Foto: Blame Football

Ada harapan besar ketika Ole Gunnar Solskjaer pertama kali datang menggantikan Jose Mourinho. Salah satunya adalah melihat United kembali bermain atraktif seperti saat masih ditangani oleh Sir Alex Ferguson. Wajar apabila harapan ini muncul karena sosok Ole adalah mantan pemain United asuhan Fergie selama 11 tahun.

“Dia (Fergie) memengaruhi saya dengan segalanya. Cara dia berurusan dengan orang, cara dia menjadi manajer klub, bagaimana dia membuat 25 pemain kelas internasional tetap bahagia dan lapar gelar, serta hasrat untuk menjadi lebih baik dan juga kepada para staf,” kata Solskjaer seperti dilansir Sky Sports.

Ada Ferguson dalam diri Ole. Setidaknya itu yang tercermin pada penampilan United di awal-awal kepelatihannya. Menang, atraktif, menyerang, dan menghibur, menjadi warna baru mereka saat itu. Tidak hanya di atas lapangan, di luar lapangan Ole sebisa mungkin meniru apa yang dilakukan mentornya tersebut.

Dari hal yang pelik seperti manajemen manusia hingga hal remeh-temeh seperti mengenakan jas di setiap pertandingan, coba diikuti oleh pria asal Norwegia tersebut. Bahkan Ferguson sendiri diudang langsung ke Carrington agar bisa memotivasi pemain United. Jangan lupakan hair dryer treatment, senjata hebat Fergie dalam membangun United yang juga ingin di-copy oleh Ole Gunnar Solskjaer.

“Saya tidak takut untuk melakukannya (memberikan hair dryer kepada pemain). Ketika anak Anda berbuat salah, maka Anda akan menghukumnya, bukan? Seperti tidak mendapat coklat dan sebagainya. Jadi, menangani pemain sama seperti mengurus anak. Anda ingin membantu, dan menginginkan yang terbaik dari mereka, tuturnya.

Akan tetapi, segala ucapan tersebut muncul saat performa United begitu luar biasa. Seketika hasil buruk menghantam, bayang-bayang akan Sir Alex dalam sosok Ole Gunnar Solskjaer (sejauh ini) perlahan memudar. Dirinya kembali disandingkan dengan Jose Mourinho yang sama-sama menggunakan taktik parkir bus.

“Pelatih setelah saya (Mourinho) mengubah taktik parkir bus dan memainkan serangan balik. Sekarang ada pelatih lain yang menggunakan taktik serupa dan mengandalkan serangan balik. Perbedaan utamanya adalah, Solskjaer menang sementara Mourinho tidak,” kata Louis van Gaal kepada BBC Sport.

Solskjaer, yang begitu berambisi meniru segala pendekatan Sir Alex Ferguson pada awal kedatangannya, perlahan-lahan mulai menyerah. Ia memilih untuk mencoba beradaptasi dengan perubahan situasi sepakbola pada saat ini yang berbeda dibandingkan saat dirinya masih bermain dulu. Ia akhirnya mengungkapkan kalau pendekatan ala Ferguson sudah tidak bisa lagi dipakai untuk saat ini.

“Zaman sudah berubah dan Ferguson sungguh sulit dipercaya. Kami tidak dapat mencoba menyalin Sir Alex karena dia adalah manajer yang unik. Kami memiliki generasi pemain yang berbeda dan kami harus melakukannya dengan cara kami sendiri. Mungkin beberapa dari mereka tidak bisa menangani cara pengelolaan Sir Alex, tetapi kami harus melakukannya menggunakan cara kami sendiri,” tuturnya seperti dilansir Fox Sports.

Sir Alex Ferguson adalah manajer yang spesial. Sosok seperti ini tidak ada duanya dalam sepakbola dunia. Siapa pun yang berusaha untuk menirunya tentu tidak bisa karena Ferguson jelas punya metodenya sendiri dalam menangani tim. Buktinya, beberapa anak asuh Fergie yang menjadi pelatih kerap gagal meski sudah berusaha menggunakan filosofi serupa.

Menjadi Sir Alex Ferguson tidak hanya sebatas bermain menyerang atau bahkan mengeluarkan hair dryer kepada pemain yang dianggap membangkang. Jika berkaca dalam autobiografinya yang berjudul Leading, ada 13 aspek yang harus dipenuhi dalam menangani tim sebesar Manchester United. Dari 13 aspek tersebut, terbagi tiga sampai empat cara yang harus dilakukan agar semua aspek tersebut berjalan dengan baik.

Menurut professor Anita Elberse, pengajar di Harvard Business School, ada delapan filosofi yang ia gunakan dalam sepakbola. Kedelapan filosofi tersebut adalah membangun fondasi, berani membangun ulang, terapkan standar tinggi, jangan lepas kontrol, mencari momen yang tepat ketika menyampaikan pesan, siap menang, observasi, dan beradaptasi.

Kedelapan filosofi tersebut tidak hanya sebatas dari sisi manajemen antar pemain dan manajer, tapi juga untuk taktik di atas lapangan. Ferguson adalah orang yang cepat beradaptasi. Salah satu yang fenomenal adalah ketika ia mengubah pendekatan 4-4-2-nya yang kaku menjadi lebih fleksibel saat Jose Mourinho datang dan mengganggu dominasinya di Premier League.

Selain adaptasi, Ferguson juga dibekali para pemain yang siap mati demi dirinya di atas lapangan. Hal ini yang menjadi tantangan Solskjaer dalam membangun dinastinya di United. Ia belum dibekali pemain-pemain yang mumpuni sehingga taktiknya belum berjalan dengan baik. Tidak hanya itu, Ole juga harus memiliki fiosofinya sendiri layaknya beberapa pelatih hebat macam Pep Guardiola dan Jurgen Klopp.

Untuk bisa mengaplikasikan itu semua dalam tubuh United, Ferguson membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Butuh tujuh tahun hingga akhirnya segala metode yang ia lakukan membuahkan kesuksesan berupa trofi Premier League yang sudah dinanti-nanti selama 26 tahun.

Waktu juga yang dibutuhkan Solskjaer untuk bisa sukses. Menjalani proses tersebut juga butuh kesabaran ekstra. Dua faktor ini yang sudah hilang dari United dalam enam tahun terakhir mereka. Ole harus bisa meyakinkan manajemen United kalau dalam tiga tahun kontraknya nanti United tidak akan juara, setidaknya ada filosofi hebat yang ia tanamkan sehingga tim ini terus meningkat penampilannya. Situasi ini terjadi kepada Liverpool. Meski Jurgen Klopp belum bisa memberikan gelar bagi The Reds, namun tiap musimnya penampilan mereka selalu meningkat.

Jermaine Jenas, Paul Ince, dan Zlatan Ibrahimovic, adalah tiga nama yang begitu mengkritik keras Solskjaer karena tidak punya identitas diri dan hanya mengekor Sir Alex Ferguson. Hal ini yang mungkin membuatnya luluh dan melontarkan ucapan kalau ia tidak sanggup meniru pendekatan Ferguson.

Solskjaer sadar kalau ia harus mencari filosofinya sendiri dalam membangun dinastinya di kota Manchester. Filosofinya tersebut harus bisa beradaptasi dengan situasi sepakbola sekarang yang serba rumit. Saat melakukan hair dryer treatment contohnya, ia harus waspada dengan generasi pemain sekarang yang berlindung di balik agen dan pemilik klub. Jika tidak bisa melakukannya dengan baik, maka bisa saja Solskjaer yang justru menjadi korban berikutnya setelah Mourinho.