Foto: Manchester Evening News.

Keluarga Glazer merupakan musuh utama bagi para penggemar Manchester United. Sejak sang ayah, Malcolm Glazer, datang mengambil alih klub pada 12 Mei 2005, sederet perlawanan demi perlawanan terus mereka hadirkan.  Namun sudah 17 tahun sejak kejadian tersebut, Glazer masih berkuasa meski Malcolm sudah meninggal 2014 lalu.

Pembelian tersebut mengundang banyak tanda tanya saat itu. Satu hal yang dipermasalahkan dari para suporternya adalah karena pembelian klub menggunakan dana yang berasal dari utang. Selain itu, pergerakan klub yang mulai mengarah ke bisnis juga menjadi alasan lain. Beberapa tahun sebelum Malcolm datang, United sudah memperluas nama mereka ke pasar Asia dan Amerika Serikat.

Meski diprotes, namun tidak bisa dibantah kalau kesuksesan United sebenarnya juga ada andil dari keluarga Glazer. Entah harus tersenyum bangga atau harus tersenyum kecut, namun sederet titel bergengsi yang diraih klub muncul dari rezim orang Amerika yang dianggap mata duitan itu.

Titel Premier League kembali diraih setelah absen selama tiga musim saat dikuasai Glazer, yang paling fenomenal sudah pasti trofi Liga Champions ketiga setelah menunggu selama hampir sembilan tahun. Total ada 13 gelar yang diraih ketika klub melangkah bersama Glazer. Namun, ada beberapa pihak yang mungkin tidak bisa menerima anggapan tersebut. Bagi mereka, sederet gelar tadi bisa diraih karena andil besar seorang Sir Alex Ferguson.

Belum ada yang bisa menggantikan nama besar Sir Alex Ferguson. Dengan kepemimpinannya, ia sukses membawa United menjadi kekuatan besar di sepakbola baik di Inggris maupun Eropa. Sayangnya, para penerusnya gagal. Manajer pilihannya, Moyes, gagal. Sosok karismatik lain seperti Louis van Gaal dan Jose Mourinho juga tidak sanggup. Yang terbaru ada Ole Gunnar Solskjaer yang menjadi korban.

Namun mengabaikan peran Glazer juga cenderung tidak elegan. Di era sepakbola yang saat itu mulai memasuki ranah sebagai sebuah industri mahal, kedua insan ini sanggup membawa United terus bertahan di level tertinggi mereka sebagai sebuah kesebelasan elit. Salah satunya adalah dengan membangun relasi intim di luar lapangan.

Relasi Baik Antara Ferguson dan Keluarga Glazer

Sebenarnya, Ferguson pernah berucap kalau dia tidak mau Manchester United dimiliki oleh satu orang sebagai pemilik. Dalam sesi tanya jawab jelang pertandingan ke-1000 melawan Olympique Lyon di Liga Champions pada 2004, ia menyebut akan selalu berada bersama para penggemar untuk menentang siapa pun yang masuk ke klub ini. “Kami tidak ingin klub berada di tangan orang lain,” tuturnya.

Namun kurang dari setahun, ucapannya berubah. Sesaat setelah Malcolm Glazer mengambil alih United, Andy Walsh, salah satu pentolan suporter United yang menolak keberadaan Glazer langsung menelepon Sir Alex. Permintaannya sederhana yaitu meminta Fergie untuk mundur sebagai manajer sebagai bagian dari perlawanan terhadap Glazer. Fergie menolak karena keputusan itu dinilai terlalu berani.

“Saya tidak tergoda menerima ajakan Andy. Kedatangan mereka (Glazer) tidak mempengaruhi saya sebagai manajer. Apa yang terjadi dengan staf saya kalau saya pergi? Suporter tidak memikirkan dampak apa pun dari permintaan mereka. Lagipula, keluarga Glazer membeli klub yang solid meski orang-orang pada ribut soal utang dan lainnya. Lantas, kalau saya mundur, apakah kalian mau melihat United bermain tanpa manajer?” tuturnya dalam My Autobiography.

Sejak itulah hubungan Fergie dengan beberapa suporter United mulai merenggang. Banyak dari mereka yang kemudian mengembalikan tiket terusan. Puncaknya adalah kemunculan tim semi profesional bernama FC United of Manchester yang membuat Fergie mempertanyakan loyalitas mereka berdua dalam mendukung United.

Sebenarnya, permintaan Andy tergolong berani. Tidak ada alasan kuat untuk Ferguson untuk mengundurkan diri hanya karena kedatangan pemilik baru. Dia saat itu sedang membangun skuad yang hasilnya kemudian bisa dinikmati 3-4 tahun kemudian.

