Rio Ferdinand gembira bukan kepalang. Ia menjadi orang yang paling heboh di studio BT Sports saat memandu laga United melawa PSG. Kemenangan 1-3 di Paris membuat dirinya merasa yakin kalau Ole Gunnar Solskjaer adalah orang yang tepat untuk membawa klub ini kembali ke masa jayanya.
“United mungkin tidak akan berterima kasih kepada saya tapi tolong cepat berikan dia (Ole) kontrak, letakkan di atas meja, biarkan dia menandatanganinya dan biarkan dia menulis berapa pun gaji yang dia mau mengingat apa yang dilakukan sejak dia masuk. Manchester United sudah kembali, man,” ucap Rio pada video tersebut.
Enam bulan setelah ia berkomentar seperti itu, Rio terlihat termenung di London Stadium. Tim besar yang pernah ia bela takluk dari tim yang menjadi tempat awalnya meniti kejayaan. Sepulangnya dari sana, ia menegur segerombolan orang yang berasal dari akun YouTube The United Stand. Maksud hati ingin menyapa, Rio justru ditodong oleh pernyataan soal nasib Ole yang membuatnya kesal dan berdebat dengan beberapa orang tersebut.
“Ole out? Ayolah dari mana datangnya ucapan itu. Untuk apa dia keluar? Mengganti manajer setiap minggu? Apa itu yang diinginkan semua orang? Anda mendapatkan hasil buruk dan Anda ingin mengubahnya? Dua minggu lalu saya tidak meliihat ada yang ingin dia out. Sekarang sudah berubah setelah dua minggu? Itu menyebalkan kawan. Biarkan semuanya berjalan,” ujar Rio.
Ucapan dari mantan bek United tersebut memang mengindikasikan kekesalan terhadap tingkah orang-orang itu. Ia muak dengan klub yang selalu memecat pelatih jika hasil tidak sesuai yang diinginkan. Namun jika melihat dari kacamata secara keseluruhan, kekesalan mereka bisa dimaklumi.
United tidak pernah lagi menang tandang sejak hasil melawan PSG musim lalu. Bahkan dari 19 laga setelah malam indah tersebut, United hanya memenangi lima pertandingan saja. Di sinilah betapa kekesalan mereka begitu bisa dimaklumi mengingat di awal-awal kedatangannya, tim ini tampil menggila dan menghibur, sampai-sampai pelatih yang sebelumnya memberikan tiga gelar mendapat olok-olok karena tidak bisa memberikan keindahan seperti yang dilakukan penerusnya.
Ketika musim berganti, kemenangan 4-0 langsung diraih. Lagi-lagi euforia ini membuat fans yakin kalau empat besar bisa dengan mudah diraih. Nyatanya, untuk sementara keindahan itu sifatnya semu. Sebuah harapan palsu yang diberikan oleh segerobolan tentara bayaran yang mengaku berjuang demi lambang Setan Merah di dada. Setelah pertandingan itu, mereka justru nampak kesusahan. Boro-boro mau menang, cetak dua gol saja terasa menjadi sebuah mukjizat bagi tim ini. Akan semakin memalukan rasanya jika melawan Rochdale nanti, mereka tampil seperti ketika laga melawan Astana yaitu banyak peluang tapi miskin gol.
Mana Manchester United yang tampil menggila di bawah awal-awal rezim Solskjaer? Itu pertanyaan para fans United saat ini. Mereka menghibur di awal-awal tapi minim kreasi ketika dia dipermanenkan. Kesan kalau menghiburnya penampilan tim saat itu lebih dikarenakan euforia perginya Mourinho nampak semakin mendekati kenyataan.
Siapa yang tidak kesal melihat timnya mengalami kekalahan. Apalagi, kekalahan tersebut didapat dari lawan yang paling sering mereka bobol sepanjang sejarah. Tidak ada kreasi, tidak ada rasa lapar, yang ada hanya permainan miskin kreativitas dan kebingungan di sana sini.
Antara Manajemen, Pelatih atau Pemain yang Tidak Berkualitas?
Jika hasil-hasil buruk seperti ini terus terjadi, fans United kerap terbelah dua. Di satu sisi mereka menyalahkan manajer dalam hal ini Ole Gunnar Solskjaer. Satu lagi akan menyalahkan manajemen dan para pemain yang tidak niat bermain di bawahnya.
