Manchester United ketika menjadi runner-up UCL 2011. (Foto: FootballRepublik)

Semusim setelah pertemuan di Olimpico, kedua kesebelasan sama-sama gagal melangkah ke final akibat tersingkir secara menyakitkan. United kalah gol tandang dari Bayern Munich pada babak delapan besar, sedangkan Barcelona hanya bisa mencetak satu gol pada leg kedua sehingga hanya bisa memperkecil agregat dari Inter Milan menjadi 3-2. Anak asuh Pep Guardiola tidak bisa menahan ‘parkir bus’ milik Mourinho yang berjaya hingga akhir turnamen.

Keduanya kemudian kembali bersua pada 2010/2011. Manchester United menyingkirkan Schalke dengan agregat 6-1, sedangkan Barcelona menang agregat 3-1 dari Real Madrid. Lokasi laga di Wembley membuat final ini menjadi semakin menarik mengingat stadion megah ini adalah tempat keduanya meraih gelar Piala Champions untuk pertama kali.

Final kali ini berbeda dibanding dua tahun sebelumnya. Tidak ada lagi nama Ronaldo dalam skuad United. Di sisi lain, Lionel Messi sudah menjadi superstar sepakbola dunia. Akan tetapi, hal itu tidak menutup tekad United untuk bisa membayar hasil dua tahun sebelumnya. Persiapan matang dan detail juga sudah dilakukan Fergie beserta anak asuhnya.

“Cara untuk mengalahkan Barcelona adalah mengawal Messi dari dekat, tapi jangan sampai terlalu dekat. Pastikan Anda masih bisa menjangkaunya ketika mendapat bola. Anda harus berada cukup dekat agar dia tidak bisa bergerak memutar,” kata Rio Ferdinand.

Akan tetapi, praktek tidak semudah mengucapkan teori. Itulah yang terjadi ketika peluit wasit Vikor Kassai sudah ditiup. Aplikasi dari teori yang diucapkan Rio Ferdinand ternyata tidak benar-benar berhasil ketika bola sudah bergulir. United kalah 3-1 dari Blaugrana akibat gol Pedro, Lionel Messi, dan David Villa yang hanya bisa dibalas satu gol Wayne Rooney.

Barcelona terlalu perkasa. Sebaliknya, United justru jadi bulan-bulanan. Ferguson sebenarnya ingin anak asuhnya memulai laga seperti final 2009 yaitu menekan dan membuat peluang sejak awal. Akan tetapi, sepanjang 90 menit United justru berada di bawah tekanan.

United hanya menguasai bola sebanyak 37 persen kalah jauh dari Barca yang punya 63 persen. United dibombardir habis dengan 12 tembakan ke gawang Edwin van der Sar. Di sisi lain, gol Wazza pada akhir babak pertama adalah satu-satunya tendangan ke arah gawang yang dibuat United.

Sulit untuk membongkar lini belakang Barcelona. Jangankan untuk membuat tendangan ke gawang, mencari sepak pojok saja United tidak mampu. Jumlah tendangan sudut United nol. Sesuatu yang mungkin jarang terjadi dalam sebuah pertandingan final.

“Barcelona benar-benar memberi pelajaran bagi kami di Wembley. Saya, Giggs, dan Scholes berdiri sambil menutup mulut dan saya merasa kalau saya benar-benar merasa dipermalukan. Messi begitu bebas di lapangan,” kata Ferdinand yang sebelumnya begitu percaya diri bisa mematikan Messi.

Menurut Ferguson, final kedua melawan Barcelona benar-benar tidak berjalan sesuai rencana. Lini belakang tidak berdaya menghadapi dahsyatnya trio Messi, Villa, Pedro. Padahal, ia mengakui kalau persiapan untuk menghadapi final kedua ini jauh lebih baik ketimbang final pertama. Namun lagi-lagi, itu semua baru sebatas asumsi dan teori dari Fergie. Sang Gaffer hanya bisa menahan kekesalan dan melampiaskannya dengan menendang botol di pinggir lapangan.

