Foto: Forbes.com

Dikasih manajer yang tegas, pemain sulit menikmati dirinya sendiri. Giliran dikasih manajer yang easy going, berpikiran positif, dan kalem, para pemain dianggap tidak lagi takut dan merasa kalau segalanya baik-baik saja. Kalau sudah begini, Manchester United harus mencari manajer seperti apa lagi?

Ole Gunnar Solskjaer ternyata bisa marah juga. Ada rasa tersinggung dari sorot matanya yang penuh kekesalan ketika menjawab pertanyaan dari jurnalis terkait sifat santuy-nya yang dikritik oleh Robin van Persie. Menjawab singkat, padat, dan jelas, lalu ia pergi mengakhiri konferensi pers dengan raut wajah yang berbeda dari biasanya.

“Saya tidak kenal Robin dan Robin juga tidak kenal saya. Ia dapat berkata apa pun dan itu tidak akan mengubah apa-apa. Dia tidak punya hak untuk memberi kritik tentang cara saya mengelola tim ini. Ia tidak paham apa yang saya lakukan di sini dan saya dapat mengatakan pada Anda kalau saya tidak akan mengubah pendekatan saya,” kata Solskjaer jelang melawan Wolves.

“Ya, Robin mengambil nomor 20 dari saya dan hanya itu koneksi yang ada antara kami berdua. Manajemen sepakbola sudah berubah, eranya berubah, dan ini bukan lagi era lawas seperti dulu. Saya akan melakukan apa yang saya kira benar-benar diperlukan.”

Solskjaer dan Van Persie mungkin tidak mengenal satu sama lain dalam hal relasi keakraban. Tapi dari segi nama besar, Solskjaer seharusnya tahu siapa Van Persie. Solskjaer adalah penggemar sejati United dan rasanya tidak mungkin ia tidak melihat RVP mengangkat piala Premier League pada musim 2012/2013. Begitu juga sebaliknya, tidak mungkin rasanya penyerang Belanda ini tidak tahu Solskjaer karena di Old Trafford ia pasti diperkenalkan momen gol si manajer pada final Liga Champions dua dekade lalu.

Kemarahan Solskjaer diawali dari reaksinya ketika menyikapi kekalahan United melawan Arsenal. Saat itu, ia bersikap santai dan seolah-olah tidak ada masalah. Bahkan ia masih sempat untuk melepaskan senyum di depan kamera. Inilah yang membuat RVP kesal saat ia menjadi pundit di BT Sports.

Tidak salah memang kalau Solskjaer ingin melepas senyum meski timnya mengalami kekalahan. Ia lakukan itu semata-mata untuk membela para pemainnya dari serangan para penggemarnya. Namun RVP merasa kalau Solskjaer seharusnya tahu situasi dan kondisi. Ia marah karena dikritik oleh mantan penyerang Belanda ini, tapi ada di mana rasa marah Solskjaer ketika timnya kehilangan poin melawan Bournemouth, West Ham, Crystal Palace, Watford, hingga yang terbaru Arsenal dengan permainan yang bisa dibilang pas-pasan.

RVP juga menambahkan kalau lembutnya sikap Solskjaer inilah yang membuat para pemain seolah tidak takut untuk bermain buruk. Selagi mereka akan dilindungi Solskjaer di depan awak media, maka segalanya terasa baik-baik saja. “Anda perlu sedikit untuk ditakuti. Saya justru melihat Solskjaer seperti pria yang sangat baik,” katanya.

Apa yang dilakukan Solskjaer memang semata-mata hanya dari kacamata media semata. Bisa jadi kalau di dalam ruang ganti ia marah besar terhadap para pemainnya. Seperti yang dikatakan oleh Rio Ferdinand  kalau Solskjaer bisa menjadi orang yang berbeda di ruang ganti karena saat menjadi pemain, omongannya bisa begitu tajam.

Namun, jika belajar dari kasus-kasus yang sudah dilalui Solskjaer, apa yang diucapkan oleh Rio terkait ketegasan sang manajer memang butuh pembuktian lebih lanjut. Saat Jesse Lingard tersandung masalah video tidak pentingnya itu, Solskjaer merasa kalau itu adalah aktivitas yang wajar saja. Begitu juga dengan sikapnya yang tampak belum bisa mengambil keputusan apakah harus menjual atau mempertahankan Paul Pogba.

Serba Salah Terkait Sikap Manajer

Manchester United mungkin menjadi tempat yang sulit bagi seorang manajer untuk bersikap. Terlebih lagi ketika tim ini sudah ditinggal oleh Sir Alex Ferguson. Siapa pun manajer yang datang dibuat kebingungan untuk menentukan metode apa yang dipilih agar para pemainnya bisa terus konsisten dan tampil mati-matian layaknya seniornya dulu.

