Babak Play Off Piala Dunia 2018 mempertemukan Swedia melawan Italia. Sebuah pertandingan yang tergolong berat bagi Blagult dikarenakan mereka bertekad untuk bisa kembali mentas pada ajang empat tahunan tersebut. Tak terkecuali untuk Victor Lindelof. Kalau ia berhasil membawa Swedia meraih kemenangan maka ia akan menjalani Piala Dunia pertamanya.

Dalam dua pertandingan tersebut, Lindelof menjadi salah satu aktor kelolosan Swedia ke Rusia. Ia tampil apik bersama Andreas Granqvist dalam membendung kecepatan para pemain depan Azzurri. Jatuh bangun ia menjaga gawang negaranya agar tidak kebobolan. Sambil berkonsentrasi menjalankan tugas sebagai pemain bertahan, pikirannya pun kembali ke beberapa tahun lalu tepatnya di sebuah rumah sakit di Vasteras.

Sepakbola Sejak dalam Pikiran

Italia dan Piala Dunia seolah menjadi takdir bagi karier Lindelof. Mereka berdua sudah ada dalam pikiran sejak dirinya lahir. Saat ibu, Urlica Lindelof berjuang untuk melahirkan dirinya, ayah dari Lindelof justru kebingungan mencari lokasi yang menyediakan televisi. Ia bingung, karena di saat istrinya berada dalam batas hidup dan mati, Rose Bowl di kota Pasadena bersiap menggelar laga final Piala Dunia 1994 antara Italia melawan Brasil.

Setelah Victor lahir, ayah dari Lindelof menunggu istrinya hanya untuk memberikan kabar kalau laga akan berlanjut ke babak adu penalti. Mendengar hal tersebut, Urlica justru tertarik dan ikut menyaksikan bagaimana sepakan Roberto Baggio melambung tinggi ke langit Pasadena.

Sepakbola menjadi hobi bagi seorang Lindelof kecil. Dalam tidurnya, ia sering bermimpi sedang melewati beberapa pemain sebelum mencetak gol untuk membawa Swedia menang di Piala Dunia. Jika tidak ada panggilan makan malam, maka Victor akan bisa mencetak dua bahkan sampai tiga gol.

Semakin bertambahnya usia, khayalan Lindelof tidak sebatas hanya dalam tidurnya. Saat bermain bersama teman-temannya, ia akan berusaha menjadi sosok pemain yang ia lihat di televisi. Jika menjadi kiper maka ia akan berfantasi sebagai Fabien Barthez, ketika menjadi pemain depan maka ia akan nekat seolah-olah dirinya Zinedine Zidane. Sejak saat itu, Lindelof punya tekad untuk menjadi pesepakbola.

Digaet Benfica

Vasteras SK menjadi gerbang dari perjalanan karier Lindelof. Ia akan selalu diantar oleh ibunya untuk menjalani latihan. Akan tetapi, Ibunya tidak merasa yakin kalau anaknya bisa menjadi pesepakbola sukses. Sampai-sampai telepon masuk dari klub Portugal, Benfica yang membuat Lindelof bimbang mengambil keputusan.

Target Lindelof sebenarnya cukup sederhana. Ia hanya ingin bermain di klub besar Swedia. Tetapi yang datang justru klub pemilik dua gelar Liga Champions dan puluhan gelar Liga Portugal. Saat itu ia bingung. Memilih Benfica hanya akan membuat ia jauh dari teman-temannya serta keluarganya. Jika ditolak maka ia akan kehilangan kesempatan bermain di stadion legendaris, Da Luz.

Kebimbangan tersebut berakhir setelah ibunya mengajak Lindelof ke Lisbon untuk bertemu perwakilan Benfica untuk menandatangani kontrak. Seperti sifat ibu lainnya yang sedih ketika melepas anak laki-lakinya merantau, Urlica menangis. Hal itu membuat Lindelof berpikir ulang. Ia akhirnya menahan diri untuk bermain di Benfica sampai usianya 18 tahun pada 2012.

