Manchester United's Swedish striker Zlatan Ibrahimovic celebrates scoring their second goal during the FA Community Shield football match between Manchester United and Leicester City at Wembley Stadium in London on August 7, 2016. / AFP PHOTO / GLYN KIRK / NOT FOR MARKETING OR ADVERTISING USE / RESTRICTED TO EDITORIAL USE

Dulu, saat Sir Alex Ferguson masih bertakhta di Old Trafford, amat mudah untuk menggolongkan penggemar di Liga Primer Inggris yang tak lain hanya ada dua: penggemar Manchester United dan anti-United.

United kala itu memiliki sinonim kejayaan. Pertumbuhan penggemar meningkat pesat, sejalan dengan kenaikan jumlah pembenci.

Para pembenci punya alasan untuk tak menyukai, mulai dari alasan yang teknis sampai alasan yang tak logis. Hal yang sama juga merasuki jiwa para penggemar. Ada yang suka karena prestasi, tapi tak sedikit yang suka karena satu alasan: arogansi.

Arogansi Manchester United memang menjadi sentimen positif sejumlah penggemar. Arogansi itu biasanya ditunjukkan lewat prestasi; bagaimana United menyepelekan semua orang lewat berbagai trofi yang meraka raih. Dan ini adalah fakta.

Kesombongan itu biasanya diiringi dengan pernyataan: United juara 13 kali; kesebelasan lain, paling banyak hanya empat kali (Arsenal). Mereka, jelas bukan rival sepadan buat kita.

Kehilangan Percaya Diri

Rasa percaya diri adalah syarat pertama dari sebuah arogansi. Memenangi 13 gelar sudah cukup untuk terbangunnya rasa percaya diri. Apalagi United telah melampaui capaian gelar kesebelasan lain dalam sejarah Liga Inggris.

Terlalu timpang saat kita bicara kebesaran Sir Alex Ferguson dengan David Moyes. Nama terakhir menjadi terasa amat kerdil. Bisa jadi, “virus” ini yang kemudian ditularkan Moyes ke tim. Dalam tiga musim terakhir, arogansi itu tidak tampak. Bukan cuma dari prestasi, tapi juga rasa percaya diri.

Tidak ada penggemar yang tahan saat kesebelasannya diejek. United dikenal dengan para penggemarnya yang keras kepala; mereka tak pernah tahan kalau United dihina, dan jumlah penggemar seperti ini amatlah masif. Mereka punya kekuatan, terutama di media sosial, untuk membuat sang penghina kehabisan kata-kata.

Namun, lambat laun, sifat-sifat ini seperti terasa hilang dari para penggemar United. Mereka seolah menerima keadaan yang membuat mereka kian tak berdaya. Padahal, seperti diungkapkan di paragraf awal, kepercayaan diri adalah syarat yang utama.

Menemukan Kembali

Jose Mourinho adalah pelatih yang tepat untuk United. Jose mampu membuat kesebelasan yang diasuhnya begitu arogan. Banyak penggemar klub yang amat jatuh cinta, di sisi lain, penggemar klub lain yang membenci tak kalah banyak.

Sejak kapan jumlah pembenci Chelsea kian masif? Padahal, dulu, mereka adalah kesebelasan yang bersahaja, yang dianggap bagian dari mereka yang berusaha melawan kuasa.

Di tangan Mourinho, arogansi itu muncul. Mou tak pernah peduli dengan hasil pertandingan yang kurang memuaskan. Dalam benaknya: yang penting menang; yang penting juara!

Chelsea pun muncul sebagai penguasa. Mou membawa Chelsea meraih gelar liga pertama dalam 50 tahun terakhir. Banyak yang membenci Chelsea. Mereka menganggap The Blues tak layak menang. Bagaimana bisa kesebelasan yang cuma bertahan, justru berujung menjadi juara? Bagaimana bisa kesebelasan yang membosankan, justru berujung menjadi penguasa?

