Foto: Mirror

Walaupun Paul Pogba adalah seorang pemain Manchester United, tapi bagaimana dirinya mempermainkan perasaan para penggemar sejajar dengan kemampuan tim yang ia bela secara keseluruhan.

Hampir setiap musim fans United selalu diberi harapan kalau mungkin saja musim ini Pogba akan bermain luar biasa dan bisa memenuhi harapan setelah dibeli dengan sangat mahal. Tapi sesering nama Pogba muncul di lapangan, maka sesering itu juga suporter United kecewa. Setiap pertandingan di mana Pogba bermain, kita berpikir, “Mungkin United akan menang dan Pogba bermain bagus” sebelum pada akhir laga kita semua menyadari kalau Pogba tetap mengecewakan.

Saya termasuk orang yang paling bahagia ketika Pogba datang lagi untuk kedua kalinya pada 2016. Rasanya saya ingin ikut menari seperti yang ia lakukan bersama Stormzy saat promosi video Adidas. Harapan penuh optimisme muncul kalau lini tengah United semakin kuat berkat adanya Pogba karena dia adalah pemain berkualitas di dunia. Saya ingat betapa kuatnya Juventus saat itu dengan adanya Pogba yang bahu membahu bersama Marchisio, Pirlo, serta Vidal. Sayangnya, harapan-harapan itu semakin membuat saya terlihat bodoh.

Di musim perdananya bersama United setelah memecahkan rekor transfer klub, Pogba justru mengoleksi lebih banyak kartu kuning ketimbang gol atau assists. Saat itu, saya masih yakin kalau ini semua soal adaptasi. Apalagi Pogba masih bisa jadi pahlawan dalam kemenangan United di final Europa League. Saya semakin girang ketika Pogba bisa menjadi juara Piala Dunia bersama timnas Prancis yang disusul dengan penampilan baik pada musim ketiganya (2018/2019). Harapan saya masih ada kalau Pogba bisa menjadi energi baru di lapangan tengah United. Di tengah kebobrokan tim setelah transisi era Mourinho ke era Solskjaer, ia menjadi satu-satunya pemain United yang masuk dalam Team of the Season.

Sayangya, Pogba lebih sibuk dengan tiga hal sejak saat itu. Ia lebih sibuk memikirkan potongan rambut, cedera, lalu konflik dengan beberapa orang baik internal klub maupun suporternya sendiri. Alih-alih menjadi nyawa, ia justru disebut sebagai virus yang menjangkiti tim secara keseluruhan.

Pogba bukannya tak pernah menunjukkan tanda-tanda kebangkitan. Musim lalu, misalnya, ia terlihat menjanjikan saat menjadi penentu kemenangan United di markas Burnley dan Fulham. Golnya turut andil membuat United pertama kalinya sejak beberapa tahun mencicipi kembalinya hangatnya pucuk klasemen liga Inggris.

Tak lama kemudian, Pogba cedera dan ketika ia kembali, ia balik lagi ke form yang buruk. Pogba yang menggila di Juventus dan tim nasional, justru tidak konsisten selama di United. Pada momen inilah saya menerima kalau Pogba memang tidak akan bisa mencapai performa terbaiknya di United. Musim ini saya nyaris dibuat optimis lagi ketika ia membuat tujuh assists dalam empat laga awal sebelum ia hanya menambah dua assists saja lalu absen panjang karena cedera.

Pogba adalah pemain hebat. Namun saya merasa kalau kehebatan Pogba harus didukung oleh pemain-pemain lain yang juga sama hebatnya. Di Juventus ada Pirlo, Marchisio, lalu Vidal. Sedangkan di tim nasional ada Kante dan Matuidi. Inilah yang membuat Pogba terlihat hebat, namun ketika ia diminta menjadi pemimpin di lini tengah United ia tidak sanggup menjalaninya.

10 menit penampilan minim kontribusi di Anfield menjadi penampilan penutup Pogba di United. Ralf Rangnick mengonfirmasi kalau ia akan pergi setelah menunjukkan tanda-tanda tidak akan memperpanjang kontrak.

Apa boleh buat, investasi 1,6 triliun rupiah membuat United tidak mendapatkan apa-apa. Kehebatan Pogba tidak didapat, uang hasil penjualan sepeserpun tidak ada. Ia kembali keluar dengan gratis untuk kedua kalinya dan akan membuat kita melihatnya kembali angkat piala bersama tim barunya sesering yang ia lakukan bersama Juventus.

Ketimbang Harry Maguire, Pogba adalah bentuk investasi bodong yang pernah dilakukan oleh Setan Merah