Foto: Goal.com

Bagi Marcos Rojo, tidak ada tempat yang paling indah selain kembali ke rumah.

Tidak bisa dibantah kalau rumah adalah tempat yang paling nyaman di dunia. Senikmat-nikmatnya kita berada di tanah perantauan, suatu saat kita pasti akan kembali ke rumah. Ralph Waldo Emerson menyebut kalau rumah adalah tempat yang ingin ditinggalkan ketika sedang tumbuh dan menjadi tempat yang ingin kau kembali ketika mulai menua.

Menurut KBBI, rumah hanya berarti sebuah bangunan. Namun, definisi rumah bisa menjadi luas jika kita menelusurinya jauh lebih dalam. Rumah memang merupakan sebuah bangunan. Namun di dalamnya lebih dari itu. Rumah bisa menjadi tempat kita berbagi cerita, kehangatan, hingga rasa aman dan nyaman sesama anggota keluarga.

Selain itu, rumah merupakan tempat penuh kenangan saat pertama kali kita dilahirkan. Bahkan menurut Charles Henry Parkhurst, rumah adalah surga bagi seorang pemula. Oleh karena itu muncul istilah Home Sweet Home yang bermakna ‘rumahku surgaku’. Sebuah istilah yang menandakan betapa indahnya bangunan yang bernama rumah tersebut.

***

Bagi Marcos Rojo, rumah adalah tempat yang tepat untuk kembali. Ketika tanah perantauan sudah tidak bisa lagi berpihak kepadanya, maka pulang merupakan pilihan yang tepat. Durasinya singkat, hanya empat bulan sampai dengan kompetisi Liga Argentina berakhir. Namun, hal itu tidak akan menjadi persoalan karena di sana ia bisa mendapatkan rasa cinta yang mungkin tidak dia dapat di tempat rantauannya yang terakhir.

“Kamu selalu kembali ke tempat di mana kamu bahasia. Karena rasa memiliki menjadi lebih kuat maka mimpi dan impian keluarga Pincha (julukan Estudiantes) menjadi kenyataan. Kami dipersatukan kembali. Selamat datang dan terima kasih karena telah kembali, Marcos! Kami menyambutmu dengan hati!” kata Estudiantes dalam akun resmi media sosial mereka setelah kedatangan kembali Rojo.

Rojo bukannya sepi peminat. Tercatat, ada Everton dan Fenerbahce yang memiliki ketertarikan serupa. Bahkan klub yang disebut pertama sudah nyaris meminjamnya pada musim panas yang lalu. Akan tetapi, pihak United menahan adanya transaksi tersebut. Belum jelas alasan pasti pembatalan tersebut, namun menurut Paul Hirst dari The Times, manajemen United memandang Everton sebagai rival mereka menuju empat besar.

Usia Rojo baru 29 tahun. Masih jauh dari kata pensiun. Everton dan Fenerbahce menawarkan kompetisi yang setidaknya jauh lebih baik ketimbang bermain di Argentina yang kompetisinya jarang sekali mendapat porsi pemberitaan yang lebih banyak dibanding Eropa. Sayangnya, tekad untuk pulang sudah tidak bisa dibendung dan itulah pilihan yang diambil olehnya.

“Saya harus bermain dan kembali ke level saya. Lagipula, ibu saya meminta saya kembali. Saya punya banyak tawaran dari klub lain, namun tidak ada yang jauh lebih baik dibanding kembali ke rumah. Saya hanya berharap bisa segera bermain.”

“Saya juga telah berbicara banyak dengan Juan Veron dan akhirnya saya memilih untuk kembali. Belakangan ini saya kerap dibekap cedera dan lebih sering duduk di bangku cadangan. Namun saya perlu bersaing dan itu jauh lebih baik dilakukan di rumah sendiri,” kata Rojo.

Estudiantes bukan hanya tempat Rojo mengawali karier sebagai pemain sepakbola. Ia sudah memulai kariernya di sini sejak usia 10 tahun. Sebuah mimpi bagi anak-anak yang tinggal di kawasan La Plata untuk bisa memperkuat tim kebanggaan kota tercinta. Delapan tahun kemudian, ia mendapatkan kontrak profesional. Sinyal kalau pintu karier mulai terbuka lebar.