“Para bek tengah kami tidak bisa mengatasi Messi dengan baik. Kadang, para pemain kami seperti tidak mau bertanding. Salah satunya adalah Rooney yang bermain mengecewakan. Dia bisa menyerang ruang di belakang bek, tapi tidak bisa menembus sasarannya. Antonio Valencia hanya bisa mematung karena gugup,” kata Ferguson dalam bukunya.

“Kami tidak bisa menyerang bek kiri mereka yang baru saja sembuh (Eric Abidal). Posisi itu seharusnya bisa kami manfaatkan. Penampilan Valencia sebelum final sangat bagus. Begitu juga dengan Michael Carrick,” ujarnya menambahkan.

Sah-sah saja Fergie untuk menyebut kalau persiapannya sudah bagus. Namun, dia tidak bisa membantah kalau timnya punya masalah sebelum final digelar. Top skor mereka saat itu, Dimitar Berbatov, tidak dibawa sama sekali. Ferguson bercerita kalau penyerang Bulgaria ini tidak percaya diri ketika memasuki final. Inilah yang membuatnya memilih memainkan Javier Hernandez dan memasukkan nama Michael Owen sebagai penyerang cadangan.

“Berbatov tidak akan berperan di Wembley, bahkan sebagai pemain cadangan sekali pun,” ujarnya.

Segala upaya sudah dilakukan Ferguson untuk bisa keluar dari tekanan Barcelona saat itu. Kurang menggigitnya lini tengah, membuat ia menarik keluar Michael Carrick dan menggantinya dengan Paul Scholes. Fabio yang kram diganti oleh Nani. Padahal, Ferguson ingin menarik keluar Valencia yang bermain jauh lebih buruk dari Fabio. Ferguson mengakui kalau timnya bermain di bawah standar.

“Ketika lawan lebih unggul penguasaan bola, maka pemain kami langsung hilang konsentrasi dan kepercayaan diri. Biasanya, saya punya keberuntungan bagus pada laga final, tapi waktu itu saya benar-benar tidak beruntung,” ujarnya.

Setelah pertandingan itu, Ferguson sadar kalau timnya harus dirombak untuk bisa bersaing lagi ketika kembali ke final Liga Champions. Pemain muda yang dipinjamkan seperti Danny Welbeck, dan Tom Cleverley dipanggil kembali. Sementara itu, ia melepas Van der Sar (pensiun), Wes Brown, John O’Shea, Darron Gibson, dan Owen Hargreaves. Paul Scholes dan Gary Neville yang memutuskan pensiun saat itu diangkat menjadi penasihat sekaligus pembina tim akademi. Ia merekrut pemain-pemain muda yang potensial seperti David de Gea, Phil Jones, dan Ashley Young.

Dengan komposisi pemain mudanya ini ia bertekad untuk bisa kembali ke final Liga Champions. Lebih menyenangkan lagi jika mereka kembali bertemu dengan Barcelona lagi untuk ketiga kalinya. Sayangnya, harapan itu tidak kunjung terealisasi. Pada 2011/2012 mereka tersingkir dari fase grup dan pada 2012/2013 mereka kalah dari Real Madrid pada 16 besar. Kekalahan dari Real Madrid tersebut juga menjadi laga terakhir Ferguson di Eropa bersama United. Ia memutuskan pensiun setelah memberikan gelar Liga Inggris ke-20.

Padahal, ia sudah punya resep untuk bisa menghentikan Lionel Messi yaitu memainkan Phil Jones dan Chris Smalling. Dua bek ini dipercaya jauh lebih baik untuk mematikan Messi ketimbang duet Ferdinand-Vidic yang gagal dalam dua kesempatan.

“Sesudah final, saya berkata dalam diri saya sendiri, jika besok saya kembali bertemu Barcelona pada final Liga Champions lagi, saya akan memainkan Phil Jones dan Chris Smalling atau Chris Smalling dengan Jonny Evans, untuk mematikan pergerakan Messi. Saya tidak bisa membiarkan dia menyiksa kami lagi,” ujar Ferguson dalam bukunya.

Pada akhirnya baik Smalling dan Jones tetap mati kutu bahkan bermain tidak karuan ketika mereka bertemu Messi pada perempat final Liga Champions musim 2019 lalu.