Foto: Ibtimes.co.uk

Ada ketakutan terbesar ketika Sir Alex Ferguson memutuskan untuk pensiun dari Manchester United pada 2013 lalu. Salah satunya adalah ancaman kalau tim ini tidak meraih prestasi yang mentereng dalam beberapa tahun setelahnya. Hal itulah yang kemudian terjadi hingga saat ini.

Namun ketakutan terbesar mereka bukan semata-mata tidak meraih prestasi, namun seberapa lama waktu yang mereka butuhkan untuk menjalani kehidupan tanpa prestasi tersebut. Berbicara soal lamanya waktu, Setan Merah dihadapkan dengan ancaman berupa perjalanan yang mirip dengan yang dialami Liverpool di era 1990-an.

Ada benang merah yang menghubungkan kisah antara Manchester United saat ini dengan Liverpool ketika mereka memasuki era transisi yang menyulitkan. Diawali dari keputusan hengkangnya manajer legendaris kedua kesebelasan tersebut.

8 Mei 2013, Sir Alex Ferguson memutuskan pensiun tak lama setelah memastikan gelar Premier League ke-13 dan gelar Liga Inggris ke-20. David Moyes kemudian menjadi penerusnya yang disetujui oleh sang gaffer. Orang-orang lain melihat isi tim saat itu yang berisi pemain tua yang masih bisa bermain kompetitif dalam beberapa tahun

Ada transisi yang dibutuhkan bagi United untuk menyesuaikan diri. Setahun, dua tahun, maksimal lima tahun. Namun sekarang, transisi itu sudah berlangsung enam tahun lima bulan dengan saat ini menjadi pasang surut terendah mereka. Selain itu, mereka juga sudah mengganti manajer sebanyak empat kali. Sulit untuk mencari kesebelasan yang bisa melakukan ini selain United.

Pada 1991, Liverpool mengganti Kenny Dalglish dengan Graeme Souness. Layaknya Paul Scholes yang pensiun, Alan Hansen menjadi bintang mapan Liverpool yang saat itu pensiun. Sama seperti United saat ini, mereka kemudian mengganti nama-nama mapan dengan pemain-pemain mahal.

Saingan semakin membaik, metode latihan berubah, pemain berubah, kondisi sepakbolanya juga berubah. Setelah menjuarai 11 gelar liga dalam 18 tahun, Liverpool tidak bisa lagi menjuarai liga. Sampai sekarang mereka masih menunggu akhir dari status mereka sebagai tim next year.

“Selama dua dekade, Liverpool terus mengganti manajer tanpa membangun identitas mereka sendiri, “tutur Ferguson pada 2016.

Souness mengambil alih Liverpool pada April 1991. Meski saat itu tim masih dalam perburuan gelar, namun kekalahan dari Chelsea dan Nottingham Forest membuat jarak Liverpool dengan Arsenal semakin jauh. Trofi Piala FA 1992 menjadi satu-satunya trofi yang bisa diraih Souness dengan membawa tren negatif berupa empat kemenangan dari 16 pertandingan dan membawa mereka finis di luar dua besar setelah mereka hanya satu kali merasakan posisi itu dalam 19 musim sebelumnya.

Di saat posisi Liverpool terus anjlok, Manchester United mulai meniti ulang kekuatan mereka. Pada tahun 1993, Premier League pertama langsung diraih. Pada Januari 1994, Souness kemudian pergi dari Anfield. Posisinya kemudian diganti oleh Roy Evans yang hanya membawa Piala Liga dan memiliki pemain-pemain yang dijuluki Spice Boys, segerombolan pemain glamor namun tidak bisa memberi prestasi karena kurang determinasi. Main cantik, namun tidak menghasilkan apa-apa. Masuknya Gerrard Houllier juga tidak membuahkan hasil.

Hingga masuknya Klopp pada 2015, Liverpool sudah mencoba semua yang sedang dilakukan United saat ini. Houllier membawa peraturan berupa larangan makan steak dan keripik sebelum pertandingan. Dia kemudian menghasilkan beberapa piala. Rafael Benitez juga melakukan hal yang serupa. Namun masuknya Roy Hodgson saat itu menjatuhkan Liverpool kembali ke bawah sebelum Brendan Rodgers nyaris membawa tim ini meraih gelar liga pada 2014.

Kisah-kisah seperti ini yang dikhawatirkan terjadi kepada United. Muncul tanda-tanda kalau mereka bisa 30 tahun tanpa adanya prestasi mentereng di kompetisi domestik.

