Pencapaian Sir Alex Ferguson sebagai manajer di Manchester United memang tergolong luar biasa. Dia tidak hanya membangun sebuah tim, namun ia juga membangun sebuah dinasti keemasan untuk Setan Merah. Catatan 38 trofi, 13 diantaranya gelar Premier League, serta hanya lima kali gagal memberikan gelar adalah sebuah torehan yang membuatnya pantas diberi gelar sebagai yang terbaik di dunia sepakbola.

Segala kisah indah Sir Alex Ferguson di kota Manchester membuat banyak orang yang ingin mengikuti jejaknya. Ramai-ramai mantan pemainnya menjadikannya role model dengan mengikuti jejaknya sebagai manajer. Dengan harapan, nilai-nilai yang pernah ditanamkan sang guru kepadanya bisa ditularkan untuk pemain-pemain generasi mendatang.

Akan tetapi, pepatah mengatakan kalau setiap orang dibekali kemampuan yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Kecerdasan setiap orang sudah pasti berbeda dengan yang lain. Begitu pula di dunia sepakbola. Belum tentu seorang pemain yang mendapat didikan dari manajer yang handal semasa aktif bermain, kemudian menjadi manajer yang sukses pula di kemudian hari.

Sayangnya, hal itu yang terjadi di Manchester United. Puluhan pemain didikan Sir Alex Ferguson ramai-ramai mencoba peruntungan mengikuti jejak sang guru dengan menjadi manajer dan memiliki mimpi meraih banyak gelar seperti apa yang dilakukan Sir Alex ketika masih berada di bangku cadangan Old Trafford.

Memang terkesan tidak adil untuk mengharapkan mantan pemain didikan Sir Alex bisa meraih banyak trofi seperti dirinya. Namun tetap saja mengejutkan ketika tidak banyak dari mereka yang meraih kesuksesan. Mayoritas diantaranya justru menjalani nasib yang lebih mengenaskan dibanding sang guru seperti dipecat, atau terdampar bersama klub-klub yang kurang terkenal.

Paul Scholes adalah nama ke-32 yang memilih jalan sebagai manajer ketika menangani Oldham Athletic beberapa waktu lalu. Dikontrak selama 18 bulan untuk melatih tim idola masa kecilnya tersebut, nyatanya Scholes hanya bertahan selama 31 hari saja. Intervensi dari manajemen menjadi alasan dirinya mundur dari jabatannya.

Sangat mengherankan memang mengingat Scholes dikenal sebagai pemain yang memiliki intelegensi yang tinggi ketika berada di atas lapangan. Namun seperti yang diungkapkan sebelumnya, tidak ada jaminan seorang pemain yang hebat akan sukses sebagai pelatih. Scholes adalah salah satu contoh. Meski dikabarkan mendapat intervensi, namun performa Oldham di era kepelatihannya saat itu juga jauh di bawah harapan para pendukungnya.

Kurang lebih sepekan yang lalu, Jaap Stam juga mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pelatih Feyenoord. Karier Stam di kota Rotterdam sama mengenaskannya seperti Scholes. Yang membedakan adalah, ia sudah menangani klub ini selama tujuh bulan. Performa yang buruk menjadi alasannya mengundurkan diri. Stam hanya meraih tiga kemenangan dalam 11 pertandingan.

Saat ini, masih ada beberapa nama mantan pemain asuhan Sir Alex yang menjalani karier sebagai manajer. Yang paling sibuk saat ini adalah Steve Bruce yang sudah menjalani lebih dari 900 pertandingan di beberapa kesebelasan Inggris dengan Newcastle United sebagai klub asuhannya sekarang. Namun dengan jumlah laga sebanyak itu, rasio kemenangan yang dimiliki hanya 38,3%.

Sama seperti Bruce, Mark Hughes juga menjalani ratusan pertandingan bersama beberapa kesebelasan di Inggris. Namun rasio kemenangannya hanya berada di angka 37,4%. Bryan Robson juga memiliki rasio kemenangan yang cukup kecil yaitu 36%. Baik Bruce dan Robson sama-sama kapten United ketika masih bermain dulu. Namun kehebatan mereka sebagai pemimpin para pemain di atas lapanga justru tidak menular ketika berada di pinggir lapangan.

Ketika menyangkut mantan pemain didikan Sir Alex Ferguson yang mencicipi kesuksesan, ada dua nama yang memiliki prestasi lumayan. Dia adalah Gordon Strachan dan Laurent Blanc. Meski rasio kemenangannya hanya 44,3%, namun Strachan sukses membawa Celtic meraih enam gelar di kompetisi Skotlandia dengan tiga diantaranya adalah gelar Liga.

Laurent Blanc bahkan jauh lebih baik lagi. Menangani Paris Saint Germain (PSG) sejak 2013 hingga 2016, ia memiliki rasio kemenangan sebesar 72,8%. Sepanjang kariernya, ia bahkan baru menderita 55 kekalahan dari 359 pertandingan. Tiga gelar Ligue 1 bersama PSG menjadi bukti kualitas Blanc. Satu-satunya alasan yang membuatnya tidak langgeng di Paris adalah kegagalannya di kompetisi Eropa. Dengan kualitas sebagus ini, cukup mengherankan Blanc masih menganggur sampai sekarang.

Lalu, bagaimana dengan Ole Gunnar Solskjaer? Sama seperti Scholes dan Bruce, magis pria asal Norwegia ini belum terlihat sejauh ini bersama Manchester United. Meski ia sukses memberikan gelar untuk Molde, namun Solskjaer masih kesulitan ketika meningkatkan kualitasnya bermain di kompetisi yang jauh lebih tinggi. Sebelum membela Manchester United, ia tidak bisa menghindar dari jerat degradasi bersama Cardiff City.

Bersama Manchester United saat ini, Solskjaer memiliki rasio kemenangan 49%. Angka ini adalah yang terburuk sejak era Sir Alex Ferguson. Bahkan sejauh ini, David Moyes jauh lebih baik dari Solskjaer. Namun angka yang lebih mengenaskan didapat jika hanya menghitung laga-laga ketika Solskjaer dipermanenkan. United hanya memenangi tujuh dari 28 pertandingan yang dimainkan dan hanya memiliki rasio kemenangan 25% saja.

Sir Alex Ferguson pernah mengungkapkan alasan mengapa banyak mantan anak didiknya yang gagal menjadi manajer hebat. Terlalu cepat terjun di dunia kepelatihan serta situasi sepakbola yang jauh berbeda dibanding zamannya dulu menjadi faktor penting mengapa banyak anak didiknya yang tidak berkembang sebagai manajer.

“Rata-rata dari mereka mengambil lisensi pada usia 32 atau 33, kemudian langsung berencana menjadi manajer dua sampai tiga tahun kemudian. Perlu diketahui kalau industri ini sangat serius. Kalau Anda tidak punya persiapan untuk mendapat kemenangan, maka Anda akan menderita. Terlebih lagi sikap para pemilik yang tidak cukup sabar dibanding era saya. Itu juga berpengaruh,” tuturnya.