Foto: Inquirer.net

Manchester United memang bukan lagi klub langganan juara. Mereka kerap mudah kehilangan kesempatan menang ketika menghadapi lawan-lawan yang kualitasnya jauh di bawah mereka. Sudah mengarah ke medioker, mereka juga punya kumpulan penggemar yang seolah anti ketika tim favoritnya mendapatkan kritik.

Menjadi penggemar MU itu tidak hanya butuh kesabaran. Energi besar juga dibutuhkan untuk menjalani dinamika sebagai pendukung Manchester merah yang performanya tidak bisa diprediksi setiap pertandingannya. Bagaimana tidak, sudah mendapat pujian ketika sukses membuat Liverpool kerepotan, mereka lagi-lagi menunjukkan betapa inkonsistennya mereka melawan tim yang hanya berasal dari Liga Serbia. Setan Merah menang 1-0 hanya dari pertolongan wasit yaitu hadiah penalti.

Padahal MU datang ke pertandingan tersebut dengan harapan kalau laga ini bisa menjadi perbaikan dari betapa buruknya perjalanan mereka sepanjang musim 2019/2020. Pada pertandingan melawan Liverpool, determinasi dan hasrat untuk menang begitu terlihat. Mereka main ngotot dan sempat membuat pemain Liverpool kerepotan. Namun ketika berjumpa dengah Partizan, penyakit lama mereka kembali kambuh. Miskin kreativitas, sering membuat kesalahan, dan pertunjukan teknik dasar yang berantakan menjadi pemandangan yang kembali terlihat.

Hasil ini membuat Setan Merah kembali menjadi bahan olok-olok sejagad. Kalau tidak ada penalti Anthony Martial, maka United menjalani dua laga beruntun di Europa League tanpa sepakan ke gawang. Mirisnya, dalam empat laga terakhir MU (sebelum bertemu Norwich), mereka hanya punya lima tendangan ke gawang saja. Secara rata-rata, hanya 1,25 shoot on target saja yang dibuat per laga. Jadi, misalnya kita menyaksikan MU bermain dan mendapatkan shoot on target pada menit ke-10, maka sudah bisa dipastikan itulah satu-satunya ancaman besar mereka sepanjang 90 menit pertandingan.

“Saya paham jika striker yang bermain di United saat ini agak kesulitan. Tapi, hanya membuat satu sepakan on target, yang datang dari penalti ketika melawan Partizan Belgrade, apakah itu cukup baik untuk Manchester United?” tutur Robin van Persie.

Hal ini membuat mereka kembali menjadi sasaran kritik. Tidak hanya Robin van Persie, Paul Scholes juga mengeluarkan kekesalannya ketika melihat mantan timnya bermain ala kadarnya. Ia bahkan menyebut kalau pemain MU saat ini seperti gerombolan orang yang belum saling kenal.

Kritik bahkan semakin deras setelah Leicester City mengalahkan Southampton 9-0. Memang tidak ada hubungannya secara langsung dengan MU, namun olok-olok disini mengarah kepada sulitnya MU untuk mencetak satu gol tambahan ketika melawan lawan yang sama pada akhir Agustus lalu. Kebetulan The Saints juga bermain dengan 10 orang, namun mereka tetap tidak bisa menambah gol dan hanya bermain imbang.

Akan tetapi, belum banyak yang nampaknya bisa menerima ketika tim idolanya mendapat kritik. Suporter United (baik di luar maupun Indonesia) pun demikian. Setelah disindir soal kemenangan 9-0 Leicester, beberapa penggemar yang tidak bisa menerima kritikan tersebut balik menyerang dengan menunjukkan hasil ketika MU mengalahkan Leicester 1-0 pada pekan ke-5. Kemenangan yang didapat dari penalti pula dan penampilan yang cenderung tidak istimewa.

Menjalani kehidupan sebagai suporter klub sepakbola (baik mendukung klub luar maupun dalam negeri) begitu menarik. Kita dituntut untuk terus mendukung mereka sampai kapanpun. Pujian, nyanyian, memberikan sorak-sorai ketika menonton langsung di tribun atau bahkan ketika nonton bareng (nonbar) acap kali dilakukan.

Namun ketika dukungan tersebut dilakukan dengan cara yang sebaliknya seperti mengkritik, memberikan sindiran, mencemooh, atau bahkan mencaci, orang kemudian beranggapan kalau penggemar tersebut sudah keluar jalur dari pakemnya sebagai fan sebuah kesebelasan. Padahal tidak ada dasar hukumnya kalau menjadi seorang suporter hanya diperbolehkan memberikan sorak-sorai atau memujinya saja.

