Foto: Youtube.com

Ketika tim akademi Manchester United memenangi gelar FA Youth Cup 2010/2011, banyak yang menilai kalau pemain-pemain inilah yang akan menjadi generasi emas berikutnya bagi Setan Merah layaknya Class of 92. Saat itu, nama-nama macam Paul Pogba, Jesse Lingard, Ryan Tunnicliffe, Ravel Morrison dan Larnell Cole akan menjadi generasi baru berikutnya layaknya Ryan Giggs dkk.

Namun, realitanya tidak banyak yang akhirnya berhasil menembus skuat utama Setan Merah ketika usia mereka sudah matang di dunia sepakbola. Hanya Pogba dan Lingard saja yang sukses menjadi penggawa United. Itupun Pogba harus dijual dulu ke Juventus sebelum dibeli kembali. Mereka-mereka yang belum beruntung ini kemudian bermain di klub lain yang kompetisinya setara atau jauh lebih rendah dari yang dimainkan United.

Satu yang kurang beruntung tersebut adalah Will Keane. Ketika masih menimba ilmu di akademi United, pria yang sekarang berusia 26 tahun ini berada di depan Pogba dan Lingard untuk meneruskan kreativitas keduanya menjadi sebuah gol. Will adalah seorang penyerang yang sangat mumpuni di level akademi ketika itu. Postur badannya bagus, kedua kakinya sama-sama bagus, dan ia juga bagus dalam duel-duel udara. Tidak jarang Will juga mencetak gol-gol indah. Satu gol yang menurut dia terbaik adalah ketika ia melakukannya dengan tumit pada laga derby bulan Maret 2010.

“Saya adalah pemain yang punya imajinasi bagus dan penyelesai serangan yang bagus. Dalam pertandingan, yang saya pikirkan adalah mencari tempat yang tepat untuk mencetak gol. Saya tidak bisa hidup tanpa memikirkan kegiatan tersebut,” kata Will saat mendeskripsikan dirinya dalam Inside United Februari 2011.

Namun ambisi Will untuk berhasil di United ternyata mentok sebatas imajinasi saja. Ketika usianya sudah cukup matang untuk bermain di sepakbola yang “sesungguhnya”, kariernya justru berantakan.

Cedera lutut parah kala ia bermain untuk Inggris U-19 langsung mematikan kariernya. Harapan penggemar United untuk melihat ia mencetak gol juga sebatas angan-angan semata. Kariernya langsung tidak jelas dan hanya menjadi sebatas pemain pinjaman di Wigan, QPR, Sheffield Wednesday, dan Preston North End, sebelum dijual ke Hull City.

Tidak hanya sekali Will menderita cedera lutut, melainkan dua kali. Yang kedua terjadi saat ia memperkuat The Tigers asuhan Mick Phelan beberapa tahun lalu. Rangkaian cederanya ini membunuh ketajamannya di depan gawang. Catatan lima gol dalam delapan tahun berkarier jelas bukan sebuah catatan yang diinginkan oleh seorang penyerang.

“Saya berada di Hull selama tiga tahun dan bermain di Premier League (2016/2017) tapi saya merusak lutut saya setelah lima pertandingan. Itu adalah kesempatan saya untuk mendapatkan permainan yang konsisten setelah Mick membawa saya dari United. Saya berusaha keras untuk sembuh dan harus melewatkan 13 sampai 14 bulan untuk pemulihan,” kata Will.

Sayangnya, Phelan sudah dipecat ketika Will sembuh dari cederanya. Absen panjang membuat namanya mulai tersingkirkan. Sebuah pengalaman pahit yang kembali harus dia alami setelah sebelumnya ia mengalami nasib serupa pada musim terakhirnya bersama United

Akhir Desember 2015, Will ditarik kembali oleh United setelah menjalani peminjaman bersama Preston North End. Ada kesempatan besar bagi dirinya untuk membuktikan kalau ia sudah kembali dari cedera lutut pertamanya. Namun pada laga melawan Shrewsbury, Keane merusak pangkal pahanya yang membuat ia absen hingga akhir musim sekaligus membuat namanya tersungkur oleh bocah bernama Marcus Rashford.

“Cederanya Martial dan Rooney membuat saya yakin bisa bermain melawan Midtjylland setelah melawan Shrewsbury pada hari Senin. Saya melepaskan tembakan yang kemudian pangkal paha saya robek hingga harus dioperasi yang membuat saya absen hingga akhir musim. Marcus kemudian datang, mencetak gol, dan sisanya sejarah.”

