Foto: Twitter

Keluarga Glazer tidak hadir di Stadion Etihad sekadar untuk melihat sebuah realita terbaru yang menyakitkan di akhir pekan lalu. Sebuah realita bahwa Manchester United bukanlah tim elit karena kalah memalukan oleh rival sekotanya Manchester City. Padahal itu bisa menjadi pengingat bagi Glazer tentang seberapa jauh efek yang akan dirasakannya ke depan.

Terlepas dari itu, ada satu fakta lain yang perlu diketahui. Siapa pun yang memimpin United secara permanen (sebagai manajer) dalam beberapa bulan ke depan, ia akan menghadapi tugas yang tidak menyenangkan. Karena tuntutannya tidak hanya mengejar City dan Liverpool di liga. Tapi entah bagaimana ia harus mengubah kondisi tim United yang saat ini terbilang buruk.

Situasi yang kian memburuk

Bayangkan saja, selama Pep Guardiola dan Jurgen Klopp menjalankan peran mereka saat ini, tampaknya hampir tidak relevan untuk memasukkan United sebagai saingan yang serius. Meskipun optimisme palsu pernah dipendam di musim lalu ketika United berhasil finis kedua di Premier League 2020/2021.

Kala itu Setan Merah bermain tanpa penonton karena wabah Covid-19, dan tidak terlihat euforia atau tekanan yang nyata di setiap pertandingannya. Itulah sebabnya Ole Gunnar Solskjaer secara efektif berhasil menempatkan timnya jadi posisi runner-up di tabel klasemen. Meskipun pada akhirnya hal ini bukanlah tolok ukur perubahan nyata.

Namun di musim ini, masalah United telah terungkap dengan jelas. Terutama setelah akhir pekan lalu, di mana Arsenal dan Tottenham sama-sama menang. Maka harapan untuk finis empat besar pun sekarang terlihat jauh bagi United. Agak sulit rasanya membayangkan mereka bisa bertahan di tempat terbaik akhir musim ini.

Untuk suporter United, mungkin mereka juga akan merasa sedikit pesimis dengan kembalinya kompetisi Liga Champions (leg kedua) di pekan depan. Di mana tim kesayangan mereka akan menghadapi Atletico Madrid di Old Trafford.

Fakta ini mengerikan, dan bisa jadi pengingat kalau betapa banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan United sampai akhir musim ini. Belum lagi, mereka juga perlu memikirkan bagaimana nasibnya di musim depan. Terutama apakah mereka bisa diplot sebagai penantang gelar Premier League lagi atau cuma sebatas tim numpang lewat.

Ya pasti semua itu akan menjadi rencana jangka panjang. Karena memang misi United sejak era Ferguson berakhir adalah mengembalikan klub ke masa kejayaannya. Tapi pertanyaannya, pernahkan kita semua berpikir kalau “masa kejayaan” ini akan sangat bergantung pada keseriusan pengelolaan klub?

Yang perlu dipikirkan Glazer

Terkhusus bagi pemilik klub, mereka mungkin tidak merasakan kalau situasi mereka sebetulnya telah dirusak oleh kekalahan 4-1 United atas City. Tapi sebaliknya, mereka akan mulai merasakan sesuatu jika neraca keuangan klub mulai bermasalah. Padahal hal semacam itu akan terjadi sejalan dengan situasi United saat ini, terutama jika mereka kehilangan tempat di Liga Champions.

Sejauh ini United sendiri memiliki rekam jejak menghemat pengeluaran musim panas ketika mereka melewatkan kompetisi elit Eropa (Liga Champions). Paul Pogba tiba dengan biaya rekor klub pada tahun 2016, dan 130 juta paun dihabiskan untuk Harry Maguire dan Aaron Wan-Bissaka pada tahun 2019.

Biaya tersebut dikeluarkan bukan untuk mempersiapkan United agar bisa mulus berkompetisi di Europa League. Namun biaya tersebut bisa berjumlah sebanyak itu karena mereka sebelumnya mengikuti kompetisi Liga Champions. Dan ini merupakan fakta yang bisa menampar wajah Glazer sebagai sang pemilik klub.

Mempekerjakan manajer permanen baru memang akan jadi komponen terbesar dari pembangunan kembali yang dibutuhkan United di musim panas ini. Akan tetapi Glazer tidak bisa hanya berasumsi bahwa masalah mereka akan terpecahkan jika mereka berhasil mempekerjakan manajer baru.

Manajer baru itu pun perlu merealisasikan ambisi mereka dengan memanfaatkan jendela transfer. Ia harus diberikan kebebasan untuk merombak skuat dengan cara apa pun yang dianggapnya terbaik. Oleh sebab itu sang manajer wajib didukung secara baik oleh pihak klub lewat biaya besar.

Dengan begitu sikap Glazer dan bawahannya harus menyesuaikan setiap langkah terbaik yang akan dilakukan, yakni membuat United terus berada di Liga Champions. Karena jika tidak, masalah yang sekarang ada tidak akan pernah beres. Dan neraca keuangan klub –hal yang paling menjadi fokus pemilik klub– pun akan mengalami kekacauan.

Sekali lagi, kegagalan dalam mencapai finis empat besar di musim ini tidak akan berakhir menjadi apa pun selain kegagalan dan bencana bagi Manchester United. Mereka akan kehilangan “hadiah uang” yang menguntungkan. Maka setidaknya, Glazer harus sadar tentang betapa buruknya hal tersebut.

Dengan begitu Liga Champions harus menjadi urgensi bagi keluarga Glazer. Meskipun kita semua tahu, mereka mungkin hanya akan berpikir pada “hadiah uang” yang diberikan. Atau mungkin menekankan pada kondisi neraca keuangan klub yang bermasalah sebagai alarm peringatannya.