Chris Smalling mungkin tidak menyangka kalau penampilannya melawan Chelsea pada bulan Oktober lalu adalah penampilannya yang ke-300 bersama Setan Merah. Meski kemudian harus absen panjang karena cedera kaki, ia masih sanggup menambah delapan pertandingan lagi yang membuat jumlah penampilannya menjadi 308. Angka yang cukup banyak untuk seorang pemain Manchester United.

Hanya David De Gea (347) dan Antonio Valencia (338) yang punya caps lebih tinggi dari Smalling. Secara tidak langsung, hal ini menandakan kalau Smalling adalah pemain yang cukup penting bagi United. Kalau dia pemain yang tidak penting, maka United bisa saja menjualnya. Tapi pihak klub justru menambah durasi kontraknya hingga tahun 2022.

Membicarakan tentang Chris Smalling, maka kita membicarakan pemain yang dibenci sekaligus dicintai oleh banyak orang. Ia dibenci karena dianggap bukan pemain kelas dunia. Levelnya jauh jika dibandingkan Vincent Kompany, Thiago Silva, Toby Alderweireld, atau Virgil Van Dijk. Tapi di sisi lain, Smalling dicintai karena gol-golnya yang kerap menyelamatkan United. Masih ingat dengan kemenangan di Etihad pada April 2018 lalu?

Jejak karier Smalling tergolong sangat unik. Dua tahun sebelum membela United, ia masih berkarier di klub amatir. Smalling pun hanya membela Fulham sebanyak 19 kali saja sebelum Ferguson mendapat bisikan maut untuk merekrutnya sebagai penggawa baru pada musim panas 2010.

Tangguh Sejak Kecil

Satu hal yang patut diacungi jempol kepada seorang Smalling adalah ketangguhan mental serta sikap profesionalnya sebagai seorang pemain. Dia tidak mungkin tidak tahu kalau banyak yang tidak menyukainya sebagai pemain. Namun itu semua tidak membuyarkan fokusnya yang sudah tertanam sejak kehidupannya di masa kecil.

“Saya tidak pernah lupa masa kecil saya. Kadang-kadang Anda melihat orang-orang di sepakbola kehilangan akal sehatnya karena banyaknya sorotan kepada Anda. Tetapi saya tidak seperti itu. Masa kecil saya menguatkan perasaan saya untuk tidak pernah menerima apa pun begitu saja,” tutur Smalling kepada The Times.

Masa kecil Smalling tergolong miris. Ayahnya meninggal saat ia masih lima tahun karena kanker. Ia tumbuh tanpa figur ayah sebagai pemimpin dan tempat bertukar pendapat. Sebuah momen kelam dalam perjalanan hidupnya. Disaat anak-anak seusianya diantar oleh orang tuanya, Smalling naik bus sekolah sendirian. Kesedihan karena kehilangan sosok ayah coba ia tutupi bahkan ia harus berbohong kepada orang yang bertanya.

“Kami tidak mau membocorkan soal ayah. Kalau ada yang bertanya tentang ayah saya, maka saya akan mengatakan, ‘Ayah sedang pergi’ atau ‘Ayah tinggal di London’. Kami memilih mengada-ngada karena kami tidak nyaman dengan pertanyaan seperti itu.”

Tumbuh tanpa ayah, Smalling juga tumbuh dengan keterbatasan. Ia tidak punya mainan, komputer, atau internet seperti anak-anak lainnya. Smalling baru memiliki komputer saat ia mulai bekerja paruh waktu sebagai tukang cuci piring di sebuah restoran.

Ada rasa minder dari Smalling ketika melihat ia menjalani hidup yang berbeda. Beruntung ia masih mempunyai ibu seperti Theresa yang sukses membimbingnya dari anak kecil ingusan lalu menjadi seorang pesepakbola profesional. Saat ia menjadi pemain dengan gelimang harta seperti sekarang, Smalling tidak ingin melupakan asal usulnya.

“Banyak sekali rasa kecewa dalam diri saya ketika kecil seperti gagal masuk County, gagal di akademi Millwall. Tumbuh saat tidak punya ayah itu sulit. Beruntung ibuku melakukan segalanya untuk kami.”

“Sekarang, saya ingin dianggap sebagai pesepakbola yang baik. Tapi setelah pensiun nanti, saya ingin dianggap sebagai orang yang baik. Saya tidak lupa dari mana saya berasal. Saya juga ingin anak saya berkata kalau ayahnya adalah seorang panutan,” ujarnya.

Karier di Manchester United

Sejak bergabung pada 2010, Smalling sudah memainkan 308 pertandingan dan membuat 18 gol. Tidak hanya itu, serangkaian gelar sudah ia raih seperti Premier League, Piala FA, Piala Liga, Community Shield, hingga Europa League. Hanya Liga Champions saja yang belum bisa ia raih.

“Saya tidak percaya sudah sampai ketahap ini. Saya tumbuh dengan menonton United dan saya berterima kasih serta bangga telah apa yang saya lalui. Saya sukses mengatasi tekanan,” tuturnya.

Sebagai seorang bek, Smalling dituntut untuk memiliki fisik yang kuat. Itulah atribut utama seorang pemain belakang yang harus dimiliki. Oleh karena itu, ia senang bisa memiliki rekan seperti Martial, Rashford, dan Romelu Lukaku. Tiga pemain yang fisiknya menurut Smalling cukup mengujinya sebagai pemain bertahan.

“Tantangan terbesar adalah Didier Drogba dan Bobby Zamora. Mereka punya kekuatan dan pintar. Tapi saya siap menghadapi mereka karena kualitas latihan kami sangat baik. Beruntung saya memiliki rekan seperti Rashford, Martial, dan Lukaku. Para pemain yang selalu saya lawan ketika latihan. Pertempuran melawan mereka selalu konstan.”

Ada satu harapan Smalling yang sampai saat ini belum bisa diwujudkan yaitu mendapatkan kembali tempatnya di tim nasional. 10 Juni 2017 adalah kali terakhir ia berseragam tim Tiga Singa. Sejauh ini ia sudah melewati dua turnamen internasional yaitu Piala Dunia Rusia dan UEFA Nations League, ajang yang membawa Inggris ke semifinal.

Smalling sendiri kehilangan tempat karena dianggap tidak cukup baik oleh Gareth Southgate. Baginya itu tidak adil karena mengecilkan peluangnya bersama tim nasional.

“Saya ingin kembali ke tim nasional. Saya terbiasa bersama skuad sepanjang waktu, bermain, dan menghilang karena opini seseorang (Southgate) yang menyebut John Stones dan Harry Maguire lebih baik. Bagi saya itu tidak adil karena saya kerap memainkan pertandingan yang bagus bersama tim nasional,” tuturnya.

Meski sakit hati, namun Smalling menerimanya dengan lapang dada. Toh dipercaya oleh Van Gaal, Mourinho, dan Sir Alex Ferguson adalah tanda kalau beberapa manajer hebat dunia begitu percaya kepada penampilannya. Hal itu memupuk kepercayaan dirinya kembali untuk pulih seperti sebelumnya. Sekarang, tugasnya hanya satu yaitu mengetuk pintu hati Ole Gunnar Solskjaer untuk memberikan kesempatan kepadanya.