Dengan cepat Rojo menjadi idola. Pada musim pertamanya, ia langsung melihat timnya meraih gelar Copa Libertadores. Semusim kemudian, ia meraih gelar Liga Argentina dan merasakan nikmatnya bermain dalam 20 pertandingan untuk pertama kalinya. Sebuah pencapaian yang ia ulangi musim berikutnya meski tidak mendapatkan gelar juara.

Rojo sudah punya jalur untuk menjadi pemain utama Estudiantes. Namun seperti apa yang diucapkan Ralph Waldo di awal soal rumah, Rojo ingin tumbuh dan menjadi pemain sepakbola yang lebih baik lagi. Oleh karena itu, ia memilih pergi dan Estudiantes paham dengan impian pemainnya tersebut.

Rusia dipilih sebagai tempat berkarier. Namun durasinya sangat sebentar. Ia pindah lagi ke Lisbon untuk memperkuat salah satu tim kebanggan kota tersebut, Sporting. Di sanalah kariernya terus menanjak. Meski tidak meraih trofi apa pun, namun ia menjadi andalan klub selama dua musim. Yang paling penting lagi, performanya di Sporting membuat ia didapuk menjadi pemain utama timnas Argentina.

Ia kemudian merantau lagi. Kali ini menuju kota industri di Inggris, Manchester. Sisi merah ia pilih setelah berkeringat bersama Albiceleste di Piala Dunia. Awalnya, Rojo menjalani karier yang bagus. Beberapa kali menjadi pemain utama dan yang paling penting adalah mengangkat banyak piala. Bahkan Rojo punya andil dalam perjalanan klub menjadi juara Europa League.

Namun selama tiga musim terakhir, kebahagiaan sulit didapat. Sebaliknya, nelangsa justru akrab dalam dirinya. Cedera demi cedera memaksanya terpinggirkan yang membuat jumlah penampilannya berangsur-angsur menurun. Yang menarik, Rojo masih berusaha santai dan tidak pernah mengutarakan kalau dia tidak betah.

“Ole berkata kalau saya masih menjadi bagian dari rencananya. Dia ingin mendapatkan saya dalam kondisi bugar. Dia berkata kepada saya untuk tidak khawatir dan hanya harus berkonsentrasi untuk terus membuat kejutan dalam proses rehabilitasi saya,” ujarnya pada April 2019 lalu.

Sayangnya, ucapan Solskjaer hanya sekadar membuat Rojo terhibur. Seiring berjalannya waktu, sang arsitek tidak menepati janjinya. Saat Rojo sudah sembuh dan siap merumput, ia justru membeli tambahan satu pemain belakang lagi yang membuat posisinya semakin sulit. Bahkan pada laga piala domestik sekalipun, Rojo jarang dipakai tenaganya meski ia sudah benar-benar fit. Pada momen inilah ia mulai jengah dan terbersit pikiran untuk benar-benar pergi dari Manchester.

“Saya sudah punya kesempatan untuk pindah. Sekarang saya harus berjuang sampai Desember (2019) dan jika tidak ada perubahan, maka saya akan mencoba untuk pergi. Saya ingin jadi bagian dari tim nasional pada Copa America dan kualifikasi Piala Dunia,” tutur Rojo.

Rumah merupakan tempat berbagi cerita. Ketika Rojo kembali pulang, ia akhirnya bisa menceritakan kisahnya ketika menjalani masa perantauan. Terutama ketika kariernya macet dalam dua sampai tiga musim terakhir. Yang terbaru, ia curhat soal tidak jelasnya sikap Solskjaer yang terus menerus berkata kalau dia akan bertahan meski ia sudah berkata ingin pergi. Sekadar informasi, kalau kepastian Rojo kembali ke Estudiantes diberitahukan langsung oleh ibunya dan bukan dari pihak United.

“Pelatih terus mengatakan kalau saya akan bertahan di United. Padahal, saat itu kami sudah negosiasi dengan Estudiantes. Klub membuat kepulangan saya menjadi sulit. Saya tidak paham mengapa Solskjaer terus-menerus mengatakan kalimat itu (Rojo tetap bertahan),” kata Rojo kepada Manchester Evening News.

***

Rojo akhirnya mendapat kebahagiaan yang ia cari yaitu kembali ke Estudiantes. Rumah yang tidak bisa ia tinggalkan. Rumah yang membuatnya disambut dengan meriah dan dihadiri puluhan ribu penonton. Tidak ada reaksi negatif, tidak ada olok-olok. Yang ada hanya nyanyian dan gemuruh tepuk tangan yang membuat Rojo tidak bisa menahan air matanya.