Mourinho tahu benar bagaimana membangkitkan arogansi para pemain mereka. Tidak ada masa yang membuat Cesc Fabregas menjadi sosok yang menyebalkan, kecuali saat Chelsea diasuh Mourinho. Ia punya pemain-pemain menyebalkan yang mampu merusak konsentrasi dan kedigdayaan lawan.

Di United, Anda telah melihat itu semua. Di masa Mou, hadir para pemain seperti Zlatan Ibrahimovic yang merupakan tuhannya arogansi. Mou pun agaknya mesti membangkitkan kembali arogansi Wayne Rooney yang dalam beberapa musim terakhir, justru terlihat kelewat kalem.

Hal ini pun dirasakan benar oleh Gary Neville. Menurut bek terbaik United di masanya ini, ia merasa yakin kalau United akan menjadi sesuatu dengan kehadiran Paul Pogba, Zlatan, Henrikh Mkhitaryan, dan Eric Baily. Kedatangan mereka membuat United menjadi tajam.

“Pada tiga atau empat tahun terakhir, Manchester United telah kehilangan perawakannya di lapangan. Mereka kekurangan arogansi dan mereka kekurangan pemain yang bisa menunjukkan kalau mereka adalah bintang United,” ucap Neville,

“Dengan hadirnya Ibrahimovic dan Paul Pogba, mereka punya perawakan dan arogansi –dalam jalan yang bagus—dan, secara sejarah, United selalu membutuhkan pemain dengan kepribadian yang besar.”

Neville pun menganggap Mourinho adalah manajer yang bisa mengatasi itu semua. “Ada arogansi yang kembali ke klub dan ke kota ini,” tutur Neville.

“Aku akan bilang kalau Manchester United ada dalam jalur juara dengan Arsenal di peringkat kedua, Manchester City di peringkat ketiga, dan Liverpool di peringkat keempat.”

Di sisi lain, Zlatan membuat pengakuan bahwa dia adalah family man dan bukan bad boy.

“Aku adalah orang normal,” ucap Zlatan kepada Sky Sports, “Orang-orang punya gambaran kalau aku adalah bad boy, aku ini, aku itu. Orang-orang ingin tahu: ‘Apa sih Zlatan itu,”

Zlatan lantas menjelaskan bahwa ia tidak merasa kalau dirinya arogan; dengan persyaratan.

“Aku adalah family guy. Aku mengurus keluarga, tapi saat di lapangan, aku adalah singa. Itu perbedaannya.

Aku tak percaya kalau aku arogan seperti yang orang pikirkan. Aku percaya diri. Aku percaya pada diriku sendiri. Itu bukan arogan. Itu adalah sesuatu yang aku percayai sebagai kekuatan dari umat manusia,” kata Zlatan.

Hal yang sama juga agaknya terjadi pada United. Di dalam, mereka adalah keluarga. Mereka merasa semua pemain yang bergabung telah menyatu dalam tim itu sendiri. Tidak ada yang lebih besar dari klub.

Di sisi lain, mereka menunjukkan bahwa mereka adalah klub yang spesial. United mungkin berkata kalau itu adalah kepercayaan diri, sementara orang lain merasa kalau itu adalah bentuk arogansi.

Seperti halnya Zlatan, kepercayaan diri adalah kekuatan dari dalam diri. Tanpa kepercayaan diri, prestasi United seolah tak kunjung kembali.

Kita, sebagai penggemar, mesti punya kepercayaan diri yang sama dengan klub. Tertidur saat pertandingan, jelas sebuah penghinaan, karena yang mereka butuhkan bukan tiduran, tapi dukungan. Biarlah orang bilang bahwa itu adalah arogansi, karena kita menganggapnya sebagai rasa percaya diri.

Kini, banyak orang yang menjagokan United untuk menjadi juara. Pundit BBC pun menghasilkan “keputusan” kalau United akan duduk di peringkat kedua di akhir musim. Secara teknis, itu mungkin terjadi. Namun, dengan kembalinya kepercayaan diri, bukan tidak mungkin Manchester City, yang dijagokan juara kembali, berhasil kita lampaui.