Foto: sofascore

Jose Mourinho memang gagal membawa United menjadi juara liga, tapi ia sukses pada Europa League 2016/17. Dengan keseimbangan dan kualitas plus taktik yang jitu, United menuntaskan musim tersebut sebagai kampiun Eropa bersama Real Madrid yang menjadi juara Liga Champions.

Jika harus memilih musim terbaik Manchester United setelah era Sir Alex Ferguson, maka pilihannya tidak lain dan tidak bukan adalah musim pertama Jose Mourinho.

Patokannya sederhana yaitu gelar juara. The Special One membawa United memenangkan tiga gelar pada saat itu. Diawali dari Community Shield, Mou meneruskannya dengan meraih Piala Liga. Musim United kemudian ditutup oleh raihan gelar Europa League.

Europa League memang hanya ajang level kedua. Akan tetapi, trofi itu perlu diraih United untuk bisa mengukuhkan diri kalau mereka masih punya nyawa di Eropa. Maklum, United saat itu (hingga saat ini bahkan) sedang dalam fase menurun selepas Sir Alex Ferguson mengundurkan diri.

Musim ini, United akan kembali bermain pada ajang tersebut. Sebuah target yang cukup realistis untuk diraih oleh anak asuh Erik ten Hag setidaknya untuk membuat lemari trofi United kembali terisi setelah kosong selama lima tahun.

***

Alih-alih Manchester atau kota-kota di Inggris lainnya, Stockholm menjadi kota terakhir tempat Manchester United berpesta. Kemenangan 2-0 atas Ajax Amsterdam membuat musim Setan Merah saat itu berakhir manis dengan raihan Europa League pertama sepanjang sejarah klub.

Tentu saja Jose Mourinho menjadi orang pertama yang bahagia. Setelah peluit wasit Damir Skomina berbunyi, ia berbalik dan mengangkat kedua telunjuknya ke atas sebagai tanda keberhasilan. Perayaan kemudian diikuti dengan para staf yang memeluk Mourinho dengan puncaknya adalah ketika ia merayakan kemenangan ini bersama anak lelakinya hingga terjatuh.

Banyak alasan kenapa Mourinho berbahagia dengan trofi ini. Mourinho masuk dalam jajaran manajer yang pernah menjuarai Europa League dengan dua tim berbeda. Selain itu, ia juga membuat United sejajar dengan Juventus, Ajax, Bayern Munich, dan Chelsea yang pernah menjuarai semua turnamen level Eropa.

Namun yang pasti, trofi ini adalah sebuah kelegaan akan perjudian yang dilakukan Mourinho dalam musim pertamanya menangani United. Sepanjang musim, Mourinho sulit untuk menunjukkan raut wajah bahagia karena performa United yang angin-anginan di liga. 15 kali mereka menderita hasil imbang yang membuat United gagal lolos ke Liga Champions dan hanya menempati posisi enam.

Saat tiket Liga Champions gagal diraih via jalur liga, maka tidak ada cara lain selain mengincar lewat jalur Europa League. Sayangnya, situasi United di sana juga tidak menguntungkan. Eric Bailly, bek andalan Mourinho pada musim itu mengalami cedera parah. Luke Shaw pun juga demikian. Namun yang paling membuat suporter United terpukul adalah ketika Zlatan Ibrahimovic harus absen hingga akhir musim karena cedera lutut saat mengalahkan Anderlecht.

Perjalanan United di Europa League musim itu juga cenderung naik turun. Pada fase grup mereka hanya duduk di bawah Fenerbahce yang menjadi juara grup. Hal ini dikarenakan dua kekalahan yang mereka terima dari Feyenoord dan kesebelasan asal Turki tersebut.

Alih-alih bangkit, United justru keteteran ketika memasuki fase gugur. Setelah menang agregat meyakinkan 4-0 atas Saint-Etienne, United justru lolos dengan agregat skor yang tipis yaitu 2-1, 3-2, dan 2-1.

Mereka gagal menang melawan Rostov dan Anderlecht saat bertandang. Ketika melawan Anderlecht di Old Trafford, United harus menunggu hingga perpanjangan waktu. Meski memiliki keunggulan 1-0 di Balaidos, markas Celta Vigo saat semifinal, United justru bermain imbang 1-1 ketika balik menjamu mereka.

Jika saja John Guidetti lebih tenang dalam mengeksekusi peluang pada menit 90+6, suporter United pasti akan menangis. Dalam lima menit terakhir laga United vs Celta Vigo pada leg kedua, tim tamu terus menekan United. Sayangnya, ketika Guidetti punya peluang mencetak gol ke gawang yang kosong, sepakannya melintir.

Bersama Mourinho, United setidaknya masih memiliki mental juara meski tidak sebesar zaman Sir Alex Ferguson. Dengan krisis pemain yang ia terima jelang final, beberapa rotasi ia lakukan. Matteo Darmian yang sepanjang musim bukan pilihan utama Mourinho ia mainkan sebagai starter. Alih-alih memainkan winger, ia menurunkan dua Attacking Midfielder sekaligus dalam diri Juan Mata dan Henrikh Mkhitaryan. Tiga gelandang tengah pun ia mainkan yaitu Pogba, Herrera, dan Fellaini.

“Kami akan membiarkan mereka bermain dari belakang sambil menahan De Ligt yang nanti akan memaksa mereka bermain dengan Davinson Sanchez yang tidak terlalu baik dalam menguasai bola,” kata Mourinho menjelaskan taktiknya di final tersebut setahun kemudian.

“Kami akan membuat bek sayap kami menutup dengan baik ruang tengah itu dan jika bola memasuki area yang lebar untuk sayap mereka, bek saya kami akan menutupnya dan Herrera yang akan menutupi ruang itu di tengah,” ujarnya menambahkan.

Taktik yang dimainkan Mourinho sering dianggap parkir bus, pragmatis, main bertahan, atau apa pun itu. Namun yang pasti, Mourinho akan selalu menganggapnya sebagai permainan yang efisien. Ajax saat itu dunggulkan karena dikenal dengan tim yang permainannya cantik. Namun, untuk apa cantik kalau tidak menang. Mungkin begitu kata Mourinho. Toh pada akhirnya sejarah menuliskan juara Europa League saat itu adalah Manchester United karena menang 2-0 atas Ajax dan bukan Ajax yang menang melawan United karena bermain lebih cantik.

***

Malam nanti Jose Mourinho akan memimpin klub barunya AS Roma dalam final Uefa Conference League melawan Feyenoord. Jika menang, maka Jose Mourinho akan menjadi manajer pertama yang bisa menjuarai tiga gelar di level Eropa.