Kita terlalu mudah memberi label “the next” kepada beberapa pemain sehingga terkadang hal itu membebani mereka.

***

Di usianya yang ke-14, Freddy Adu mencuri perhatian dunia berkat aksi olah bolanya yang memukau. Ia langsung digadang-gadang sebagai masa depan Amerika Serikat dan disebut sebagai titisan Pele. Bahkan Adu sempat melakukan trial di Manchester United hingga membuat Setan Merah nyaris mengontraknya jika tidak terkendala izin kerja.

Beberapa tahun berselang, Indonesia juga dibuat takjub dengan aksi bocah cilik bernama Tristan Alif Naufal. Oleh banyak orang ia disebut sebagai “Lionel Messi nya Indonesia”. Ia bahkan pernah mempertontonkan skillnya secara langsung di depan Pep Guardiola.

Jika mengikuti anggapan banyak orang, maka Adu seharusnya sudah bergelimang gelar dan mungkin telah bermain di kesebelasan elit Eropa. Begitu juga dengan Tristan. Namun keduanya memiliki jalan takdir yang berbeda dari para legenda yang dibanding-bandingkan dengan mereka. Di usianya yang sudah 30 tahun, Adu lebih banyak berkarier di klub-klub kecil, sedangkan Tristan sempat dicoret oleh Bima Sakti dalam seleksi tim nasional U-16.

Kita dengan mudahnya menyebut seseorang pemain (biasanya pemain muda) dengan sebutan the next, titisan, penerus, dan lain sebagainya. Kita terkadang lupa kalau hal tersebut secara tidak langsung bisa membebani mental dan psikologis para pemain karena mereka akan terus dibanding-bandingkan oleh orang lain.

Hal ini juga terjadi di Manchester United. Fenomena munculnya banyak pemain muda membuat kita dengan mudah menyebut kalau si A adalah penerus si anu atau si B adalah jelmaan si anu tanpa memikirkan kalau mereka ingin berkembang menjadi diri mereka sendiri.

Aaron Wan-Bissaka disebut sebagai “Gary Neville yang baru”. Lucunya, Diogo Dalot juga menyandang hal serupa pada musim sebelumnya. Hanya karena membuat gol yang mirip dengan Robin van Persie, Mason Greenwood langsung dibanding-bandingkan dengan pemain Belanda tersebut. Bahkan Ole menyebutnya sebagai “pemain yang mengingatkan dirinya dengan Ryan Giggs”.

Sebelumnya, label the next Ryan Giggs dipegang oleh Daniel James karena kecepatannya dalam berlari. Penampilannya yang enerjik di lini tengah, membuat Scott McrTominay dilabeli penerus Darren Fletcher, sementara James Garner adalah jelmaan Michael Carrick. Data-data ini belum ditambah pemain United sebelumnya yang pernah menyandang status serupa.

Jurnalis Manchester Evening News, Tyrone Marshall, menyayangkan pelabelan ini. Bagi dirinya, membanding-bandingkan pemain muda adalah perbuatan yang mudah sekaligus menyenangkan. Namun patut diingat kalau para legenda tersebut tidak menyumbang apa pun kepada para pemain muda ini.

“Membuat perbandingan dengan membuat klaim seperti itu adalah perbuatan yang menyenangkan dan mengasyikkan. Namun perlu diingat, kalau mereka semua (para legenda itu) tidak membantu anak-anak itu sesuai dengan harapan banyak orang (menjadi the next, dan sejenisnya). Bukankah lebih baik membiarkan anak-anak ini berkembang dengan program mereka sendiri dan bekerja dengan cara mereka sendiri, daripada melimpahi tekanan-tekanan besar kepada mereka,” tutur Marshall.

Kesuksesan pemain di masa lalu menjadi alasan mengapa kita dengan mudahnya membuat pelabelan tersebut. Di dunia ini, mungkin ada ratusan anak muda yang disandingkan dengan Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo. United juga demikian. Satu kali mengumpan dengan bagus maka langsung disandingkan dengan Paul Scholes, atau ketika ia bisa mencetak gol dengan tendangan bebas, maka dia adalah David Beckham yang baru. Ingatan-ingatan jangka pendek ini yang membuat kita langsung melabeli pemain tersebut.

Ketika pertama kali melangkah di Old Trafford, Anthony Martial disebut-sebut sebagai the next Thierry Henry karena pergerakannya yang lincah di sisi sayap. Namun empat tahun bersama United, Martial belum bisa sampai ke level Henry yang sudah bisa mencetak 100 gol lebih di periode yang sama dengan Martial saat ini. Bahkan, oleh Paul Ince, Martial disebut layaknya minuman bersoda yang sensasinya hanya terasa sesaat saja.

Pemain sepakbola memang memiliki gaya main yang mungkin saja mirip dengan para pendahulunya. Akan tetapi, itu tidak berarti kalau si pemain tersebut harus terus dibanding-bandingkan dengan orang lain dan membuatnya kesulitan untuk menjadi dirinya sendiri. Hal ini bisa membahayakan karier mereka jika kedepannya mereka gagal dan tidak seperti harapan yang dibayangkan banyak orang.

“Solskjaer tahu sejarah United. Jika dia melihat sesuatu dalam diri seorang pemain dan membuatnya berpikir kalau dia mirip Giggs, Carrick, atau Fletcher, maka si pemain itu memiliki sesuatu yang istimewa. Akan tetapi, selama kariernya, Fletcher memenangi 9 gelar mayor, Carrick 11, dan Giggs 25. Mengikuti mereka jelas tidak mudah,” tutur Marshall.

Yang lebih ekstrem, terkadang kita menyamai Angel Gomes, Tahith Chong, Scott McTominay, dan Andreas Pereira akan menjelma menjadi Class of 92 yang baru. Sampai kapan pun, generasi Scholes, Giggs, Butt, Neville bersaudara, dan Beckham ini adalah generasi istimewa yang sulit untuk diulangi lagi. Bahkan Dennis Irwin menyebut kalau generasi seperti mereka tidak akan pernah ada lagi di sepakbola.

Para pemain muda United memang memiliki talenta yang menjanjikan, namun seiring bertambahnya usia dan pengalaman, akan lebih bijak kalau membiarkan mereka menjadi dirinya sendiri tanpa ada label yang mengikuti di belakang mereka. Biarkan mereka menulis sejarahnya sendiri di Old Trafford.

Kita berharap mereka memiliki prestasi yang setara dengan generasi Class of 92 atau pemain United lainnya. Namun akan lebih menyenangkan rasanya jika prestasi itu bisa dibicarakan karena penampilan Mason Greenwood yang tajam di lini depan dan Scott McTominay yang solid di lini tengah, dan bukan karena gol Greenwood yang mirip Van Persie atau penampilan McTominay yang seperti Darren Fletcher.

Selain itu, para pemain muda ini juga perlu pendampingan dari pemain-pemain senior yang berada di tim. Usia pemain seperti Greenwood atau Gomes cukup rentan menjadi frustrasi jika meraih kegagalan, apalagi ketika mereka mendapat sorotan tajam dari media. Sulit bagi mereka untuk bangkit jika kegagalan membuat mereka terjebak dalam rasa frustrasi yang sangat mendalam