Adaptasi menjadi masalah bagi Lindelof muda. Sulit berkomunikasi, sepi dan bingung menjadi kendala dalam 24 jam milik Lindelof. Pusat latihan, restoran dan kamar adalah tiga tempat bagi dirinya untuk menghabiskan waktu. Yang dilakukan hanyalah menelepon ibunya untuk memberitahu kalau dia ingin pulang.

Beruntung, Lindelof cepat beradaptasi. Ia semakin membaur dengan rekan-rekan setimnya. Dan setelah menghabiskan banyak waktu di klub cadangan, ia kemudian mendapat kesempatan debut pada Oktober 2013 melawan CD Cinfaes dan bermain 90 menit.

Langkah Kecil Lindelof di Da Luz

Da Luz menjadi langkah awal dari mimpi-mimpinya sebagai pesepakbola. Ia kaget ketika tahu kalau stadion legendaris tersebut punya kapasitas hampir 65 ribu penonton. Jumlah yang ia bayangkan dalam tidurnya semasa kecil. Yang membedakan hanyalah posisi dan aksinya di atas lapangan.

Beberapa mimpi Lindelof sudah terpenuhi. Bermain di tim utama Benfica sudah ia lakukan. Sekarang ia mengincar impian yang lain yaitu bermain untuk Swedia. Namun merealisasikan mimpi butuh kesabaran dan ketekunan. Itulah yang betul-betul dirasakan olehnya.

Dipanggil Tim Nasional

Saat Euro U-21 siap dimulai, pelatih Swedia muda, Hakan Ericson tidak memanggil dia. Kabar itu membuat Lindelof terpukul. Ia merasa divisi dua Portugal tidak dianggap olehnya. Agar stres tidak semakin meningkat, ia memutuskan untuk berlibur. Sampai pada akhirnya, ia ditelepon Hakan dan memberitahu kalau di akan ikut serta ke Republik Ceska.

Dalam turnamen tersebut, Lindelof hanya satu kali tidak bermain sejak awal yaitu pada laga pertama melawan Italia. Akan tetapi setelah masuk mengganti posisi Alexander Milosevic pada babak kedua, posisinya mulai tidak tergantikan.

Swedia tampil apik. Mereka melangkah ke final setelah pada babak sebelumnya Swedia mengalahkan tetangga mereka Denmark 4-1. Pada partai puncak, Lindelof berhadapan dengan Portugal yang berisi nama-nama seperti Raphael Guerreiro, William Carvalho, hingga Bernardo Silva.

Laga itu berjalan sengit. Kedua tim bermain imbang 1-1 dan harus dilakukan adu penalti. Kedudukan saat itu 3-3. Masing-masing sudah mengalami kegagalan penalti satu kali. Lindelof mendapat giliran kelima dan berhasil. Swedia kemudian juara Eropa kategori umur setelah sepakan William Carvalho gagal.

Kesuksesan pada 2015 kembali menjadi jalan Lindelof meraih mimpinya di tim nasional. Setahun setelahnya, ia masuk skuad Euro 2016 dan selalu bermain pada tiga laga penyisihan grup menghadapi pemain besar seperti Robbie Keane, Daniele De Rossi hingga Romelu Lukaku.

Setiap Lindelof menyanyikan lagu kebangsaan mereka, Du gamla, du fria, ia selalu bergumam “suatu saat lagu ini ada di Piala Dunia. Impian itu pun terwujud dua tahun kemudian. Lindelof bisa menyanyikan lagu kebangsaan mereka.

Ada andil dari Lindelof juga yang membuat jutaan rakyat Swedia bangga karena mereka lolos ke babak 16 besar Piala Dunia untuk pertama kalinya sejak 2006 dan menjadi juara grup. Dalam pertandingan terakhir melawan Meksiko kemarin, ia menahan gempuran cepat Chicharito dan rekan untuk menjaga gawang Robin Olsen bersih dari kebobolan.

Lindelof juga membuktikan kalau sebesar apapun mimpi kita, apabila ada usaha yang keras maka bukan tidak mungkin akan menjadi kenyataan. Lindelof yang semasa kecil berpura-pura menjadi Zidane dan Barthez kini bisa menjadi Victor Lindelof seutuhnya di atas lapangan.