Seiring berjalannya waktu, hubungan keluarga Glazer dengan Ferguson justru semakin dekat. Dalam buku karya Tehsin Nayani, The Glazer Gatekeeper: Six Years Speaking for Manchester United’s Silent Owners, Ferguson diceritakan sering mengundang beberapa keluarga Glazer untuk masuk ke ruang ganti setelah pertandingan.

“Saudara-saudara Glazer sering menghabiskan sekitar 20 menit bersama Sir Alex dan para pemainnya di ruang ganti mereka. Itulah ritual yang harus dilakukan setelah pertandingan,” tutur Nayani. Sang penulis juga menceritakan betapa santainya keluarga Glazer saat diteriaki suporter United yang meminta mereka untuk mati ketika mereka sudah sah sebagai pemilik United.

“Keluarga Glazer mendapat serangan ketika mereka menjadi pemilik United. Orang mengecam mereka. Saya sering ditelepon oleh para suporter untuk meminta saya mendukung suporter dalam misi menyingkirkan Glazer. Namun selama menjadi manajer, keluarga Glazer tidak pernah menyusahkan saya. Mereka adalah pemilik yang baik. Ketika pertama kali datang, mereka sudah mengatakan kalau tujuan mereka adalah jangka panjang dan saya merasa lega mendengarnya,” tutur Ferguson dalam bukunya Leading.

Glazer memang harus berhubungan baik dengan Fergie. Pengaruh mantan manajer Aberdeen tersebut memang sangat kuat. Konyol apabila Glazer berani melengserkan Fergie ketika ia datang mengambil alih klub. Punya niat memecat Fergie saja sudah mendapat serangan, apalagi kalau dia benar-benar berani melengserkan pria asal Govan tersebut.

Oleh karena itu, relasi keduanya harus diperkuat. Caranya adalah dengan membebaskan Fergie untuk terus melanjutkan metode kepelatihannya. Hasilnya kemudian terlihat berupa trofi-trofi mentereng yang diraih serta tidak pernah keluarnya nama MU dari posisi tiga besar. Meraih banyak trofi, maka mendatangkan beberapa sponsor yang berguna untuk Glazer agar bisa mengembalikan modal mereka.

Dalam kongres olahraga di Doha dalam rangka upaya promosi Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022, Ferguson menyebut kalau hubungan dirinya dengan keluarga Glazer adalah hubungan yang sangat hebat. Kerja sama mereka berlangsung sangat baik dengan Glazer yang tidak pernah melakukan intervensi terhadap keputusan-keputusan yang sudah ia buat.

“Berkat Glazer kami mendapatkan maskapai penerbangan Turki, perusahaan telepon di Arab Saudi, Hong Kong, Thailand, perusahaan bir di timur jauh. Berkat semua itu kita bisa membantu melunasi utang. Di sisi sepakbola, kami masih memiliki 76 ribu penonton yang hadir. Tidak adil untuk mengkritik mereka karena saya harus mengatakan mereka telah melakukan pekerjaan dengan baik. Mereka tidak pernah mengganggu, menelepon, bahkan ikut campur. Saya berada pada posisi istimewa,” tuturnya.

***

17 tahun kini sudah berlalu, dan Manchester United kini sudah berubah terutama dari segi prestasi. Sudah sembilan musim mereka tidak bisa lagi finis menjadi yang terbaik di Premier League. Mengikuti kompetisi Liga Champions saja, United kini bolong-bolong. Namun yang tidak pernah berubah adalah hubungan antara Glazer dan pendukung United yang semakin memburuk.

Bacotan demi bacotan penggemar terus disuarakan meski hasil akhirnya tetap sama yaitu ucapan mereka tidak pernah didengar. Seperti yang pernah diucapkan Joel Glazer saat melihat nama keluarganya diteriakkan ketika United bertanding melawan AC Milan hampir sedekade lalu.

“Saya tahu kalau penggemar United marah dan protes di Old Trafford. Tapi dari tempat saya duduk, ada jutaan penggemar yang senang timnya bisa lolos ke fase berikutnya. Mereka juga pendukung MU, bukan? Luar biasa ketika penggemar membenci kami justru ketika klub ini telah begitu sukses,” tutur Joel.

Bagi penggemar United, klub kesayangan mereka berubah karena kehadiran Glazer. Keringnya prestasi juga disebabkan karena ketidak seriusan mereka dalam mengurus klub. Di sisi lain, Glazer mungkin berpikir kalau keringnya prestasi klub bukan karena kesalahan mereka melainkan sudah tidak ada lagi sosok Sir Alex Ferguson yang berdiri di samping lapangan Old Trafford.