Sulit untuk memilih karena ketiganya patut bertanggung jawab atas apa yang sudah terjadi sejauh ini. Solskjaer sudah melakukan apa yang dia mau ketika timnya dibantai 4-0 Everton musim lalu yaitu menyingkirkan pemain-pemain yang tidak layak bermain lagi untuk tim ini. Hal ini dikombinasikan dengan pembelian pemain yang tepat guna dan tidak lagi sembarangan.
Namun hal tersebut ternyata belum memberikan dampak signifikan. Ada atau tidaknya pemain yang tidak layak tersebut nampak belum berpengaruh. Taktiknya masih menemui hambatan. Berusaha bermain possession football terbentur dengan kurangnya kualitas para pemain United yang menurutnya adalah skuad terbaik yang ia punya. Possession football Ole terpaksa dimainkan hanya untuk meningkatkan intensitas dan membuat penggemarnya senang karena mereka tidak lagi main pragmatis.
Ia juga masih terjebak dengan masa lalu melalui romansa bersama pemain akademi. Akademi dianggap sebagai simbol kesuksesan tim yang paling hakiki sehingga tulang punggung tim harus berasal dari sana. Nyatanya, akademi United juga belum menunjukkan kelayakan diberikan menit main karena masih kesulitah menghadapi kerasnya permainan level tertinggi. Namun Ole merasa kalau pemain-pemain seperti Greenwood, Chong, Gomes, dan Garner sudah layak diberikan beban mengemban status sebagai pemain tim utama.
Manajemen dan pemain juga menjadi biang keladi yang ditunjuk. Sudah menjadi kewajiban bagi fans United untuk menyalahkan Ed Woodward dan keluarga Glazer yang tidak mengerti sepakbola, hanya mencari untung dan sebagainya. Mereka disalahkan karena kerap membuat keputusan blunder. Yang terbaru, adalah anggapan blunder menunjuk pelatih pecatan Cardiff menjadi manajer dengan modal status legenda.
Selain itu, pemain United disalahkan karena tidak bisa menunjukkan konsistensi permainan yang mumpuni. Rashford dan Martial dianggap lebih baik dari Lukaku namun inkonsistensi mereka masih payah meski kini persaingan mereka tidak seketat dulu. Begitu juga dengan Jesse Lingard yang sudah berbulan-bulan tidak membuat gol dan asis.
Turunkan Ekspektasi
Justinus Lhaksana, pundit TVRI di laga West Ham melawan United menyebut kalau beberapa pemain United main dengan gede otot tapi kecil otak. Selain itu, ia yakin kalau Ole Gunnar Solskjaer cepat atau lambat akan dipecat, serta menyebut kalau tim ini kerap memberikan harapan palsu bagi penggemarnya. Sebuah atribut yang mirip dengan tim papan tengah, bukan?
Terkesan tidak enak mendengarnya mengingat dia adalah fans Arsenal. Namun apa yang diucapkan ada benarnya. United kini tidak lagi ditakuti oleh lawan-lawannya. Di hadapan Huddersfield, Cardiff, dan Crystal Palace saja United terlihat kerdil jika berkaca dari hasil yang diraih. Bahkan dalam enam musim terakhir, meraih empat besar saja menjadi tugas yang sulit alih-alih menantang City dalam perebutan gelar.
Jika menghilangkan ekspektasi terasa susah dilakukan, maka menurunkan ekspektasi bisa menjadi solusi. Menurunkan ekspektasi tidak akan membuat fans United sampai sakit hati jika hasil tidak sesuai dengan harapan. Jika harapan dipasang terlalu tinggi, maka akan ada kekecewaan besar saat harapan itu tidak bisa diraih.
Saya tidak percaya dengan omongan beberapa orang kalau tim ini dikutuk tidak menjadi klub besar lagi. Seandainya manajer, manajemen, dan para pemain bisa bekerja sama dengan baik, maka transisi tim ini tidak akan berjalan mandek. Jika klub sudah memikirkan visi jangka panjang mereka sejak Sir Alex Ferguson pensiun, maka tim ini bisa saja terus konsisten di empat besar meski kesulitan menjadi juara.
Saya lebih senang menyebut kalau Manchester United saat ini sedang sakit. Penyakitnya nampak sulit disembuhkan meski sudah bergonta-ganti dokter (baca: manajer) dan beberapa kali membeli obat (baca: pemain). Dari obat yang mahal hingga obat generik (baca: akademi) belum ada satu pun yang bisa menghilangkan penyakit United.