Rio Ferdinand menyebut kalau masalah United adalah tidak adanya rasa tanggung jawab dari para pemainnya terkait peran yang mereka mainkan di atas lapangan. Ungkapan itu seolah berkorelasi dengan komentar Van Persie yang menyebut kalau terlalu baiknya Solskjaer menjadi faktor yang membuat para pemain United seperti tidak ada rasa takut karena mereka tidak akan kehilangan tempat pada laga berikutnya jika bermain buruk pada hari ini. Jauh berbeda ketika dua bintang United menyebut adanya ancaman dari Sir Alex Ferguson kepada Scholes, Ferdinand, dan Carrick yang tidak akan dimainkan pada laga berikutnya ketika mereka bermain buruk.

Namun seperti yang dituliskan di atas, Pendekatan keras dari seorang manajer yang pernah memimpin di Manchester United kerap menjadi bumerang bagi si manajer itu sendiri sehingga sikap yang harus diambil menjadi serba salah.

Berbicara soal kharisma, dan metode yang tegas nan disiplin, sosok Louis van Gaal dan Jose Mourinho bukanlah sosok sembarangan. Mereka juga bisa bersikap baik kepada para pemainnya dan siap pasang badan kalau timnya mendapat kritik. Namun, hal tersebut tetap tidak bisa menghindarkan mereka dari pemecatan.

Manajemen kemudian mendatangkan Solskjaer. Selain karena status pahlawan klub yang melekat kepadanya, ia juga dinilai cakap menjaga ruang ganti. Para pemain disebut lebih nyaman bermain bersama Solskjaer karena sikapnya yang ramah dan murah senyum.

Namun, Solskjaer tampak belum bisa mengetahui batas dimana manajer harus melindungi atau mengeluarkan hair dryer treatment kepada pemainnya. Inilah yang membuat RVP mengeluarkan komentar kalau para pemain seperti tidak kenal takut dan tidak adanya rasa tanggung jawab kalau mereka bermain buruk karena manajernya saja seperti tidak memiliki aura untuk ditakuti.

Van Persie mungkin tidak meminta Solskjaer untuk tiba-tiba datang ke depan para pemain lalu berteriak layaknya Sir Alex Ferguson. RVP mungkin hanya ingin Solskjaer sedikit lebih tegas dimana hal itu wajib dalam sebuah kepemimpinan. Solskjaer diharapkan bisa memperingatkan para pemainnya kalau ia melakukan kesalahan agar timbul rasa tanggung jawab dari si pemain itu sendiri. Jika di pinggir lapangan saja, Solskjaer kurang menunjukkan sikap dan ketegasannya, wajar seorang RVP mempertanyakan kapasitas dia dalam hal manajemen pemain.

Kita bisa mencontoh Jurgen Klopp di Liverpool. Bisa dibilang, Klopp juga murah senyum tetapi ketika ia merasa butuh bersikap tegas maka tidak ada salahnya untuk menunjukkan ketegasannya tersebut. Satu bukti betapa tegasnya Klopp adalah ketika ia melarang para pemainnya menyentuh tulisan “This Is Anfield” sampai mereka bisa memenangi gelar. Larangan ini yang kemudian memberikan rasa tanggung jawab kepada para pemain hingga gelar Liga Champions 2018/2019 bisa mereka raih.

Memang banyak sekali faktor yang membuat masalah seperti ini bisa menjadi sorotan di Manchester United. Ketiadaan sosok leader membuat ruang ganti seperti tidak ada yang memperingatkan tentang pentingnya dan rasa tanggung jawab untuk selalu bermain baik di setiap pertandingannya.

Selain itu, peran media sosial yang berkembang pesat juga memberikan pengaruh yang besar terhadap mentalitas para pemainnya. Mereka akan berlindung di balik agen dan ketiak para penggemarnya ketika manajer mengkritik permainan mereka. Solskjaer sendiri sempat mengungkapkan kalau dirinya adalah manajer yang kuno alias Old School sehingga tidak bisa bergerak apa-apa terkait dunia media sosial meski ia meminta para pemainnya untuk tidak melampaui batas.

Beberapa penggemar United yang balik mengkritik Van Persie berdalih kalau Solskjaer mungkin bersikap keras kepada para pemainnya. Hanya hal itu tidak tertangkap kamera karena kejadiannya di ruang tertutup. Ya, semoga saja hal itu memang benar-benar terjadi mengingat ia pernah bilang kalau hair dryer treatment adalah sesuatu yang ia miliki dalam karier kepelatihannya meski jika melihat permainan para pemain United yang kerap inkonsisten dan bisa menurun sangat cepat seolah-olah memang tidak ada hair dryer treatment yang ia lakukan di ruang ganti.

Tegas salah, lembek salah. Kalau sudah begini, manajer dengan karakter seperti apa lagi yang harus memimpin Manchester United?