Formula pergantian manajer di United juga tidak jauh berbeda. Moyes masuk karena pilihan langsung manajer sebelumnya. Namun 10 bulan kemudian ia diganti dan MU memberikan kesempatan kepada manajer berpengalaman dalam diri Louis van Gaal. Gelar Piala FA dirasa tidak cukup dan tempatnya digantikan Jose Mourinho.

Piala Liga dan Europa League membuat finis keenam saat itu bisa dimaafkan. Namun akhirnya ia juga dipecat karena hanya menempati urutan kedua pada musim 2017/18 dan taktiknya yang dianggap pragmatis. Tempatnya lalu diganti oleh Solskjaer. Kali ini mereka berjudi dengan wajah yang sudah akrab. Meski ia terus berkata tentang proses dan membangun culture, namun segala perkembangan yang ia ucapkan tersebut belum memenuhi hasil.

Terlihat jelas alur yang begitu mirip antara kedua kesebelasan. Ditinggal manajer terbaiknya, menurun, sedikit trofi, lalu terjatuh lagi. Ketika menjalani alur tersebut, saingan kini menjadi kuat. United, Arsenal, Blackburn, dan Leeds menjatuhkan Liverpool, sedangkan Liverpool, Spurs, Chelsea, dan Man City mulai menggusur posisi United.

Soal pergantian pemain juga demikian mirip. Tahun-tahun setelah Dalglish, para pemain mapan digantikan dengan pemain muda. Alan Hansen, Steve McMahon, Bruce Grobbelaar, Ronnie Whelan, Steve Nichol, dan Ian Rush pergi. Datanglah Steve McManaman, Jamie Redknapp, Robbie Fowler, Phil Babb, dan Jason McAteer.

Pemain mahal juga ada seperti Dean Saunders, Paul Stewart, Nigel Clough, Julian Dicks, dan John Scales semuanya gagal memenuhi harga mereka di Anfield.

Bagaimana dengan United? Pemain mapan digantikan pemain muda. Atau jika tidak, pemain mapan diganti dengan pemain harga lumayan. Rojo, Di Maria, Blind, Falcao, Memphis, Darmian, Schneiderlin, Schweinsteiger, Martial, Bailly, Mkhitaryan, Pogba, Lukaku, Sanchez, dan Fred. Sulit menyebut kalau banyak dari nama-nama ini yang harganya tidak sesuai dengan yang dikeluarkan United.

Apa yang bisa Dipelajari United dari Liverpool?

Mudah bagi suporter United untuk berkata sabar. Mudah untuk berkata kalau mereka harus belanja. Namun sulit rasanya untuk menyebut kalau tim ini sebenarnya harus ‘membangun identitas’. Yang bisa dipelajari United adalah membangun identitas, budaya, struktur. Hal ini yang membuat perkembangan tim sulit dirasakan karena memang tidak terlihat. Dan satu lagi adalah rasa percaya.

“Anda bisa lihat dedikasi Jurgen Klopp. Kepribadiannya kuat. Sangat vital. Saya khawatir kalau Liverpool bisa mengatasi United,” tutur Ferguson pada Oktober 2016 lalu. Saat itu, Klopp menyelesaikan musim pertamanya di urutan kedelapan, kehilangan kesempatan meraih piala, dan dicap sebagai ‘spesialis nyaris.’

Kekhawatiran Fergie sedang menuju ke arah sana. Setelah ucapannya itu, Klopp mengubah wajah Liverpool menjadi kesebelasan yang peningkatannya semakin terlihat setiap musimnya.

Lantas, apakah United akan menjalani situasi seperti yang dialami Liverpool yaitu menjalani hidup tanpa prestasi mentereng hampir tiga dekade? Bisa iya bisa tidak. Jika Solskjaer dan United bisa membenahi masalah klub ini dengan benar, maka United bisa menjadi Liverpool di era saat ini. Penuh peningkatan dari segi permainan dan hasil.

Namun jika tidak, maka jejak Liverpool yang akan diikuti adalah Liverpool di era 90-an yang penuh dengan masalah dari hal taktik, strategi, dan perekrutan pemain. Dalam kurun waktu tersebut, maka United akan berada di persimpangan dalam mencari jati diri mereka dan terus menjadi tim yang akan diolok karena status “next year” dan hanya mengandalkan sejarah masa lalu.

 

Artikel ini merupakan saduran dari artikel di Sky Sports yang ditulis oleh Gerard Brand dan rilis pada 18 Oktober 2019 lalu dengan judul: Are Manchester United the Old Liverpool of the 1990s?