Meski hanya tampil beberapa menit, namun Savage berhasil melakukan apa yang tidak bisa dilakukan oleh ayahnya.
Sejak sebelum pertandingan melawan Young Boys dimulai, Ralf Rangnick sudah memberi isyarat kalau pemain yang akan ambil bagian dalam laga itu adalah pemain yang jarang mendapat menit tampil.
Oleh karena itu, Ralf sudah memberi beberapa bocoran. Ia berkata kalau Dean Henderson akan menjadi kiper. Lalu, Nemanja Matic akan menjadi kapten. Pemain favorit kita semua yaitu Donny Van de Beek juga akan ambil bagian.
Akan tetapi, tidak ada yang menyangka kalau Ralf benar-benar tidak membawa pemain United yang berstatus bintang di bangku cadangan. Tidak ada Bruno, De Gea, atau Ronaldo. United bahkan hanya membawa tujuh pemain cadangan. Bandingkan dengan sang tamu yang membawa 12 pemain. Epiknya, semua pemain cadangan United adalah lulusan akademi.
Satu nama yang mencuri perhatian adalah Charlie Savage. Pemuda 18 tahun ini mencicipi debut bersama tim utama pada pertandingan tersebut. Meski tidak membuat beberapa aksi yang memukau, namun penampilan singkatnya itu menandakan langkah awal dari masa depan cerah yang siap muncul dalam perjalanan hidupnya.
***
Nama Savage dalam keluarga besar Manchester United bukanlah nama yang asing. Jauh sebelum Charlie, ada sosok lain yang juga bernama belakang Savage yaitu Robbie. Dialah ayah dari Charlie. Tak ayal, Robbie begitu bangga ketika melihat anaknya bisa bermain di Old Trafford.
“Pergantian pemain untuk United, Charlie Savage menggantikan Juan Mata. Wow. Saya tidak percaya berkata seperti ini di sini. Hari yang membanggakan untuk anakku dan semua kerja kerasnya. Hari yang luar biasa bagi saya, ibu, kakek-neneknya, dan untuk anak laki-laki di sana, Charlie Savage. Momen luar biasa ketika ia masuk menggantikan juara Piala Dunia,” ujar Robbie.
Robbie tidak bisa untuk bersikap netral pada saat itu. Ia mendapat momen yang luar biasa. Melihat anaknya bermain secara langsung dalam sebuah laga ketika ia menjadi komentator pertandingan tersebut.
Robbie Savage 😭♥️pic.twitter.com/4PnyayczWz
— Atanu (@atanu_74) December 9, 2021
Ada rasa bangga bercampur haru. Ia bahkan sempat menyeka matanya ketika presenter BT Sports, Jake Humphrey, bertanya tentang reaksinya saat mendengar anaknya duduk di bangku cadangan. Ia bangga karena kerja keras anaknya terbayar meski Charlie bukan anak yang pintar di sekolah.
“Keinginan kuatnya telah membawanya ke tempatnya sekarang. Charlie telah mencapai banyak hal besar di masa mudanya,” katanya.
***
Salah satu kebanggan orang tua adalah ketika melihat anaknya bisa sukses melebihi apa yang dicapai orang tuanya. Inilah perasaan luar biasa yang ada dalam diri keluarga Savage termasuk Robbie ketika seragam merah dengan nama anaknya terlihat jelas oleh mata kepalanya sendiri.
Charlie melakukan apa yang Robbie tidak bisa lakukan semasa aktif menjadi pesepakbola yaitu bermain untuk Manchester United. Meski memiliki latar belakang sama yaitu meniti karier di akademi, Robbie tidak seberuntung anaknya.
Robbie adalah lulusan Class of 92 yang sejarahnya menjadi acuan tentang bagaimana bentuk sukses dari sebuah pembinaan. Dia satu angkatan dengan Nicky Butt, Gary Neville, Ryan Giggs, dan David Beckham. Sayangnya, saat keempat nama tadi mendapat kontrak pro, ia tidak seberuntung empat rekannya tersebut.
“Kami benar-benar sebuah tim dengan mental juara yang luar biasa pada saat itu. Menang seperti menjadi sebuah kebiasaan. Delapan dari kami mendapat kontrak pro empat tahun. Tapi saya bukan salah satunya. Ada pemain yang naik ke tim cadangan, sedangkan pemain seperti saya sedikit tertinggal,” kata Robbie dikutip dari Inside United.
Fase itu menjadi fase terbawah dari karier seorang Robbie. Pada usianya yang ke-20, ia mendapati fakta kalau ia tidak lebih baik dari rekan-rekannya. Berkali-kali ia mencoba untuk membuktikan kepada Sir Alex Ferguson kalau ia layak mendapat kesempatan. Namun berkali-kali juga ia menemui kegagalan.
“Sayangnya Robbie, kami harus melepasmu karena ada pemain yang lebih baik di klub ini,” kata Ferguson.
Pikirannya kalut hingga ia tidak bisa berpikir jernih. Ketika bermain biliar pun ia masih terbayang momen ketika dia resmi dilepas United. Sampai-sampai ia mengalami kecelakaan mobil hingga harus dibawa ke rumah sakit.
“Menyampaikan kabar kalau saya telah dilepas adalah hari yang buruk. Saya mengkhawatirkan mobil Ford Fiesta yang dibelikan orang tua saya serta bagaimana cara menyampaikan fakta kalau saya sudah dilepas United,” katanya.
Frustrasi boleh. Menyerah, tentu jangan. Mimpi menjadi pemain United boleh saja terkubur, tapi Robbie harus terus melanjutkan hidup. Ia pun memutuskan menerima tawaran Crewe Alexandra yang bermain di Second Division.
Dari sana, jalan karier Robbie terbuka hingga ia bertemu dengan manajer Leicester City saat itu, Martin O’Neill. Dialah yang membawa Robbie berkarier di Premier League meski bukan dengan seragam United.
13 musim Robbie bermain di Premier League dengan empat klub berbeda. Ia tidak pernah tergantikan sebagai gelandang tengah yang keras sekaligus cerdas. Ia tidak segan melancarkan tekel keras yang berisiko. Hingga ia mendapat cap sebagai pemain terkasar di Premier League.
Akan tetapi, ia juga pemain yang cerdas. Meski mendapat 88 kartu kuning sepanjang main di EPL, Robbie hanya mendapat satu kartu merah.
“Banyak kartu kuning yang dikoleksi Robbie tapi dia hanya satu kali mendapat kartu merah. Itu adalah bakat dan membuktikan kalau dia sangat cerdas,” kata Rio Ferdinand.
***
Charlie tentu bertekad untuk bisa menjadi lebih dari sekadar sekali bermain satu kali untuk United. Tugasnya tentu berat karena ia akan selalu dibanding-bandingkan dengan ayahnya yang punya posisi sama dengannya.
Namun, Charlie sudah punya prinsip sendiri kalau dia berbeda dari ayahnya. Baginya, meniru apa yang dilakukan ayahnya adalah sesuatu yang bagus. Akan tetapi, jauh lebih baik bagi dirinya menjadi diri sendiri.
“Ke depannya saya ingin dikenal sebagai diri saya sendiri dan bukan hanya sebagai putra dari ayah saya,” kata Charlie.
Sebagai pemain muda, banyak aspek yang perlu diasah oleh Charlie. Masa depannya masih panjang. Jika dia meningkatkan kualitasnya dan memperbaiki kelemahan yang ia punya, bukan tidak mungkin satu tempat di lini tengah akan menjadi miliknya.