“Saya frustrasi tapi saya juga harus bersikap adil. Sejak saat itu saya sudah tahu kalau kesempatan itu menjadi kesempatan terakhir saya bermain untuk United. Sebuah kekecewaan yang sangat besar, tapi tidak banyak yang bisa saya lakukan,” tuturnya.

Belajar Dari Jamie Vardy

Karier Will memang jauh dari kata keberuntungan. Bayangkan saja, saat ia luntang lantung penuh ketidak jelasan dari segi karier maupun kondisi fisiknya, saudara kembarnya yaitu Michael justru sudah menapak level tertinggi sebagai pesepakbola. Michael menjadi andalan di Everton dan mulai dilirik oleh timnas Inggris asuhan Gareth Southgate. Bahkan rekannya yang lain macam Jesse Lingard dan Paul Pogba juga sudah menjadi pemain utama di Manchester United.

“Will akan selalu menjadi pemain spesial bagi saya. Saya memang tidak selevel dengannya saat ini namun dia tetap punya bakat alamiah sebagai seorang striker. Ia selalu mencetak gol, sentuhannya sangat baik, dan penyelesaian akhirnya sangat bagus. Sebelum cedera, dia adalah yang terbaik di level usia kami,” kata Michael.

Namun, sebuah pepatah mengatakan kalau tidak ada kata terlambat untuk belajar. Selain itu, pepatah lain juga menyebut kalau lebih baik terlambat ketimbang tidak sama sekali. Inilah pepatah yang saat ini sedang coba dijalankan oleh Will untuk kembali meraih impiannya yaitu kembali bermain di Premier League.

Pada Januari 2019, Will diselamatkan oleh klub League One, Ipswich Town. Sejak musim panas kemarin, statusnya sudah dipermanenkan. Di Portman Road, ia perlahan-lahan berusaha untuk mengembalikan kebugarannya sekaligus menemukan permainan terbaiknya. Musim ini, ia sudah mencetak empat gol dari 16 penampilan. Cukup baik untuk pemain yang dua kali mengalami cedera lutut parah.

“Michael mencapai hal-hal besar. Di sisi lain, saya membuat United frustrasi karena tidak mendapat kesempatan karena cedera. Dalam tiga sampai empat minggu terakhir di Ipswich, saya sudah mencetak beberapa gol dan mulai merasa baik. Saya ingin membuktikan kepada diri saya sendiri.”

“Saya masih percaya kalau saya mampu untuk berada di level tertinggi. Apakah itu kembali ke United atau di tempat lain yang bermain di Premier League. Saya tumbuh bersama pemain-pemain seperti Lingard dan Pogba. Mereka sekarang bermain di Premier League dan membuat saya merasa: ‘Ya Tuhan, jika mereka ada di sana, maka saya juga harus ada di sana.’ Namun perjalanan saya berbeda dan saya harus percaya kalau bisa kembali ke titik itu,” tuturnya.

Will bisa belajar dari sosok yang dalam beberapa musim terakhir begitu naik daun di Premier League meski kemunculannya bisa dibilang terlambat. Pemain itu adalah Jamie Vardy. Penyerang Leicester City ini baru mencicipi Premier League di usia 27 tahun dan hingga usia 32 tahun kesuburannya masih terjaga. Dialah inspirasi Will yang membuatnya merasa kalau tidak ada kata terlambat untuk berhasil asalkan mau berusaha.

“Dialah inspirasi saya. Sampai berusia 28 atau 29, ia tidak bisa merasakan level tertinggi. Saya hanya sial karena absen beberapa musim karena cedera. Tapi jika saya berusaha untuk tetap bugar, maka saya punya peluang untuk berhasil di akhir karier saya. Hanya berharap kalau saya masih dinaungi keberuntungan,” katanya.

Semoga saja, Will mendapatkan kesempatan untuk merasakan nikmatnya berkompetisi di Premier League. Namun, itu semua tergantung usaha dan penampilannya selama membela Ipswich plus mendapatkan keberuntungan dengan tidak mengalami cedera parah seperti yang ia rasakan sebelumnya. Kalau itu semua bisa ia dapatkan, maka besar peluang baginya untuk bertemu kembali dengan mantan rekannya di akademi United sekaligus saudara kembarnya di Premier League.