Phil Neville marah. Pelatih timnas perempuan sepakbola Inggris ini berang ketika wartawan mempertanyakan apa peningkatan yang ia buat kepada Lionesses setelah mereka sudah lima kali tidak meraih kemenangan sejak Juli lalu.

“Kamu ingin saya dipecat, kan? Itu yang kamu taruh di artikelmu tempo hari, kamu ingin aku dipecat. Ya, saya membacanya. Saya membacanya. Menurut saya, dua pertandingan terakhir berjalan sangat luar biasa. Saya senang dengan para pemain, saya senang dengan semangat mereka, dan saya senang dengan arah yang kita tuju,” tutur Phil seperti dikutip dari Guardian.

Kakak kandung Phil Neville ini sedang berada di ujung tanduk. Aura-aura pemecatan sudah mulai timbul akibat penurunan performa Ellen White dkk., selepas Piala Dunia perempuan pertengahan 2019. Kemenangan melawan Portugal tiga hari lalu adalah yang pertama setelah keberhasilan terakhir mereka untuk menang pada laga melawan Norwegia bulan Juni lalu.

Bukan prestasi yang menjadi alasan Phil terancam dipecat. Dari segi trofi, ia cukup sukses dengan gelar She Believes Cup pada awal tahun 2019. Pada piala dunia lalu, ia berhasil membawa tim ini sampai ke semifinal.

Namun yang menjadi kekecewaan adalah kemampuan manajemen Phil yang mengecewakan. Ia tidak bisa mengatasi kritik. Ucapannya kadang tidak sesuai dengan realita. Hal ini yang membuat orang sudah muak dengan Phil dan mengharapkan dia lengser secepatnya.

Phil menyebut dua laga terakhir timnas perempuan Inggris sebagai permainan yang luar biasa. Namun faktanya, penampilan mereka jauh dari kata memuaskan. Suka buang-buang peluang, miskin kreativitas, dan hanya mengandalkan keberuntungan (ketika melawan Portugal) menjadi pemandangan mereka dalam dua laga tersebut.

Akan tetapi, Phil tetap menutup fakta kalau timnya memang buruk dan terus mengeluarkan klaim-klaim yang faktanya tidak sesuai dengan realita di atas lapangan. Hal ini yang membuatnya mendapat julukan sebagai “pria penghibur”. Phil lebih sering merangkai kata-kata indah ketimbang menunjukkanya dalam sebuah tindakan.

Mulut Manis Solskjaer dan Para Pemainnya

Situasi yang tidak jauh berbeda juga menimpa mantan rekan setim Phil di Manchester United yaitu Ole Gunnar Solskjaer. Sama seperti dirinya, Ole juga berada di ambang pemecatan. Kabar yang menyebut kalau Ed Woodward akan mempertahankannya apa pun hasil melawan Liverpool juga sebatas desas-desus media.

Penggemar United juga merasakan apa yang dirasakan oleh para suporter Lionesses yaitu mendapatkan ucapan-ucapan manis dari manajernya namun bertolak belakang dari realita yang terjadi. Di United, Solskjaer terkesan tidak mau berbicara jujur kalau timnya memang sedang mengalami penampilan yang kurang baik.

Sudah beberapa kali kita mendengar ia berbicara kalau timnya bermain bagus. Padahal, permainan United tidak begitu bagus jika melihat fakta yang terjadi. Lawan AZ Alkmaar contohnya, ia dengan percaya diri menyebut kalau senang dengan penampilan timnya meski United sama sekali tidak membuat satu tembakan tepat sasaran.

“Satu poin ini berharga. Kami seharusnya menang pada hari ini. Jujur saja saya agak muak membahas penalti yang tidak didapatkan pada hari ini (melawan AZ) dan melawan Arsenal. Itu murni 100 persen penalti. Saya tidak paham kenapa wasit tidak memberi penalti. Namun saya senang dengan penampilan tim hari ini,” ujarnya saat itu.

Bukan sekali ini saja Solskjaer menolak realita. Pada laga melawan Southampton, Crystal Palace, dan Wolverhampton Wanderers, dirinya menyebut kalau United pantas menang. Faktanya, penampilan mereka juga tidak terlalu bagus dengan gemar membuang-buang peluang dan kesulitan mengembangkan kreativitas. Tak ayal, tim kini mulai terdampar di urutan ke-12 dan NBC sudah menempatkan mereka dalam daftar relegation battle pada salah satu acara Premier League di stasiun tersebut.

