pertama kali di usia 16 tahun).

Baca juga: Tentang Impian Romelu Lukaku ‘Gantung Sepatu’ di Anderlecht

Saya ingin memberi tahu kepada semuanya kalau setiap permainan di mata saya layaknya partai final. Ketika saya bermain di taman, itu adalah final. Saat bermain di jam istirahat ketika masih TK, saya juga menganggapnya seperti final. Saya selalu serius. Saya selalu mencoba untuk menendang bola dengan kekuatan penuh hingga katup udaranya terlepas. Tidak perlu tombol R1, tidak perlu game FIFA karena saya tidak punya Play Station. Saya hanya mencoba untuk membunuh Anda melalui tembakan saya.

Saat badan saya tumbuh lebih tinggi, beberapa guru dan orang tua menekan saya. Saya tidak akan pernah melupakan saat pertama kali saya mendengar salah satu orang dewasa berkata, “Hei, berapa umurmu? Tahun berapa kamu lahir?”

Ketika usia saya 11 tahun, saya bermain untuk tim muda Lierse, dan salah satu orang tua dari tim lain mencoba menghentikan saya untuk bermain dengan terus berkata, “Berapa usia anak ini? Mana kartu pengenalnya? Darimana dia berasal?”

Saya berpikir, “Apa yang mereka katakan? Saya lahir di Antwerp dan saya benar-benar asli Belgia.”

Sayangnya ayah tidak ada di dekat saya karena dia tidak punya mobil untuk dikendarai. Saya harus membela diri saya sendirian. Saya pergi lalu membawa kartu pengenal saya dan menunjukkan ke semua orang tua dan mereka mengamatinya. Saya ingat darah saya mengalir melalui pikiran saya dan berpikir, “Ok, saya akan menghancurkan putra Anda lebih sakit lagi daripada ini. Saya akan membuat orang tua yang ada di sini pulang dengan membawa anak-anak mereka dengan kondisi menangis.”

Baca seri tentang Romelu Lukaku:

(1) Romelu Lukaku: Masa-Masa Penuh Kesulitan
(2) Romelu Lukaku: Tentang Amarah yang Terpendam
(3) Romelu Lukaku: Tak Perlu Lagi Kartu Pengenal