Foto: Twitter

Apa yang dilakukan manajemen United merupakan sebuah perjudian. Beruntung, perjudian tersebut membuahkan hasil. Sang bomber gaek selalu tampil baik ketika dibutuhkan dengan puncaknya ia menjadi pahlawan klub menuntaskan puasa Liga Champions selama 31 tahun.

Terkejut! Mungkin itulah reaksi yang pertama kali hadir pada diri suporter Manchester United ketika mengetahui kabar kalau Eric Cantona, memutuskan pensiun dari sepakbola.

Keputusan tersebut sifatnya mendadak. Maklum saja, Eric masih berusia 30 tahun dan masih bisa bermain setidaknya 2-3 tahun lagi di Manchester. Apalagi ia baru menjalani musim penuh pertama sebagai kapten tim utama. Selain itu, pengumuman pensiunnya Eric muncul beberapa hari setelah United menjadi juara liga.

Untuk mengisi kekosongan tersebut, suporter jelas menuntut nama besar untuk mengisi kekosongan tersebut. Nama besar yang setidaknya memiliki kepribadian 11 12 dengan pemain Prancis tersebut.

Sayangnya, suporter United justru kembali dibuat kaget. Tidak ada nama besar yang datang. Melainkan bomber gaek Teddy Sheringham. Sosok Teddy bukan pemain ecek-ecek di Premier League. Akan tetapi, fakta kalau dia sudah berusia 31 tahun membuatnya diragukan bisa tampil apik bersama Setan Merah. Apalagi Sir Alex dikenal anti merekrut pemain tua.

Bahkan Teddy sendiri juga kaget dengan penawaran dari United. Ia tidak menyangka kalau prosesnya begitu cepat. Apalagi ia ditebus dengan harga 3,5 juta Pounds. Angka yang sebenarnya cukup tinggi untuk bomber tua pada era tersebut.

“Kejadiannya begitu cepat. Kemarin sore (26 Juni 1997) setengah satu, saya sadar kalau kesepakatan itu sudah terjad. Saya baru kembali ketika ibu dan ayah saya menelepon dan berkata kalau United tertarik. Itu adalah panggilan terbaik yang pernah saya lakukan dalam karier saya,” kata Sheringham sesaat setelah diperkenalkan.

Banyak rintangan bagi Sheringham sebelum kehadirannya bisa diterima oleh suporter United. Ia gagal mencetak gol dalam debut bersama United di Premier League melawan mantan klubnya, Tottenham Hotspur. Apalagi pada musim pertamanya United kehilangan mahkota Premier League dan Piala FA karena direbut oleh Arsenal.

Ia bahkan berseteru dengan Andy Cole yang kemudian menjadi salah satu perseteruan paling epik yang pernah terjadi sesama pemain Setan Merah.

Keadaan semakin sulit setelah musim berikutnya Ferguson mendatangkan Dwight Yorke dari Aston Villa. Sosok Yorke dianggap lebih pas untuk menjadi pasangan Cole ketimbang Teddy yang dilatarbelakangi permusuhannya tersebut.

Benar saja, musim berikutnya Teddy hanya bermain 17 kali di liga dan 27 kali di semua kompetisi. Berkurang cukup banyak dibanding musim pertamanya. Golnya pun hanya lima biji.

Namun pada musim keduanya inilah Teddy justru meraih kejayaan yang bahkan tidak bisa diraih oleh Cantona. Dari lima golnya tersebut, dua hadir pada laga final yaitu melawan Newcastle pada Piala FA, dan Liga Champions ke gawang Bayern Munchen. Teddy, yang selama 15 tahun tidak pernah mendapat trofi mayor, langsung mendapat tiga buah pada musim keduanya di Manchester.

“Akhirnya, saya bisa meraih segalanya pada usia 33 tahun, sungguh luar biasa menjadi bagian dari kesuksesan mereka, mencetak gol pada laga final dan menjadi bagian dari tim pemenang yang luar biasa,” katanya.

Sangat jarang bagi Inggris dan Manchester United memiliki pemain yang tetap kompetitif pada usia yang terbilang uzur sebagai pesepakbola. Teddy bisa melakukannya. Pada 2000/2001, ketika usianya 35 tahun, ia menjadi top skor United di Premier League dan terpilih sebagai PFA Player of the Year. Setahun kemudian, ia dibawa Sven Goran Eriksson ke Piala Dunia Korea-Jepang.