{"aigc_info":{"aigc_label_type":0,"source_info":"dreamina"},"data":{"os":"web","product":"dreamina","exportType":"generation","pictureId":"0"},"trace_info":{"originItemId":"7506737786259508533"}}

Mayoritas penggemar Manchester United mungkin amat membenci Keluarga Glazers. Padahal, secara teknis mereka tidak menghancurkan klub ini secara jelas. Bahkan, mereka masih menggelontorkan ratusan juta paun setiap tahunnya untuk merekrut pemain-pemain yang dibutuhkan. Namun, mengapa mereka dibenci?

Hanya Dibenci Penggemar

Seperti diceritakan Jonathan Liew dari The Guardian, ada momen ketika Joel, Avram, dan Bryan pertama kali datang ke Megastore United. Mereka disambut oleh para penggemar yang marah sampai meneriakkan “Die Glazers Die”.

Di dalam Megastore, ketiga orang ini tampak tak peduli. Mereka berbelanja, lalu pulang dengan aman karena dijaga oleh sekelompok aparat. Lagipula, Megastore itu adalah miliknya; sebagai pemilik Manchester United.

Suporter United tentu tahu bahaya laten dari kehadiran Glazers. Mereka pun menaruh harapan pada sejumlah pihak, termasuk sang legenda, Sir Bobby Charlton. Namun, Sir Bobby malah meminta maaf pada Glazers atas kelakuan para suporter.

Rasa pengkhianatan juga dirasakan suporter United saat David Gill justru jadi orang pertama yang menyalami Glazers ketika turun dari mobil. Gill adalah CEO United yang awalnya menolak pembelian oleh Glazers. Namun, ia justru berupaya membuat transisinya lancar yang membuat gajinya dinaikan dua kali lipat.

Hal paling menyedihkan malah dirasakan ketika Sir Alex Ferguson balik menyerang para pembenci Glazers. Kepada suporter yang tidak puas dalam perjalanan ke Budapest, ia justru menyarankan untuk “pergi dan dukunglah Chelsea”. Tujuh tahun kemudian, sikap Fergie dalam membela Glazers masih sama; di mana ia bilang kalau banyak suporter di United yang merasa mereka adalah pemilik klub.

Satu-satunya harapan suporter United adalah pemerintah. Namun, pemerintahan yang dijalankan oleh Partai Buruh justru menolak untuk menyelidiki pengambilalihan tersebut. Padahal, banyak anggota parlemen mereka yang mendesak. Pun dengan media yang memilih menjilat Glazers karena mendapatkan imbalan. Karena hal ini, kekuatan Glazers sebenarnya tidak cuma berasal dari mereka sendiri, tapi dari semua orang berpengaruh, bukan cuma di United tapi juga di Inggris.

Kenapa Glazers Dibenci?

Hal yang paling utama adalah karena cara mereka membeli Manchester United dilakukan dengan culas. Mereka mengeluarkan sedikit uang mereka sendiri, lalu berutang. Sialnya, utang pembelian ini justru yang harus dibayar oleh Manchester United.

Suporter United sialnya hanya dianggap sebagai seseorang yang tugasnya hanya bersorak dan membela klub secara membabi buta. Padahal, mereka membayar. Kita semua mesti berusaha untuk bisa menonton United. Kalau mereka tur ke Asia Tenggara, berapa banyak yang mesti kita korbankan? Namun, mereka menganggap suporter fungsinya cuma buat bersorak.

Ini yang membuat suporter United di Inggris, khususnya Manchester, merasa kalau mereka sudah kehilangan hak mereka. Ini menjadi jawaban mengapa pengambilalihan United begitu keras tentangannya dari suporter. Jelas jauh berbeda ketimbang pengambilalihan Manchester City ataupun Chelsea. Pengambilalihan Newcastle United memang sempat riuh, tapi didukung penuh oleh suporter.

Gara-gara Glazers banyak suporter United yang akhirnya “pensiun”. Sebagian di antara mereka mendirikan klub bernama FC United of Manchester yang kini berlaga di divisi ketujuh. Sebagian lain tetap mendukung United sekaligus menjalankan gerakan “Hijau dan Emas”, sambil terus melakukan demonstrasi agar Glazers segera enyah dari United.

Harapan sempat hadir ketika Sheikh Jassim berencana membeli keseluruhan saham United. Namun, Glazers menolak dan lebih memilih menjual 25 persen kepemilikan kepada Sir Jim Ratcliffe. Cara ini menjadi ampuh dengan menjadikan Sir Jim sebagai sasaran empuk untuk kritik dari suporter.

Jonathan Liew lalu menutup tulisannya: “Kepemilikan Manchester United oleh Glazer adalah tragedi olahraga. Namun, di satu sisi, ini juga merupakan kisah tentang kesalahan kita semua.”