Foto: ilposticipo.it

Menjadi bagian dari tim utama merupakan mimpi bagi setiap pemain akademi di Manchester United. Mereka pasti berharap bisa seperti David Beckham, Gary Neville, atau bahkan Marcus Rashford yang menjadi bintang di dalam klub setelah terlebih dahulu mengasah kemampuan sepakbolanya di level akademi.

Akan tetapi, tidak semua pemain akademi itu bisa meraih mimpinya. Persaingan di tim akademi itu seperti seleksi alam. Siapa yang bermain bagus dan dianggap punya masa depan di tim utama, maka ia akan mendapat panggilan dari manajer. Mereka yang dianggap tidak punya masa depan maka akan dilepas dan dipersilahkan mencari tempat lain.

Mereka-mereka yang dilepas ini kemudian bisa memilih jalan kariernya sendiri. Ada yang memperoleh kebahagiaan di tempat lain, namun tidak sedikit juga yang jalan kariernya semakin suram setelah dilepas oleh akademi United. Satu yang mengalami nasib buruk ini adalah Charlie Scott.

Charlie adalah jebolan akademi Manchester United yang dilepas pada akhir musim kompetisi 2017/2018. Ia dianggap tidak memiliki masa depan di klub sehingga United pun melepasnya secara gratis ketika usianya baru 20 tahun. Keputusan ini jelas mengecewakan Charlie yang nyaris menghabiskan hidupnya bersama United. Fakta menyedihkan ini membuatnya depresi.

“Saya berada di United selama dua per tiga hidup saya. Tapi, ya, sudah, begitu saja. Saat itu saya mulai merasa depresi. Dari tempat yang terletak sangat tinggi, saya kemudian jatuh ke tempat yang sangat rendah,” kata Charlie dalam wawancaranya bersama The Athletic.

Depresi yang dirasakan Charlie membuat episode dalam hidupnya menjadi sangat kelam. Pria yang sekarang berusia 22 tahun ini berada dalam titik terendahnya. Kekecewaan akan nasibnya tersebut membuat dia terjebak dalam ketergantungan terhadap minum-minuman keras dan berjudi. Di usia yang begitu muda dan produktif, Scott sempat berada dalam kondisi tidak memiliki uang sama sekali.

“Saya tidak punya uang satu sen pun. Saya menghambur-hamburkan uang saya dalam banyak hal seperti minum-minum dan bermain judi kasino, serta beragam hal omong kosong lainnya,” kata Charlie menambahkan.

Setelah dilepas United, Charlie sebenarnya masih berusaha memperbaiki kariernya di dunia sepakbola. Saat masih menjadi siswa akademi United, ia sempat menjalani trial di Sheffield United dan menjalani masa peminjaman bersama Hamilton Academical pada 2018. Ia sempat bermain dalam dua pertandingan bersama kesebelasan Skotlandia tersebut.

Pada 2 November 2018, ia bermain untuk Altrincham. Kesebelasan berjuluk The Robins ini merupakan klub yang bermain di National League North yang merupakan kompetisi level keenam dalam tatanan sepakbola Inggris. Sayangnya, ia hanya bertahan semusim karena tidak bisa menjadi pemain utama.

Gagal sebagai pemain utama untuk tim divisi enam, Charlie menurunkan lagi levelnya ke divisi delapan dengan bermain untuk Newcastle Town. Lagi-lagi, ia hanya dipercaya bermain satu kali sebelum dilepas ke Kidsgrove Athletic. Sempat bermain empat kali, ia kemudian kembali ke Newcastle Town dan menjadi pemain sepakbola paruh waktu di sana. Kegagalan demi kegagalan inilah yang memberikan pengaruh hingga membuatnya begitu depresi. Bayangkan saja, teknik sepakbolanya tidak bisa diterima bahkan untuk tim divisi enam sekalipun.

“Dilepasnya saya memberikan pengaruh kepada saya. Saya terus berpikir apa yang dipikirkan orang tentang saya. Saya merasa semua orang melihat saya sebagai orang gagal. Orang yang pergi ke Manchester United selama 14 tahun dan kemudian hanya bermain sepakbola lokal.”

“Newcastle Town adalah klub lokal saya. Saya khawatir apa yang akan dipikirkan orang. Mereka akan melihat saya sebagai pemain gagal yang punya peluang untuk menjadi sesuatu. Jauh di lubuk hati saya, orang-orang pasti tidak akan mempermasalahkan itu. Itu hanya ada di kepala saya namun tidak bisa mengeluarkan pikiran itu dari sana. Banyak teman dan keluarga meminta saya untuk tidak terlalu khawatir, tapi itulah yang terjadi pada saya,” tutur Charlie menambahkan.

Selain menjadi pemain sepakbola paruh waktu di sana, Charlie Scott sekarang bekerja di sebuah situs konstruksi di Birmingham. Setiap harinya, ia akan menempuh perjalanan 80 km untuk bekerja sebagai pekerja konstruksi bangunan. Ia diperbolehkan bekerja pada bidang tersebut setelah lulus kualifikasi pada Desember lalu.

Saat masih membela United, Charlie berteman dekat dengan Marcus Rashford. Membandingkan karier keduanya seperti bumi dan langit. Rashford mendapatkan sinarnya di tim utama, sementara karier Charlie penuh dengan kesedihan yang membuatnya begitu depresi.

Beruntung ia punya sahabat seperti Rashford. Keduanya masih sering berhubungan hingga sekarang. Rashford pun memberi dukungan kepada Charlie agar dia tidak lagi depresi seperti sebelumnya. Inilah yang menjadi motivasi bagi dirinya untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

“Kami masih berhubungan baik. Marcus selalu mengirimi saya pesan untuk mengetahui keadaan saya. Seminggu sekali saya pergi menemui dia dan dia tidak berubah. Sama seperti ketika dia masih umur 15 tahun.”

“Dia benar-benar simpatik. Bahkan dia berkata kepada saya: ‘Saya tidak tahu kenapa Anda bisa berada dalam situasi ini.’ Tapi banyak orang juga yang berkata kalau itu juga membuatnya semakin buruk,” kata Charlie menambahkan.

Berkat dukungan Rashford, Charlie kini bisa lebih membuka matanya untuk menerima realita yang ada. Sekarang, ia sedang berjuang kembali dalam kehidupannya yang baru sebagai pekerja bangungan dan pemain sepakbola paruh waktu.

“Saya ingin membuktikan kalau United salah membuang saya. Banyak orang yang setelah mengalami nasib ini, akan mengalami kekecewaan yang mendalam. Akan tetapi, saya mencoba untuk tidak menyerah,” tuturnya.

Jauh lebih baik memiliki tekad ketimbang terus terjebak dalam lubang keputusasaan.