Sudah banyak laga Derby Manchester yang pernah saya saksikan selama saya mengikuti perkembangan sepakbola Inggris, khususnya Manchester United. Dari situ pula banyak memori yang melekat dalam ingatan terkait pertandingan besar tersebut.

Sebut saja jersey polos United pada 2008, lalu gol krusial Owen setahun setelahnya. Atau yang paling menggelegar ketika Wayne Rooney membuat Joe Hart melongo karena tendangan saltonya.

Tidak hanya memori indah, memori pahit mau tidak mau juga turut merasuk ke dalam ingatan. Salah satu yang pasti akan terus melekat tentu hasil laga yang terjadi 12 tahun lalu. Sebuah hasil yang mungkin masih tampak sulit diterima oleh suporter United, termasuk saya.

***

23 Oktober 2011, pekan kesembilan Liga Inggris musim 2011/2012 mempertemukan United dan City di Old Trafford. Berbeda dari sebelumnya, aura persaingan kedua kesebelasan tampak begitu terasa. Maklum saja, inilah kali pertama United dan City berduel sebagai tim peringkat pertama dan kedua di klasemen sementara.

Dulu, duel United dengan City layaknya David versus Goliath. City dikenal sebagai tim semenjana yang lebih suka main di papan tengah atau papan bawah. Beda dengan Setan Merah yang sudah dikenal sebagai klub kelas wahid.

Akan tetapi, semua berubah ketika City mulai kedatangan Sheikh Mansour. Pelan-pelan City mulai bisa merangkak naik dan kemudian mampu meraih gelar Piala FA pada 2011 yang membuat kepercayaan diri mereka semakin meningkat.

City boleh saja semakin percaya diri. Tapi United juga saat itu datang dengan status sebagai penguasa baru Liga Inggris setelah menggusur Liverpool sebagai pemilik titel terbanyak. Jadi, masih sulit rasanya bagi tim kaya baru sekelas City untuk bisa menggusur tetangganya itu dari status sebagai klub terbaik di Manchester.

Mancini juga sadar betul akan hal itu. Itulah kenapa dia tidak mau jemawa meski timnya ada di puncak dan unggul dua angka dari United. Dia tahu kalau Ferguson punya segala cara untuk bisa memenangkan laga bergengsi ini. Apalagi United bermain di rumah sendiri dan City tidak bisa memainkan Carlos Tevez karena kasus indisipliner.

Akan tetapi, segalanya tampak berbeda di atas lapangan. United yang bermain sebagai tuan rumah justru tampak kebingungan. Mereka hanya mampu mendominasi tamu sepuluh menit saja. Setelahnya, kendali dipegang City sampai kemudian mereka mencetak gol melalui Mario Balotelli pada menit ke-22. Dalam proses gol itu terlihat jelas formasi 4-4-2 ala Fergie kesulitan mengatasi permainan 4-2-3-1 ala Mancini. Balotelli bahkan tidak dalam penjagaan untuk bisa mengelabui De Gea.

Setelah kebobolan United tampak semakin menderita. Agresivitas David Silva, Gareth Barry, dan Yaya Toure benar-benar telak mengalahkan Darren Fletcher dan Anderson pada saat itu. Hingga memaksa United harus sedikit mengendurkan permainan menyerang mereka. Bola-bola pendek City benar-benar merepotkan yang memaksa Jonny Evans menarik Balotelli yang membuatnya harus mendapat kartu merah.

Hilang satu pemain membuat City semakin leluasa. Gol kedua dari Balotelli dan gol pertama Sergio Aguero pada Derby Manchester membuat skor menjadi 3-0. Old Trafford terdiam.

United dikenal sebagai tim yang pantang untuk menyerah. Itulah yang kemudian dilakukan Ferguson. Tidak ada kamus bertahan dalam otak sang Gaffer. Sisa 10 menit, tidak ada salahnya untuk menyerang.

Hal itu membuahkan hasil. Saat Rooney digeser ke tengah, United mendapat gol melalui Darren Fletcher. Naas, gol itu justru memantik City untuk semakin mempermalukan United. Dari menit ke-89 hingga 90+3, gawang De Gea kemasukan tiga gol lagi. David Silva yang melambaikan tangan tanda sudah lima gol masuk ke gawang United, justru dipertegas oleh Dzeko melalui satu jempol tambahan untuk membuat simbol angka enam. 1-6.

Semuanya hening. Tidak biasanya Old Trafford setenang hari itu. Sepi semakin terasa ketika banyak dari para penggemar mulai meninggalkan stadion. Bahkan saat skor masih 3-1, penggemar City semakin menggila dengan chant  “Hanya 3-1, 30 ribu kursi kosong.”

Tampak mereka yang berpihak untuk United tidak bisa menahan malu. Red Army membisu tidak percaya. Ada yang terbengong, ada juga yang hanya bisa menutup wajah penuh rasa kekecewaan. Inilah kemenangan terbesar yang pernah terjadi di laga derby Manchester yang sayangnya kemenangan itu justru diraih oleh City.

Hasil ini menandakan kekalahan terburuk United di kandang sejak 1955. Ini kali pertama pula United kemasukan enam gol sejak 1930. Ferguson sadar kalau kekalahan besar ini datang dari keputusannya yang tetap memaksa untuk bermain menyerang meski sudah kemasukan tiga gol. Pada akhir wawancaranya, Ferguson menyebut kalau ia benar-benar hancur karena kekalahan tersebut.

Ferguson tampak kena mental. Trauma itu kemudian menjalar ke para pemainnya. Saat kembali berlaga tiga hari kemudian pada Piala Liga melawan Aldershort, raut para pemain United tampak belum bisa melupakan kekalahan mengerikan itu. Bahkan setelahnya penampilan United yang biasanya menghibur cenderung pragmatis. Tiga poin harus bisa diraih meski kemenangan yang mereka raih hanya dengan skor 1-0.