“Saya paham kalau penggemar tidak senang dengan hasil-hasil ini. Kami juga begitu. Tapi keadaan saat ini jauh lebih baik dari ketika kami kalah 4-0 dari Everton. Saat itu, para pemain kami mulai menyerah sementara saat ini kami belum sampai di fase itu (menyerah). Justru kami baru memulai perjuangan dari sini,” ujar Solskjaer.

Rasa muak suporter semakin menjadi ketika beberapa dari pemainnya juga memilih bermulut manis di depan media. Marcus Rashford mengunggah permintaan maaf atas performa yang ia tampilkan sejauh ini. Namun yang terjadi, ia justru mendapat respon negatif. Begitu juga dengan pemain lain seperti Juan Mata, Fred, dan Harry Maguire yang meminta fans menilainya ketika ia sudah bermain lima sampai enam musim di United. Ucapan mereka hanya dianggap sebagai upaya untuk menghibur diri alih-alih introspeksi atas buruknya penampilan mereka ketika bermain di atas lapangan.

Silenzio Stampa untuk Setan Merah

Kekesalan para pendukung United sebenarnya bisa dimaklumi. Mereka tidak mau mendengar omong kosong yang dikeluarkan pelatih dan para pemainnya di depan media. Baik itu media konvensional atau media sosial. Yang dibutuhkan penggemar United adalah bukti di atas lapangan. Menampilkan permainan terbaik, cetak gol, perkuat lini pertahanan, menang, dan mendapat tiga poin, sesederhana itu.

“Kritikan itu tidak bisa dihindari untuk tim sekelas Manchester United. Tidak ada faedahnya hanya sekadar berlatih, bekerja, bertanding, lalu bersembunyi ketika permainan mereka buruk dengan harapan tidak mendapat kritikan. Hal-hal macam itu (pembelaan diri) tidak berlaku untuk klub seperti United karena mereka yang harus bertanggung jawab,” kata Mark Bosnich.

Jika bisa memberikan solusi, maka ada baiknya United meniru salah satu budaya yang terdapat di Italia yaitu Silenzio Stampa. Cara ini dipakai oleh Italia ketika media terus menyerang mereka pada Piala Dunia 1982.

Saat itu, Azzurri didera kritik keras karena terkena berbagai skandal internal. Dari Totonero, pemanggilan Paolo Rossi, isu cinta sesama jenis antara Rossi dan Antonio Cabrini, performa yang menyedihkan sepanjang fase grup, serta bonus besar yang diterima meski bermain buruk, membuat timnas Italia menjadi bulan-bulanan media.

Yang dilakukan Bearzot saat itu adalah memboikot media jelang penyisihan kedua. Tidak ada konferensi pers, tidak ada wawancara yang dilakukan sebelum atau sesudah laga, dan tidak ada wartawan yang diizinkan masuk melihat sesi latihan. Langkah berani ini dilakukan agar semua pemainnya fokus terhadap sepakbola. Metode yang kemudian membuahkan hasil berupa titel Piala Dunia ketiga untuk mereka.

United bisa meniru pendekatan tersebut jika melihat situasi mereka saat ini. Konferensi pers bisa dilakukan seperlunya. Para pemain dilarang untuk berbicara yang tidak perlu di depan media. Tidak boleh mengunggah apa pun di media sosial sampai performa tim membaik. Fokus mereka hanya satu yaitu sepakbola dan memperbaiki performa klub.

Dengan cara ini, rasa percaya diri antar pemain bisa kembali muncul. Kohesivitas tim bisa terjalin karena mereka hanya fokus untuk sepakbola. Bukan tidak mungkin penampilan mereka bisa membaik karena tim ini sebenarnya punya kualitas individu.

Karena yang dibutuhkan penggemar United saat ini adalah hasil yaitu kemenangan. Kemenangan yang diikuti dengan permainan apik dari 11 pemain yang bertanding. Bukan berupa kata-kata manis atau unggahan-unggahan yang cenderung menghibur diri atau menutupi kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan.