Sejak ditangani oleh Ole Gunnar Solskjaer, Manchester United baru menderita dua kali kekalahan. Satu menghadapi PSG dan yang terbaru ketika menghadapi Arsenal pekan lalu. Kekalahan ini terasa begitu menyebalkan karena datang di saat yang sebenarnya tidak tepat.

Menghadapi PSG pada leg pertama, United butuh modal agar nyaman untuk menghadapi pertandingan berikutnya di Paris. Namun kenyataannya, Setan Merah kalah 0-2. United juga punya peluang untuk merangsek ke posisi tiga jika sukses mengalahkan Arsenal. Akan tetapi, mereka juga kalah dengan skor yang sama.

Namun yang menarik dari dua pertandingan tersebut adalah melihat respon Ole setiap timnya kehilangan poin. Alih-alih mengutuk, menyalahkan, atau mencari dalih lain, Ole memilih untuk menyikapi kekalahan timnya dengan cara yang positif.

Masih ingat dengan ucapannya ketika United kalah di leg pertama menghadapi PSG. Ia hanya menjawab pertanyaan tentang peluang timnya lolos dengan simple namun sangat bermakna. “Menghadapi mereka seperti melihat gunung yang berada di depan. Namun, gunung ada untuk didaki bukan?” katanya.

Ucapan Ole memang sederhana, namun memiliki dampak yang luar biasa. Terserah orang mau bilang kalau kemenangan melawan PSG beruntung atau mendapat gol dari langit, namun United berhasil melakukan comeback. Toh, United tidak bermain curang dan justru PSG, serta teknologi, yang menyebabkan timnya kebobolan tiga kali pada pertandingan tersebut.

Hal-hal seperti ini memang sudah hilang sejak Ferguson pergi. Sebuah hal kecil namun dampaknya sangat luas untuk kemaslahatan para pemain Manchester United itu sendiri.

David Moyes langsung menyerah sebelum peluit dibunyikan. United ia anggap underdog. Louis Van Gaal bahkan menyalahkan penggemar yang dianggap memiliki harapan terlalu tinggi saat ia masih berada di kursi pelatih. Sementara Mourinho justru membahas hal di luar penampilan United di lapangan dan memilih meminta respect dari para wartawan.

Namun Ole tidak demikian. Ia tahu kalau timnya saat ini berada jauh di luar harapan banyak orang. Alih-alih merendah, dia sebisa mungkin akan menempatkan United berada sejajar atau bahkan berada pada posisi yang lebih tinggi dari lawannya.

“Liverpool saat ini adalah tim yang fantastis dan kami tahu kalau yang akan terjadi di Old Trafford nanti adalah pertandingan yang akan sulit. Mereka menghormati kami dan kami juga menghormati mereka. Kalau mereka melakukan taktik yang sama dengan mematikan Pogba, maka Pogba akan membukakan ruang untuk pemain lainnya,” kata Ole saat timnya bersiap melawan Liverpool.

Jalannya pertandingan memang tidak sesuai harapan, namun United berhasil membuat Liverpool tidak bisa bergerak hingga akhir pertandingan. Berpikir positif jelas penting karena dapat mengesampingkan tekanan yang dialami oleh suatu individu. Ole bukannya tidak ada tekanan. Meski para penggemar tidak mempermasalahkan kalau tahun ini United tanpa gelar, namun United jelas harus punya prestasi yang bagus di tiga kompetisi yang masih mereka ikuti sekarang.

Mencoba berpikir positif akan memudahkan seseorang mencari jalan keluar. Bagi seorang pelatih sepakbola, pemikiran positif akan membuat suasana dalam internal klub menjadi lebih sejuk sehingga membangkitkan gairah para pemainnya. Sebaliknya, terpuruk dalam tekanan akan membuat seseorang menjadi stress. Hal ini yang mungkin dialami oleh tiga manajer sebelumnya.

“Ada banyak keceriaan yang dia bawa sehingga kami memiliki banyak sekali hal positif kedepannya. Dia adalah pribadi yang punya pemikiran positif, bersahabat, dan sudah mengenal klub ini sejak lama. Kami berusaha untuk menjaga senyuman di dalam tim ini,” kata Luke Shaw.

Dibentuk Sejak Lama

Sosok Solskjaer memang penuh dengan citra yang positif. Dia tidak mau dipanggil bos, memanggil namanya saja sudah cukup. Ketika datang kembali ke United, ia memberikan coklat kepada staf perempuan yang masih bekerja di klub sejak ia masih menjadi pemain. Bahkan ia masih menyempatkan diri menerima permintaan foto dari Ryan D’Masiv meski mendapa pengawalan para bodyguard.

Karakter positif ini memang sudah muncul sejak Ole masih menjadi pemain. Dia tidak marah ketika kehidupan bermain sepakbolanya lebih banyak dimulai dari bangku cadangan. Tidak bisa menjadi pemeran utama, ia mengambil perannya sendiri sebagai pemeran pengganti dalam kejayaan United.

“Setiap kali duduk di bangku cadangan, saya hanya berkata dalam hati: ‘Tunggu saya di lapangan, aku akan menunjukannya kepada kalian semua!’” tutur Ole kepada Dagbladet.

Berapa pun waktu yang diberikan Sir Alex Ferguson, satu atau dua menit sekalipun, akan selalu dimanfaatkan dengan baik olehnya. Hasilnya berupa 29 gol yang ia buat sebagai pemain pengganti. Ole bahkan membuat ceritanya sendiri. Siapa yang tidak bisa melupakan empat gol dalam 10 menit terakhir ketika menghadapi Nottingham Forest dua dekade lalu.

Bahkan ia masih sempat-sempatnya berpikir positif meski didera cedera lutut yang membuatnya absen hingga tiga tahun. Rasa sakit di lutut kanan ketika United melawan Wolverhampton Wanderers pada 2003 membuatnya sering bolak-balik meja operasi. Selama tiga tahun pula ia tidak bisa membuat gol. Namun ia tetap memandang cederanya dengan santai.

“Saya sering menghibur diri dengan mengatakan kalau saya baik-baik saja, dan jauh di dalam lubuk hati saya, saya tahu itu,” ujarnya.

Kerja keras dan pemikiran positif tersebut akhirnya terbayar pada musim 2006/07. 11 gol dan 32 pertandingan berhasil ia buat sekaligus menutup kariernya di Manchester United dengan mengangkat trofi Premier League keenamnya.

Meski Ole dikenal sebagai sosok yang positif, bukan berarti Ole tidak bisa bersikap tegas kepada para pemainnya. Hair Dryer Treatment ia keluarkan kepada anak asuhnya yang tampil buruk saat melawan Reading. Eric Bailly ia tarik ketika pertandingan baru berjalan 36 menit. Hal ini menunjukkan kalau Ole manusia biasa yang bisa kecewa jika para pemainnya bermain tidak sesuai pakem yang ia mau.