Tim perempuan Arsenal baru saja memenangi kejuaraan FA Women’s Super League untuk ketiga kalinya sepanjang sejarah. Mereka unggul empat poin dari Manchester City. Menurut Yamadipati Seno, Vivianne Miedema dan rekannya lebih pantas menggantikan Alexander Lacazette dkk., karena dianggap lebih memiliki mental pemenang dibanding mereka yang laki-laki.
***
Apa yang terjadi kepada Arsenal sebenarnya sama dengan yang dialami Manchester United. Jika saya menyebut United dan Arsenal memiliki solidaritas tinggi, maka Seno lebih pedas lagi dengan menyebut dua klub ini sedang berlomba menjadi pecundang sejagad raya. Di saat tim perempuan mereka bermain elegan dan penuh determinasi, maka tim laki-lakinya bermain semenjana seperti tidak punya semangat juang untuk meraih kemenangan.
Bagaimana tidak, sudah dikasih kesempatan berkali-kali untuk naik posisi, United masih betah saja di peringkat keenam. Kegiatan itu terus mereka ulangi sampai Minggu kemarin. Saat Arsenal menderita tiga kekalahan beruntun, United juga ikut-ikutan untuk gagal menang. Bilangnya ingin main di Liga Champions, tapi apa daya skillnya lebih cocok untuk Liga Europa.
Hal ini sangat kontras jika dibandingkan dengan tim perempuannya. Mereka yang girly lebih mengerti apa makna seragam United di dada. Mereka paham kalau tim mereka mempunyai julukan yang menakutkan yaitu Setan Merah. Oleh karena itu, mereka harus bermain layaknya setan yang mampu membuat lawan-lawannya ketakutan.
Mereka bahkan justru kesetanan di setiap pertandingan. Dari 19 pertandingan, hanya satu kali mereka mencetak satu gol selama 90 menit. Sisanya, minimal tiga gol mereka cetak. 5-0, 6-1, 7-0, 8-0, 9-0, dan 12-0, adalah skor-skor yang pernah diraih skuad asuhan Casey Stoney ini pada kompetisi liga.
Liga mereka memang masih divisi dua, tapi patut diingat kalau tim ini baru dibentuk belum genap setahun. Dengan pemain hasil blusukan dan cabutan dari sana-sini, mereka bisa membentuk tim yang sangat padu. Chemistry mereka terjalin rapi. Berbeda dengan tim laki-lakinya. Pemain senior macam Chris Smalling dan Phil Jones saja tidak bisa bermain padu meski sudah lama memperkuat tim ini.
Menurut Casey Stoney, tim perempuan United bisa bermain bagus karena ada sesi latihan tinju dan tari bagi mereka. Dengan tinju, mental para pemain ini terangkat. Sedangkan tari berguna untuk membuat para pemain ini kompak karena banyak dari mereka yang tidak bisa menari. Dengan kelas tari, para pemain ini akan saling tertawa satu sama lain sehingga hubungan sesama mereka menjadi semakin erat.
“Tujuan kami bertinju adalah untuk membentuk karakter tim. Saya percaya ini bisa membawa pemain keluar dari zona nyaman. Kami juga membawa guru tari yang akan memaksa para pemain menari di depan rekannya. Ini cara kami memandang kerja sama dan cara berdinamika satu sama lain,” kata Casey
Jenius bukan? Mungkin ada baiknya Ole melakukan hal serupa pada pra-musim nanti. Bekal dia bahkan jauh lebih banyak. Beberapa pemain United punya badan yang mayoritas cocok menjadi petinju. Beberapa dari mereka bahkan suka menyaksikan pertandingan tinju. Soal tari? Hmmm…Pogba dan Lingard itu ibaratnya Saiful Jamil dan Nassar. Ada musik sedikit, mereka akan langsung menggoyangkan badannya. Tugas Ole mudah, hanya memaksimalkan potensi mereka semua agar dapat membentuk chemistry yang nantinya membuat mereka kembali kesetanan di atas lapangan.
Perjuangan United saat ini masih setengah-setengah. Hasrat mereka bermain terkadang hanya beberapa menit saja. Laga melawan City dan Chelsea contohnya. Berapi-api dalam 45 menit pertama, semangat tiba-tiba mengendur pada babak kedua. Seolah-olah mereka hanya punya tugas mencetak gol pada babak pertama saja. Beda dengan tim United perempuan yang memanfaatkan benar 90 menit untuk mencari gol, gol, dan gol.
Saat ini, mental kesetanan itu yang hilang dari tim laki-laki. Para pemain di atas lapangan seperti tidak mau berjuang dan sudah pasrah kalau mereka adalah tim kalahan. Kekalahan adalah suatu akibat dari sebuah permainan. Para penggemar juga tidak akan menuntut United untuk selalu menang di setiap pertandingan. Namun kekalahan akan tetap dihargai begitu tinggi apabila mereka mendapatkannya setelah melalui perjuangan dan usaha keras selama 90 menit. Tim perempuan United sudah memberikan contoh bagaimana menghargai lambang United di dada.