Foto: Express.co.uk

Mengejutkan rasanya ketika melihat Manchester United untuk sementara berada pada peringkat ke-12 klasemen Premier League. Tidak hanya posisi, jarak poin mereka pun hanya berselisih dua angka saja dari penghuni zona degradasi. Benar-benar menunjukkan kalau penurunan tim ini mulai menukik ke arah yang tidak semestinya.

Rasa terkejut itu tidak hanya datang dari para penggemar. Mereka yang dulu menjadi rival Setan Merah juga heran dengan penampilan tim ini. Dari Martin Keown, Alan Shearer, Jamie Redknapp, hingga Justinus Lhaksana sekalipun sepakat kalau United saat ini bukanlah United yang biasa mereka lihat.

Aneh memang, mengingat komposisi skuad ini bisa dibilang cukup bagus untuk bersaing minimal di papan atas. Mereka punya juara Piala Dunia dalam diri Paul Pogba dan Juan Mata. Nama terakhir bisa memenangi Liga Champions dan Liga Europa. Di lini belakang mereka punya bek termahal dan penjaga gawang terbaik di dunia. Selain itu, ada beberapa pemain muda yang katanya akan menjadi pemain hebat di masa yang akan datang.

Namun itu semua tidak bisa diaplikasikan dengan baik melalui performa di atas lapangan. Penampilan mereka begitu buruk dan nampak sulit untuk mengeluarkan potensi mereka. Hal ini berdampak dengan posisi mereka yang makin hari makin melorot.

Hal ini kemudian membuat para penggemar United ramai-ramai mencari kambing hitam. Pemain disalahkan karena begitu medioker. Manajer juga mendapat sorotan karena tidak bisa membangkitkan moral dan dianggap tidak memiliki taktik yang mumpuni. Selain itu, manajemen klub menjadi sosok terdepan yang dianggap sebagai biang keladi dari menukiknya prestasi klub.

Melihat semua kambing hitam tersebut, timbul sebuah kesimpulan kalau klub ini nampaknya sudah tidak lagi memiliki visi di sepakbola. Klub ini seperti tidak punya tujuan mau berada di mana mereka pada sekarang dan di masa yang akan datang. Hal ini membuat pergerakan klub menjadi asal-asalan.

Betapa asal-asalannya United bisa dilihat dari struktur mereka di luar persoalan kualitas pemain dan kapasitas taktik dari staf pelatih, yaitu manajemen. Manajemen United seperti tidak punya rencana mau menjadi apa Manchester United di dunia sepakbola. Kesan kalau klub ini hanya di-setting untuk memperkuat brand mereka di mata dunia sebagai merek dagang justru terlihat paling menonjol alih-alih apa target mereka di kompetisi Premier League dan kompetisi Eropa selepas ditinggal sang maestro Sir Alex Ferguson.

Sangat disayangkan jika klub pemilik 20 gelar liga macam United sampai tidak punya visi sebagai sebuah klub sepakbola. Kesebelasan medioker macam Brighton and Hove Albion saja sudah memiliki target untuk beberapa tahun ke depan melalui proyek yang digagas pemilik, direktur olahraga, dan manajer mereka.

Beberapa waktu lalu, Dan Alshworth diundang ke BT Sports untuk menjadi pundit dalam laga Brighton melawan Tottenham Hotspur. Dan sendiri merupakan sporting director dari Brighton. Ia memaparkan terkait visi dan target apa yang ingin dicapai oleh klub berjuluk the seagull tersebut.

“Tony Bloom (chairman Brighton) memiliki visi bagaimana cara membangun klub, apa yang diinginkan dari klub ini di atas lapangan, dan bagaimana cara kami akan merekrut pemain. Tony sudah membangun klub ini selama 12 tahun sejak mereka di League One. Lalu membangun stadion untuk klub ini. Target Tony adalah membawa klub ini ke 10 besar. Itu adalah sesuatu yang sulit, namun kita akan mencari cara dengan membuat tim ini bisa berkompetisi untuk masuk ke posisi itu karena ada banyak tim yang juga ingin posisi tersebut,” tutur Dan.

“Dia (Tony) ingin Brighton bisa menjadi tim yang konsisten di Premier League. Semakin lama kita bertahan di Premier League, maka kami akan mencoba menyasar target yang lebih jauh lagi. Mungkin di ajang piala. Namun yang paling utama jelas status di Premier League.”

