Foto: Mirror.co.uk

Kesan tidak mau kalah memang tidak bisa lepas dari dua kesebelasan ini. Musim 2010/2011, Dimitar Berbatov mencetak tiga gol saat keduanya bertemu di Old Trafford. Namun, pada April 2011 Dirk Kuyt melakukan hal serupa ke gawang United saat ganti menjamu mereka di Anfield.

“Ketiga gol saya ke gawang Manchester United adalah gol-gol mudah. Gol-gol yang sudah sering saya ciptakan ketika saya masih bermain di Belanda sebagai seorang penyerang tengah. Sebuah permainan yang sempurna karena Anda selalu bermimpi mencetak tiga gol melawan United,” kata Kuyt.

Namun perseteruan paling panas terjadi pada era 1990-an, United datang dengan segerombolan anak muda yang mencuri perhatian dengan nama Class of 92. Ryan Giggs, Paul Scholes, Neville bersaudara, David Beckham, dan Nicky Butt hadir untuk meremajakan skuat United saat itu.

Liverpool juga tidak mau kalah. Robbie Fowler, David James, Steve McManaman, Jammie Redknapp, Jason McAteer, Paul Ince, dan Stan Collymore datang dengan label ‘Spice Boys’. Label yang pertama kali diberikan oleh media Daily Mail.

Jika Class of 92 dipuja karena apa yang mereka lakukan di atas lapangan, maka ‘Spice Boys’ disorot karena gayanya yang dinilai glamor dan penuh kemewahan, namun tapi prestasinya bersama Liverpool biasa-biasa saja. ‘Spice Boys’ dianggap hanya menang gaya dan penuh dengan sensasi, apalagi ketika Robbie Fowler digosipkan berhubungan dengan Emma Burton, penggawa Spice Girls.

Pada final Piala FA 1996, seluruh skuat Liverpool datang ke Wembley dengan memakai jas putih keluaran Armani. Stadion megah itu menjadi panggung mereka untuk bergaya. Lantas apa hasilnya? Mereka yang bergaya itu tumbang 1-0 melalui gol Eric Cantona. Remaja bertalenta menang melawan pemain banyak gaya.

Foto: Liverpool Echo

“Saya berkata kepada Brian Kidd kalau kemenangan 1-0 disebabkan karena itu (jas Armani). Apa yang mereka lakukan sebenarnya? Sombong atau terlalu percaya diri? Itu konyol. Kemeja biru, dasi merah, jas putih. Ada yang bilang kalau yang membuatnya adalah Armani, saya yakin penjualannya akan turun. Yang menarik adalah ketika Roy Evans (manajer Liverpool) dan Ron Moran memakai setelah hitam. Saya yakin kalau mereka malu,” sindir Ferguson.

“Liverpool itu klub yang hebat dan punya sejarah yang bagus. Tapi apa yang terjadi saat itu benar-benar tidak mencerminkan Liverpool yang sebenarnya.”

Rasa malu Liverpool memang berlipat ganda. Sebelum dikalahkan di final, legendanya mempermalukan diri dengan menyebut kalau Class of 92 tidak akan bisa menjuarai apa-apa. Beberapa bulan kemudian, sang legenda justru terdiam melihat si anak muda angkat piala sedangkan klubnya dipenuhi pemain yang banyak gaya.

“Orang-orang mengingatkan saya tentang jas putih itu sepanjang waktu. Tetapi saya yakin kalau kami menang pada laga itu, maka jas itu tidak akan pernah dibahas. Kami pada akhirnya kalah dan jas itu yang menjadi lebih terkenal,” tutur Fowler

Banyak sekali momen-momen ketika Liverpool dibuat malu oleh United. Sebut saja kesalahan Jerzy Dudek di Anfield yang membuat Diego Forlan mendapat gol gratis. Atau gol menit terakhir John O’Shea dan salto Juan Mata yang menyakitkan. Bahkan Jammie Carragher membuat dua gol bunuh diri di depan pendukungnya sendiri.

“Saya tidak ingat apa yang terjadi saat itu. Tapi itu adalah pertandingan yang membuat beban saya begitu berat. Setelah kejadian itu, saya harus belajar posisi baru atau saya akan keluar dari Liverpool,” kata Carragher.

Akan tetapi, tidak selamanya Liverpool menjadi pihak yang tertindas. United juga pernah dibuat kesal oleh tingkah para pemain mereka. Musim 1995/1996 berakhir lebih cepat bagi Andy Cole. Apa sebabnya? Kakinya patah oleh penggawa Liverpool, Neil Ruddock. Yang menarik, duel tidak terjadi di level tertinggi melainkan laga tim cadangan.

“Saya senang menerjang Andy Cole. Saya paham kalau saya tidak pantas melakukan hal tersebut dengan mematahkan dua kakinya. Tapi saat itu, dia membuatku ksal. Jika saya boleh jujur, saya hanya ingin mematahkan satu kakinya saja, tapi ternyata tekel saya begitu hebat,” tuturnya.

Tidak hanya Ruddock, Jonjo Shelvey memantik amarah ketika menyebut Sir Alex Ferguson membayar wasit saat ia dikartu merah pada pertandingan musim 2012/2013. Sebuah aksi yang kemudian diikuti dengan permintaan maaf dari si pemain.

Yang paling menyebalkan adalah setiap kali Steven Gerrard mencetak gol di Old Trafford, ia akan merayakannya dengan mencium kamera. Mencium logo hanya akan membuat senang pendukungnya saja, namun mencium kamera maka ada isyarat kalau ia juga memberikan ciuman kepada penggemar United yang menyaksikan laga dari layar kaca. Penggemar United sudah pasti risih dengan hal tersebut.

“Saat saya melakukannya, saya merasa kalau para pemain United akan menghajar saya karena hal itu,” kata Stevie G. Menurut kapten fantastik tersebut, perayaan cium kamera itu ia lakukan agar pendukung Setan Merah merasa frustrasi.

Rasa frustrasi yang kemudian mengarah ke diri sang kapten sendiri. Dia menggagalkan kesempatan membawa timnya menjadi juara Premier League pertama kalinya akibat terpeleset saat melawan Chelsea. Sebuah tragedi yang diabadikan oleh para penggemar Setan Merah melalui spanduk bertuliskan “Selamat tinggal Gerrard, kembalilah ketika kau memenangkan satu saja”.

Pada akhirnya, Gerrard memang tidak memenangkan satu pun titel Premier League. Pertemuan terakhirnya dengan United bahkan diwarnai aksi konyol dengan kartu merah yang didapat hanya 38 detik setelah dirinya menginjakkan rumput Anfield.

“Pendukung United berbahagia di atas penderitaan saya. Saya hanya butuh 38 detik untuk keluar dari pertandingan melawan Manchester United. Selama 38 detik saya menjadi pusat perhatian dari setiap aksi emosi saya yang ganas. 38 detik yang didefinisikan oleh kemarahan dan kegilaan,” kata Gerrard.

Tokoh utama kemudian berubah silih berganti. Namun rivalitas tampak tidak akan pernah selesai. Selagi nama Liverpool dan Manchester United masih ada, maka permusuhan di atas lapangan harus dijaga. Api kebencian harus dibiarkan menyala dan (mungkin) baru mati setelah para pemain berubah menjadi individu. Inilah yang membuat sepakbola selalu menarik untuk disaksikan dan dalam hal ini adalah pertemuan antara Liverpool dengan Manchester United.