Datang dengan rasa optimis, Ole Gunnar Solskjaer memulai segalanya dengan manis. Kehadirannya membuat perasaan ini membaik setelah sebelumnya begitu pesimis. Keajaiban di Paris membuktikan kalau dia punya sentuhan magis. Namun apa daya, karier kepelatihannya justru berakhir dengan cara yang tragis.
Perpisahan itu akhirnya datang juga. Ketika akhir musim menjadi batas yang diminta untuk menghakimi kinerjanya, apa daya vonis mau tidak mau harus datang lebih cepat. Segalanya menjadi serba sulit. Kemediokeran justru semakin terlihat ketimbang progres signifikan yang begitu dinanti. Nama besar yang sebelumnya ditakuti justru berubah menjadi olok-olok yang begitu menyakitkan.
Ole’s at the wheel memang bergema kencang saat United kalah 1-4 dari Watford kemarin. Akan tetapi, itu semua datang justru dari suporter tuan rumah. Diiringi dengan Harry the Hornet yang terus berdansa, mereka penuh suka cita menyanyikan lagu yang seharusnya dikumandangkan oleh suporter United.
Klub ini terkesan semakin tidak memiliki harga diri. Dibantai Liverpool, tidak bisa berbuat apa-apa melawan City, dan terakhir hancur lebur lawan tim promosi. Suporter lawan justru yang mendukung Ole untuk terus bertahan karena yakin tim ini tidak akan kemana-mana jika dia masih melatih.
Kekalahan kemarin memang sulit dimaafkan. Sama seperti ketika dibantai Liverpool dan City penampilan United lagi-lagi ala kadarnya. Tidak ada istimewanya sama sekali meski disana sudah diisi oleh para pemain yang kualitasnya dua level di atas tim asuhan Claudio Ranieri tersebut. Sayangnya, hasrat untuk menang justru lebih banyak dimiliki Watford ketimbang United.
Aneh memang melihat permainan United saat itu. Lagi-lagi pertanyaan template keluar: “Apa saja yang mereka lakukan saat menjalani sesi latihan di Carrington?”
Karena masalahnya lagi-lagi sama. United tidak mengerti harus bermain seperti apa saat menghadapi lawan yang bermain dengan pressing. Dalam pertandingan kemarin kita sering melihat United akan langsung melepas umpan spekulatif ketika dipress. Mirip dengan cara main timnas Indonesia di masa lampau. Hingga sekarang, sih.
Inilah yang membuat penampilan United dari segi taktikal seperti tidak ada progres. Pada babak pertama, United hanya 42 umpan yang mengarah ke sepertiga akhir lapangan Watford. Bandingkan dengan Watford yang punya 92 umpan ke pertahanan United hanya dari 174 percobaan sedangkan United butuh 301.
Masalah ini memang selalu terulang. Apalagi jika melihat para individu yang lagi-lagi gampang terpancing untuk meninggalkan posnya. Inilah yang membuat permainan United semakin hari semakin sulit untuk dibela.
Ketika Donny Van de Beek masuk, permainan United mulai berubah. United butuh pemain tipikal VDB untuk memperbanyak cara bermain dengan umpan-umpan pendek. Sempat ada harapan ketika dia mencetak gol, namun kartu merah Maguire menghilangkan momentum.
Mencari biang keladi dari permasalahan United memang begitu rumit. Menyalahkan manajemen, tapi manajemen sudah mengeluarkan ratusan juta untuk pemain yang katanya sudah menjadi pilihan utama Ole beberapa diantaranya. Bahkan segala bentuk protes untuk menggulingkan rezim Glazer pun sekadar hangat-hangat taik ayam.
Menyalahkan pemain yang tidak berjuang untuk manajer maka menggugurkan anggapan kalau pemain ini adalah pemain yang katanya sudah punya DNA United.
Ole sendiri memang layak untuk dikritik. Begitu juga dengan para stafnya. Akan tetapi, ini juga tidak bisa menjadi alasan utama untuk memecatnya karena kita sendiri sebagai suporter juga tidak tahu apakah Ole memang benar-benar bukan manajer kompeten dalam menyampaikan gagasan United bermain atau memang pemainnya saja yang tidak mengerti kemauan dari sang manajer.
Ada anggapan kalau pemain United seharusnya tidak perlu lagi diajarkan tekhnik dasar bermain bola. Memang benar, namun ketika ingin naik ke step berikutnya, bukankah tekhnik dasar harus terus diasah agar tidak luntur? Inilah pentingnya dari sebuah latihan.
Sayangnya, kita sedang memasuki iklim sepakbola modern dimana hasil adalah output yang paling penting ketimbang berproses. Proses tanpa progres akan tetap dianggap sebagai kegagalan. Hampir juara tetap saja dianggap tidak cukup.
Kini, United menemukan kegagalan lain dalam menunjuk manajer. Manajer berpengalaman sudah gagal, dua nama besar di dunia juga gagal, dan sekarang mereka kembali gagal setelah mengangkat legenda klub.
Pilihan kini sudah dibuat. Untuk sementara Michael Carrick dan Darren Fletcher yang akan memimpin tim sembari menunggu apakah ada manajer yang tepat mengingat nama-nama yang muncul sekarang semakin liar seperti Julen Lopetegui hingga Steve Bruce.
Sebelum mencari pengganti Ole, ada baiknya United dalam hal ini manajemen, harus mencari tahu dulu klub ini mau dibawa seperti apa. Mau bermain seperti apa. Dan apa tujuannya di masa yang akan datang.
Tidak perlu meminta pendapat Glazer karena mereka sudah punya John Murtough dan Darren Fletcher. Dua nama ini yang sudah harus tahu ingin membuat United bermain seperti apa dan tidak sekadar asal tunjuk Pochettino, Ten Hag, atau bahkan Ralf Ragnick.
Berbicara soal Ralf Ragnick, sosok ini pernah berkata kalau “pelatih elite adalah pelatih yang datang dengan membawa ide tim ini mau bermain seperti apa dan tahu sepakbola seperti apa yang ingin mereka mainkan. “
Hingga Ole Gunnar Solskjaer pergi, (manajemen) United sendiri sepertinya belum tahu mau bermain sepakbola seperti apa. Pada akhirnya Ole menjadi tumbal berikutnya.
Ia pergi dengan meninggalkan banyak kredit namun juga dengan banyak olok-olokan. Sosok yang dicintai tapi hanya sebagai pemain dan bukan sebagai manajer yang tepat untuk membawa klub ini ke level jauh.
Masalah klub ini memang sudah begitu banyak.Kotoran seperti sudah tersebar di sana sini hingga tidak tahu harus mulai dari mana untuk membersihkannya.