Bisa dilihat betapa terancangnya target dari Brighton, kesebelasan yang tiap musimnya hanya mengincar target keluar dari zona degradasi. Mereka mengontrak Dan dari FA agar bisa membawa klub ini lebih baik lagi. Sementara itu, manajemen Manchester United merasa kalau prestasi yang ada sudah cukup sehingga tidak perlu repot-repot lagi berkeringat untuk mengejar target menjadi yang terbaik.

“Tidak perlu trofi. Jika Anda berjuang keras dan gagal, orang-orang masih akan tetap menonton Anda di televisi dan masih membeli baju Anda. Masih banyak orang yang mendukung klub ini. Anda tidak akan selalu menang. Contohnya saja Liverpool. Baju mereka masih bisa masuk kategori terlaris meski belum pernah menjadi juara liga sejak 1990. Kalau kami mengalami musim yang buruk, maka kita akan memperkuat tim dengan kekuatan finansial,” tutur Ed Woodward ketika diwawancarai Andy Mitten enam tahun lalu.

Dulu, United memiliki sebuah visi untuk menjatuhkan Liverpool dari singgasananya sebagai penguasa liga. Cara yang digunakan Ferguson saat itu adalah membuat kesebelasan yang berisi pemain-pemain dengan jiwa militan yang tinggi lalu dikombinasikan dengan pemain muda yang haus akan kemenangan. Kombinasi ini kemudian membuat mereka bisa memutus puasa gelar selama 26 tahun yang diawali dengan keberhasilan mereka meraih Piala FA pada musim penuh ketiganya.

Hal ini yang tidak terlihat sekarang. United diisi pemain dengan jiwa kepemimpinan yang cukup rendah dan ditambah dengan pemain muda yang tidak pernah konsisten setiap pekannya.

Belum lagi soal kebijakan transfer. Ada istilah kalau pemain tidak boleh memiliki power melebihi klub atau sang manajer. Dan itu sukses dilakukan oleh duet Fergie-Edwards atau bahkan Fergie-Gill dalam kepemimpinannya. Mereka tidak segan-segan membuang bintang utama tim demi menjaga stabilitas.

Ferie baru benar-benar kewalahan ketika ia tidak bisa melepas Wayne Rooney yang meminta pindah pada 2010. Saat itulah situasinya mulai berbalik yang kemudian berimbas dengan power manajer yang perlahan-lahan mulai hilang karena kekuatan para pemainnya.

Dari sini terlihat jelas bagaimana klub sebesar United dijalankan oleh keluarga Glazer dan Ed Woodward. Prestasi nampaknya menjadi urusan yang kesekian dibanding nafsu mereka yang ingin memperkuat sisi finansial United. Sejauh ini, kinerja mereka berhasil dengan membawa United konsisten menjadi kesebelasan dengan pendapatan tertinggi di dunia.

Namun konsistensi mereka dalam hal pendapatan tidak diimbangi dengan kualitas tim di dunia yang mereka geluti yaitu sepakbola. Klub ini justru begitu kacau. Gonta-ganti pelatih tanpa tujuan yang jelas, rekrutmen yang asal-asalan dan kerap memikirkan nilai penjualan mereka, hingga filosofi sepakbola seperti apa yang mau dimainkan. Hal ini yang membuat Mourinho sempat mengaku kalau dia seperti bekerja sendiri karena manajemen dan pemainnya saat itu seolah tidak bisa sepaham dengan keinginan dia.

Orang-orang seperti Dan Alshworth ini sebenarnya menjadi sosok yang dibutuhkan oleh United. Seorang sporting director yang punya visi jangka panjang dan target yang jelas untuk sebuah klub sepakbola yang pergerakannya semakin besar. Orang yang bisa membantu manajer untuk fokus hanya dalam soal memperbaiki taktik dan meningkatkan moral pemain serta membuat sosok seperti Ed dan Glazer fokus dengan menjadikan United sebagai tim kaya.

Sayangnya, manajemen United sendiri masih abai dengan posisi tersebut dan malah membanggakan diri mereka yang sukses mendatangkan (hanya) tiga pemain musim ini meski United sebenarnya membutuhkan pemain yang melebihi dari jumlah tersebut.

Jika United terus dikerjakan dengan cara yang seperti ini, maka tidak tertutup kemungkinan kalau mereka tidak akan mampu lagi mencapai posisi tertinggi yang pernah mereka raih. Bahkan tidak tertutup kemungkinan juga kalau ke depannya Brighton justru lebih sering finis di atas United apabila tim ini tetap tidak memiliki visi terutama dalam hal prestasi mereka sebagai sebuah klub sepakbola.