Bulan Mei 1999 menjadi momen yang tidak akan pernah bisa dilupakan oleh Manchester United dan para penggemarnya di seluruh dunia. Hanya dalam kurun 10 hari, Setan Merah sukses membuat sejarah baru bagi dunia sepakbola Inggris. Mereka meraih tiga gelar sekaligus yaitu Premier League, Piala FA, dan Liga Champions.

***

Puncak dari musim fenomenal ini sudah pasti keberhasilan Peter Schmeichel mengangkat Si Kuping Besar di stadion Camp Nou, Barcelona. Dengan cara yang dramatis, United memutus puasa gelar mereka pada ajang Liga Champions yang sudah berlangsung lebih dari tiga dekade lalu.

Baik United maupun Bayern sebenarnya berada dalam grup yang sama. Namun sejak awal kompetisi, tidak ada yang menjagokan United keluar sebagai juara. Hal ini disebabkan hasil standar yang mereka terima sejak babak kualifikasi kedua hingga babak penyisihan. Bayangkan saja, United hanya menang agregat 2-0 melawan LKS Lodz pada kualifikasi kedua. Kesebelasan yang kekuatannya jelas di bawah United.

Pada fase grup, United memang sama sekali tidak menderita kekalahan. Akan tetapi, mereka mengumpulkan empat hasil seri yang didapat dari dua kali pertemuan melawan Barcelona dan Bayern Munich. Hanya Brondby yang sukses dikalahkan dua kali. United hanya menjadi runner-up karena kalah satu poin dari Bayern.

United baru menunjukkan kelayakan mereka sebagai juara ketika memasuki fase gugur. Mereka menyingkirkan dua tim Italia yaitu Inter Milan dan Juventus. Dua gol Yorke dan satu dari Paul Scholes membuat United menang agregat 3-1 atas I Nerazurri. Pertandingan sengit kemudian terjadi dalam dua leg menghadapi Juventus.

Satu gol Antonio Conte membuat kubu Juve mempunyai tabungan satu gol tandang. Namun gol Ryan Giggs pada menit terakhir, membuat United datang ke Delle Alpi dengan skor yang seimbang. Pada leg kedua, Filippo Inzaghi mengejutkan United melalui dua golnya yang membuat agregat menjadi 3-1. Alih-alih menurun, ketertinggalan agregat ini justru membuat United tampil lebih semangat. Tidak butuh waktu lama, Roy Keane dan Dwight Yorke membuat keuntungan berbalik kepada mereka. Jelang babak kedua berakhir, Andy Cole membalikkan keadaan. Seperti ucapan Clyve Tyldesley, komentator pertandingan, United benar-benar ngebut menuju Barcelona.

Final Liga Champions nampak sudah di-setting untuk mempertemukan yang terbaik dalam bidangnya. Dua tim terbaik Inggris dan Jerman, stadion terbaik di Eropa, hingga wasit yang memimpin adalah wasit terbaik dunia yaitu si botak Pierluigi Collina.

Namun United datang dengan kekuatan pincang. Paul Scholes dan Roy Keane absen karena akumulasi kartu. Hal ini yang membuat Fergie mengubah strategi 4-4-2 yang ia punya dengan menggeser David Beckham sebagai gelandang tengah untuk menemani Nicky Butt. Posisi yang diisi Beckham dimainkan oleh Jesper Blomqvist. Sementara Bayern hanya kehilangan Giovanni Elber karena cedera.

Start Bayern lagi-lagi jauh lebih baik. Pada menit keenam, mereka unggul melalui sepakan bebas Mario Basler. Anak-anak asuh Ottmar Hitzfeld ini sebenarnya punya banyak sekali peluang untuk menang telak atas United. Tapi eksekusi Mehmet Scholl dan salto Carsten Jancker mengenai tiang.

“Piala itu hanya dua meter jauhnya dari kalian. Tapi kalau kalah, menyentuhnya saja mustahil,” kata Ferguson ketika jeda babak pertama.

Tidak ada gol lagi hingga menit ke-80 dalam pertandingan tersebut meski United sudah memainkan tiga penyerang (Cole-Yorke-Sheringham). Cole kemudian diganti Solskjaer untuk memberikan tenaga yang jauh lebih segar di lini depan.

Pierluigi Collina memberikan tambahan waktu tiga menit. Dalam serangan terakhir, Peter Schmeichel naik untuk menyambut sepak pojok. Dari sini kebangkitan United dimulai. Berkat kemelut yang dibuat Schmeichel, Giggs menendang bola yang diteruskan dengan baik oleh Sheringham.

Tidak lama setelah gol tersebut. United mendapat sepak pojok lagi. Schmeichel tidak maju. Sheringham kini yang menjadi kreator ketika sundulannya diteruskan dengan jangkauan kaki cepat dari Solskjaer. Gol yang disambut gemuruh dari para pendukung United.

Berkesan Bagi Collina dan Tangis Sesenggukan Samuel Kuffour

“Football bloody hell”, kata Ferguson setelah pertandingan. Ucapa Fergie tersebut memang benar jika kita melihat apa yang terjadi setelah gol Solskjaer. Tidak ada yang bisa memprediksi apa yang baru saja terjadi dalam tempo hanya 148 detik. Lothar Matthaus melongo dari bangku cadangan, Peter Schmeichel jungkir balik, pendukung Bayern menangis, sementara Collina seperti berada di kandang singa.

“Auman dari para pendukung United seperti auman singa. Adegan yang sulit saya lihat karena selama 90 menit, Bayern adalah tim terbaik. Tiba-tiba, dua menit, dua gol. Saat mereka yakin menang, mereka justru kehilangan trofi. Ada dua momen yang berbeda dari pertandingan itu. Yang pertama, ada tim yang yakin menang, akhirnya kalah; dan yang lain, ada tim yang kalah, tapi tiba-tiba menjadi pemenang,” kata Collina.

Satu momen lain yang menjadi ikonik adalah betapa histerisnya Samuel Kuffour. Sesaat setelah gol Solskjaer, bek tengah Bayern ini menangis dan beberapa kali memberikan pukulan ke rumput Camp Nou sebagai luapan kekesalan. Ia tidak bisa menerima kenyataan pahit yang baru saja ia dan rekannya rasakan. Sebuah kekalahan yang membekas bagi dirinya.

“Saya bahkan belum menyaksikan lagi pertandingan itu. Saya tak mau melihatnya meski teman-teman saya kerap mengabari saya kalau pertandingan itu sedang disiarkan lagi di televisi. Pertandingan yang menghasilkan rasa sakit dalam hati saya,” kata Kuffour.

“Teman-teman saya selalu berkata kalau David Beckham punya tendangan bola mati yang mematikan. Saya paham akan hal itu. Ketika kami bertemu di fase grup, ada 50 umpan Beckham yang dikirimkan dan semuanya berkualitas. Manchester United lebih beruntung dari kami.”

Sementara Kuffor bersedih hati, para pemain United mengadakan pesta di Arts Hotel sampai jam 5 pagi. Ketika mereka kembali ke Manchester, para pemain disambut sekitar 750 ribu suporternya yang memadati pusat kota untuk melakukan perayaan.