Foto: Benchwarmers

Sejarah besar dibuat Manchester United pada 10 April 2007. Ketika itu, Setan Merah mencatatkan skor terbesar mereka pada ajang Liga Champions Eropa. Bermain di stadion Old Trafford pada leg kedua perempat final Liga Champions musim 2006/2007, United menang telak 7-1 ketika menghadapi salah satu tim kuat Italia, AS Roma.

United mengantungi hasil buruk pada leg pertama. Mereka kalah 2-1 dari anak asuh Luciano Spaletti dalam pertandingan yang diwarnai kerusuhan di tribun tersebut. Yang menarik, Sir Alex Ferguson justru tampak santai dengan kekalahan tersebut. Ferguson, yang membenci kekalahan, justru memandang hasil di Olimpico tersebut sebagai hasil yang tidak perlu terlalu dipikirkan.

“Kami kalah 2-1 di laga tandang, tetapi manajer justru senang. Dia berkata, ‘Kami akan baik-baik saja, kami akan menang di kandang’. Ia percaya diri dengan kemampuan kami saat itu,” kata Ole Gunnar Solskjaer, pemberi asis bagi Rooney pada leg pertama.

Jika melihat skor leg pertama, wajar apabila Fergie santai. Mereka hanya kalah tipis. Selain itu, gol dari Rooney juga membuat United memiliki gol tandang yang nilainya sangat penting pada ajang Eropa. Dua hal ini yang mungkin membuat Ferguson percaya kalau semifinal Liga Champions pertama sejak 2002 bisa mereka raih.

Ucapan sederhana Fergie tersebut benar-benar terealisasi pada leg kedua. Alih-alih menang satu atau dua gol, United langsung unggul tiga gol pada menit ke-20. Tiga gol tersebut bahkan dicetak hanya dalam tempo delapan menit saja melalui kaki Michael Carrick (11’), Alan Smith (17’), dan Wayne Rooney (19’).

Roma nyaris memperkecil kedudukan setelah Philippe Mexes menyambut bola sepakan bebas David Pizarro. Setelah peluang tersebut, Roma semakin gencar menyerang lini pertahanan United.

Akan tetapi, serangan dari AS Roma tersebut justru membuat lini pertahanan mereka menganga dengan sangat lebar. Hal ini memudahkan United untuk semakin mengacak-ngacak lini pertahanan mereka yang diemban Mexes dan Christian Chivu. Ronaldo kemudian mencetak gol pada menit ke-40 sekaligus menutup babak pertama dengan keunggulan 4-0.

Meski sudah membalikkan agregat, bahkan sudah unggul sangat jauh, namun United nampaknya tidak mau menekan pedal rem mereka. Gol demi gol terus terjadi ke gawang Alexander Doni. Baru empat menit babak kedua berjalan, Ronaldo membuat brace memanfaatkan umpan silang rendah Giggs. Gol keenam kemudian hadir melalui sepakan spekulasi Carrick.

Setelah gol dari pemain anyar mereka tersebut, United akhirnya sedikit mengerem produktivitas mereka. Ferguson memainkan dua pemain yang jarang mendapat kesempatan tampil seperti Kieran Richardson dan Ole Gunnar Solskjaer. Gawang Van Der Sar pun akhirnya kebobolan pada menit ke-69 melalui De Rossi. Namun gol ini sudah tidak berarti karena Roma sudah tertinggal agregat 7-3.

Sembilan menit sebelum pertandingan berakhir, United menutup pertandingan dengan kemenangan 7-1. Kali ini, Patrice Evra yang mencetak gol. Inilah satu dari dua gol Evra yang pernah ia cetak sepanjang bermain dalam kompetisi tertinggi di Eropa tersebut. Skor 7-1 juga mengulang sejarah yang pernah mereka lakukan pada 1968. Saat itu, yang menjadi korban adalah kesebelasan Irlandia, Waterford.

“Ini adalah penampilan kami yang fantastis. Para pemain kami tampil luar biasa. Kecepatan dan penetrasinya benar-benar luar biasa. Ini adalah malam terbaik sepakbola Eropa yang pernah kami alami di sini. Kami tidak pernah berharap bisa menang 7-1. Tetapi skor ini bisa terjadi karena kualitas kami yang sangat tinggi,” kata Sir Alex Ferguson.

Sayangnya, kualitas tinggi para pemain United terhenti pada babak semifinal. Mereka tidak kuasa menahan laju AC Milan yang saat itu dimotori oleh Kaka. United kalah dari Il Diavolo Rosso dengan agregat skor 5-3.

Berbicara soal Team Talk Fergie, bukan kali ini saja kata-kata sederhana Sir Alex Ferguson mampu mengubah United yang terpuruk menjadi lebih lepas ketika bermain. Satu yang paling terkenal adalah ketika Ferguson meminta para pemainnya jangan tegang hanya karena menghadapi Tottenham Hotspur.

“Para pemain saat itu tidak butuh kalimat yang panjang. Saat menghadapi Tottenham Hotspur, kami semua tahu mereka, tapi dia datang lalu berkata ‘Lads, ini hanya Tottenham’, dan hasilnya begitu cemerlang,” ujar Roy Keane.