Foto: Mirror.co.uk

Duel Liverpool melawan Manchester United baru akan dimainkan pada hari Minggu, 18 Januari 2020, malam WIB. Namun, gaung berita dari pertemuan dua kesebelasan legendaris tersebut sudah dimulai sejak awal minggu lalu. Bahkan persiapan United melakoni laga ulang Piala FA melawan Wolverhampton tertutup dengan banyaknya berita terkait pertandingan ini.

Berbicara dua tim ini, maka kita berbicara soal persaingan mengenai siapa yang terbaik di Inggris maupun di Eropa. Keduanya saling klaim satu sama lain sebagai yang terbaik. United akan menjagokan diri sebagai yang terhebat dengan 20 titel Liga Inggris yang dimiliki, sebaliknya, enam trofi Piala/Liga Champions Eropa menjadi balasan pendukung Liverpool kalau mereka lebih jago dari United. Tidak ada yang mau mengalah, keduanya menganggap mereka paling benar diantara lawannya.

Yang menarik, rivalitas kedua kesebelasan ini diiringi dengan situasi klub yang selalu berbeda satu sama lain. Saat Liverpool berjaya di era 70-an, United sedang terpuruk. Begitu juga sebaliknya, ketika United berjaya di era 90 hingga 2000-an, Liverpool hanya menjadi penantang empat besar semata. Sekarang, situasinya kembali berbalik lagi dengan Liverpool yang mulai sering ke papan atas, sedangkan United masih terjebak mencari identitas mereka. Hanya sesekali, kedua kesebelasan ini sama-sama bersaing untuk memperebutkan gelar juara.

Meski begitu, api rivalitas itu akan selalu dijaga untuk terus menyala. Masih ada gengsi yang dipertaruhkan. United boleh gagal juara lagi musim ini, namun setidaknya mereka ingin membuat Liverpool ternoda untuk kedua kalinya. Di sisi lain, Liverpool juga ingin membuat malu United dengan mengalahkan mereka akhir pekan nanti dan membuka puasa gelar liga mereka pada akhir musim.

Semua kisah diawali dari era 1800-an dengan persaingan kedua kesebelasan dalam sektor industri. Manchester saat itu dikenal sebagai kota terpadat dan memiliki keunggulan dalam produksi tekstil dan menjadi kota industri tekstil dunia. Sampai-sampai kota itu dulu disebut cottonopolis. Sementara Liverpool adalah kota pelabuhan terbaik di dunia pada eranya. Berkat aktivitas pelabuhan tersebut, pertumbuhan ekonomi Liverpool meningkat.

Namun segalanya bergeser ketika Daniel Adamson memilih membangun jalur perairan yang bisa menghubungkan Manchester langsung dengan laut. Hal ini yang membuat Liverpool tidak setuju karena hal ini bisa mematikan perekonomian mereka. Jika jalur ini dibangun, maka para pedagang tidak perlu singgah lagi di Liverpool. Namun penolakan Liverpool tidak berbuah hasil karena United benar-benar membuka jalur perairan baru pada 1894. Dengan dibukanya jalur perairan baru ini, kota Liverpool meradang. Pemutusan hubungan kerja terjadi sehingga kebencian kepada Manchester terlahir.

Rivalitas ini kemudian berlanjut hingga lapangan sepakbola. Diawali tanggal 12 Oktober 1895, kota Liverpool dan Manchester dipertemukan dalam satu lapangan hanya beberapa bulan setelah pelabuhan baru Manchester itu dibangun. Bertempat di stadion Anfield, Liverpool menang 7-1 atas perwakilan Manchester yaitu Newton Heath yang menandakan kalau Liverpool tidak selemah itu di hadapan Manchester.

“Liverpool akan selalu menjadi rival abadi kami dan itu tidak akan berubah sejak Daniel Adamson membangun kanal untuk menjauh dari Liverpool ke Manchester. Kalaupun kami berada di posisi bawah klasemen atau bermain di divisi dua, maka rivalitas kami tetap sama,” kata Sir Alex Ferguson.

Jika Daniel Adamson adalah orang yang menggusur status Liverpool sebagai kota pelabuhan, maka Sir Alex Ferguson adalah orang yang menggusur hegemoni Liverpool di dunia sepakbola. Ferguson menjelma menjadi Adamson saat pertama kali datang ke Manchester United untuk menggantikan Ron Atkinson.

“Tantangan terbesar saya adalah menyingkirkan Liverpool dari takhtanya. Bagi saya, Liverpool akan menjadi sebuah laga derbi. Ketika saya tiba, mereka menjuarai empat titel Liga Champions dan banyak titel Liga Inggris. Target saya adalah melawan mereka dan membalikkan situasi,” ujarnya.

Saat Fergie datang, Liverpool unggul dengan 18-7 dalam hal gelar juara liga dan tertinggal empat gelar tiga gelar Liga Champions, Fergie menggusur mereka dalam tempo seperempat dekade saat mereka menang titel ke-19 pada musim 2010/2011. Meski hanya bisa menambah dua titel Eropa, namun ia memperlebar jarak dalam perolehan gelar liga menjadi 20-18.

Bersama Fergie, rivalitas United dengan Liverpool semakin meruncing. Dalam perjalanan sepanjang kariernya, pertandingan kedua kesebelasan ini selalu dipenuhi tensi tinggi. Emosi, perseteruan pemain dengan pemain, manajer dengan manajer, manajer dengan pemain, hingga pemain dengan suporter sering terjadi.

Saking emosinya, Gary Neville sampai salah mengangkat bagian bajunya saat Setan Merah menang dramatis pada musim 2005/2006. Gary mengangkat bagian sebelah kiri bajunya meski logo United saat itu berada di tengah. Tidak peduli di mana letaknya, yang penting ia merayakannya di depan suporter Liverpool yang terus mengoloknya.

“Pendukung Liverpool banyak yang mengolok saya sebelum pertandingan. Jadi saya harus mencari cara agar membuat mereka bersedih. Pada akhirnya saya didenda 10 ribu paun karena perayaan tersebut. Sebuah perayaan yang setara karena itu salah satu momen terbaik saya,” katanya.

Gary Neville adalah perwakilan Manchester jika ingin membahas rivalitasnya dengan Liverpool. Perayaan gol pada 2005 tersebut dianggap sebagai satu menit yang sempurna karena membuat penggemar Liverpool hening setelah 89 menit bernyanyi. Bahkan ia tidak segan-segan menyebut kalau dirinya malas untuk pergi ke Liverpool kalau bukan karena urusan pekerjaan (atlet dan pundit). Rivalitas harus terjaga dalam tubuh Gary.

Aura kebencian juga ada dalam tubuh Patrice Evra. Pada 2011, ia mendapat serangan rasis dari Luis Suarez yang membuat FA menjatuhkan hukuman larangan bermain delapan pertandingan. Si pelaku membantah, sedangkan United mengaku kalau pemain mereka memang benar-benar menjadi korban. Dua-duanya kembali mengaku sebagai yang paling benar meski pada akhirnya Suarez tetap bersalah.

Hanya ada satu cara untuk melawan mereka yaitu kalahkan pada pertemuan berikutnya. Suarez memantik api dengan menolak jabat tangan Evra yang mencoba menenangkan perasaannya. Namun, aksinya itu membuat marah Evra kembali meninggi. Beruntung, United menang 2-1 dan Evra melakukan pembalasan dengan merayakannya di depan Suarez.

Bersambung