Luke Chadwick saat mengangkat trofi Premier League pertama dan satu-satunya. Foto: TalkSport

Dalam dunia sepakbola, kita mengenal istilah ‘One Season Wonder’ yaitu pemain yang penampilannya begitu apik pada satu musim, lalu meredup pada musim berikutnya. Mereka yang masuk kategori ini tampil sangat baik hanya sekelebat sebelum akhirnya meredup untuk jangka waktu yang begitu lama.

Manchester United punya pemain-pemain seperti itu. Pada 1998/1999 mereka memiliki Jesper Blomqvist. Lalu pada 2000/2001 ada nama Luke Chadwick yang sinarnya hanya sekilas. Kemunculan nama yang disebut terakhir ini cukup menarik. Jika Blomqvist adalah rekrutan United, maka Chadwick hadir dari akademi Setan Merah.

Sepanjang kariernya, Chadwick adalah pemain yang bisa bermain di banyak posisi di lini tengah. Ia adalah seorang gelandang serang yang bisa bermain di dua posisi sayap. Ia juga pernah beberapa kali dipasangkan sebagai bek sayap. Meski begitu, posisi sayap kiri adalah tempat favorit bagi si pemain.

“Dalam hari ketika saya naik dari akademi, Saya lebih sering bermain sebagai sayap kiri. Sering kali saya bermain melawan Denis Irwin atau Gary Neville yang bermain sebagai bek kanan,” ujarnya dala Utd Unscripted. Sepanjang musim 2000/2001, ia bermain 22 kali dengan 16 pertandingan ia mainkan pada Premier League. Sebuah modal yang cukup baik untuk pemain muda.

Musimnya berakhir dengan manis. United juara liga untuk ketiga kalinya secara beruntun. Melihat jumlah caps Chadwick yang mencapai 16 maka ia layak untuk mendapatkan medali Liga Inggris. Satu-satunya kebanggaan yang pernah ia miliki sebagai pemain sepakbola.

Chadwick pantas untuk bangga. Tidak semua orang bisa jadi juara Premier League. Beberapa legenda besar Inggris macam Steven Gerrard, Jamie Carragher, dan Paul Gascoigne saja tidak memilikinya. Sedangkan Chadwick punya meski hanya sebiji. Setidaknya, dia punya sesuatu yang bisa ia pamerkan kepada lingkungannya.

“Saya jarang pergi keluar rumah, tetapi jika saya pergi keluar pada malam hari di Cambridge pada Jumat malam, maka saya selalu membawa medali tersebut di bagian bawah blazer saya agar saya bisa menunjukkannya kepada semua orang,” kata pemain yang tidak pernah mencicipi timnas senior Inggris ini.

Sejak saat itu penampilannya mulai meredup. Ia kesulitan untuk bisa menggusur pemain-pemain utama yang sudah mengisi posisi yang menjadi andalan Chadwick ketika bermain. Ryan Giggs dan David Beckham adalah pemain utama di sisi sayap. Setelah itu, datanglah Cristiano Ronaldo. Sejak saat itu, Chadwick mulai menjalani peran sebagai pemain pinjaman bersama Reading dan Burnley. Ia kemudian meninggalkan United pada 2004 untuk memperkuat West Ham United sebelum bermain untuk banyak klub yang mayoritas adalah klub-klub tidak terkenal.

Namun, seperti yang ia lakukan kepada medali Premier League, pengalaman main di Premier League dan angkat piala bersama United bisa menjadi alat bagi dirinya untuk pamer kalau kariernya tidak jelek-jelek amat di sepakbola. Ia bahkan pernah mencetak gol ke gawang Leeds United dengan seragam Setan Merah. Sudah angkat piala, mencetak gol pada derby pula. Setidaknya ia masih punya sesuatu yang bisa ia ceritakan kepada anak cucunya kelak.

“Menjadi juara liga sangat luar biasa. Jika saya tidak ada di sana, saya yakin mereka juga akan tetap jadi juara. Tetapi, menjadi bagian dari tim di sekitarnya sangat luar biasa. Anda mungkin tidak akan menghargai momen tersebut seperti saya, tapi itu sesuatu yang pasti akan saya ceritakan kepada cucu-cucu saya kelak,” kata Chadwick.

“Saya setidaknya memiliki dua momen terbaik yaitu mencetak dua gol. Satu saya buat ke gawang Bradford dan satu lagi ke gawang Leeds. Saya ingat jelas gol ke gawang Leeds,” lanjut Chadwick.

Gol Chadwick ke gawang Leeds sebenarnya biasa saja jika melihat dari prosesnya. Kerja sama antara Sheringham dengan Scholes diakhiri dengan umpan terobosan Scholes kepada Ole Gunnar Solskjaer. Ole kemudian melepaskan tendangan pelan yang sebenarnya bisa ditangkap dengan mudah oleh Nigel Martyn. Akan tetapi, sang penjaga gawang justru tidak bisa menangkap bola dengan baik yang langsung dimanfaatkan oleh Chadwick.

“Saya hanya memanfaatkan (bola muntah Solskjaer) dan kemudian saya lari seperti orang gila. Jadi, itu mungkin momen terbaik saya,” ujarnya.

Pengalaman Chadwick bermain sepakbola di klub besar tidak terlalu banyak. Parahnya lagi, semasa aktif bermain ia kerap menerima perundungan (bully) dari banyak orang. Fisik Chadwick yang tidak terlalu tampan dan gigi yang tonggos membuatnya sering mendapat penghinaan.

“Mereka menghina saya karena tampilan saya. Itu sulit karena membuat saya rendah diri. Saya ingat orang-orang memanggil saya tonggos. Rasanya seperti itulah apa yang dibicarakan orang-orang,” ujarnya.

Beruntung Chadwick punya sosok Alex Ferguson. Sang gaffer adalah orang yang membuat Chadwick bisa keluar dari rasa rendah diri akibat perundungan. Meski begitu, ada beberapa kali masa ketika ia rendah diri dan tidak mau keluar rumah karena takut dihina.

Sekarang, Chadwick tidak terlalu resah lagi dan mulai percaya diri akan kekurangannya. Seiring bertambahnya usia, ia juga sudah berani membalas lelucon fisik tersebut. Jika ada yang berani macam-macam dengannya, ia tinggal merogoh blazer yang ia pakai untuk mengambil medali sambil berkata, “Hey, orang yang kalian olok ini adalah juara Liga Inggris bersama Manchester United.”