Banyak yang baper ketika Manchester United terus-menerus mendapat kritik dan sindiran yang tidak jarang datang dari penggemar United juga. Mereka yang baper tersebut kemudian membalas si pengkritiknya tersebut dengan menganggapnya sebagai “fan karbit atau glory hunter” yaitu istilah yang menggambarkan seorang suporter yang hanya mau mendukung ketika timnya berjaya saja. Inilah kehidupan yang dijalani penulis ketika menyambangi beberapa akun basis penggemar di media sosial Facebook dan Twitter.

Manchester United belum menunjukkan penampilan yang istimewa. Sejak menang 4-0 melawan Chelsea, penampilan mereka selalu ala kadarnya pada laga-laga berikutnya. Melawan tim semenjana macam Astana, Rochdale, dan FK Partizan saja sulit untuk dikalahkan. Padahal pada laga-laga tersebut pemain MU yang bergaji tinggi ini seharusnya bisa menampilkan permainan terbaik. Wajar apabila mereka mendapat kritik yang tidak jarang mengarah dalam bentuk sindiran ketika penampilan tidak berjalan sesuai dengan kualitas yang mereka punya.

Mereka yang anti kritik kerap berlindung dibalik argumen kalau Solskjaer belum mendapatkan pemain yang diinginkan atau menyebut kalau target yang harus dilihat nanti adalah jangka panjang. Namun melihat kalau mayoritas pemain yang berada di sini adalah pemain yang bisa memberikan banyak kemenangan bagi Solskjaer pada awal kepelatihannya, maka wajar apabila banyak yang memberikan kritik.

Soal jangka panjang pun juga sudah beberapa kali mendapat tanggapan. Saya beberapa kali mengutip pernyataan Andy Mitten yang menyebut kalau jangka panjang harus dinilai dari apa yang diraih pada jangka pendek. Gelar juara mungkin tidak akan sering diraih, namun membawa tim ini hingga mendekati zona degradasi juga bukan sesuatu yang boleh untuk dijalani tim tersukses di Inggris ini. Apalagi dengan tidak ada perkembangan dari segi permainan di atas lapangan.

Sebagai penggemar Manchester United kita dituntut untuk siap dalam dua situasi yaitu situasi menang dan kalah. Namun bukan berarti kita terus membiarkan MU untuk menderita kekalahan demi kekalahan dengan kedok transisi atau Solskjaer yang belum memiliki pemain terbaiknya.

Zen RS, dalam tulisannya berjudul “Menyoal Budaya Kritik dalam Sepakbola Indonesia” menyebut kalau ucapan seperti “jika kalian tak mendukung saat kalah, maka kau tak berhak bersorak saat menang” merupakan sebuah bentuk penyederhanaan yang membutakan. Kalimat itu sering digunakan untuk menanggapi penggemar klub yang marah, jengkel, atau kecewa ketika tim jagoannya kalah. Marah, jengkel, atau kecewa tersebut kemudian diidentikan kalau si penggemar tersebut sudah tidak mau lagi mendukung timnya. Padahal tidak sesederhana itu.

Dengan kritik, maka budaya malu akan muncul. Kritik akan memunculkan proses introspeksi dan pembenahan untuk menghindari agar kekalahan tidak terus terjadi. Dalam kasus Manchester United, Solskjaer harus melakukan itu. Dia harus membuat para pemainnya untuk bisa tampil baik di setiap pertandingannya dengan taktik dan strategi yang bisa membuahkan hasil.

Kita juga harus belajar mengakui untuk berkata buruk jika memang buruk, kalau bagus katakan bagus. Membiarkan sesuatu yang buruk, seakan baik-baik saja, adalah sejenis keburukan yang lain. Pada fase inilah kritikan perlu dilancarkan untuk membuat kesebelasan tersebut sadar diri dan melakukan introspeksi.

Penggemar United tidak perlu menutup mata ketika MU terus mendapat hasil minor. Terus terjerembab di lubang medioker dan mendekati zona degradasi seperti sekaran ini, sama saja mempersilahkan nama besar MU akan hilang seiring berjalannya waktu. Lantas, apa itu yang dimau para penggemar MU di seluruh dunia? Sudah pasti jawabannya adalah tidak.

Pujian memang perlu diberikan kepada kesebelasan yang kita sukai agar mereka bisa meningkatkan kepercayaan diri di atas lapangan.Selain itu, pujian juga patut diberikan untuk membuat mereka bahagia dan merasa dihargai. Ada beberapa aspek dalam MU yang layak diberikan pujian seperti keberanian memainkan pemain muda atau keberhasilan lini belakang mereka yang perlahan mulai membaik. Namun jangan sampai pujian tersebut membuat kita semua menutup mata kalau masih ada beberapa aspek yang perlu untuk diberikan kritik.