Foto: Manutd.com

Entah sudah berapa banyak stok lawakan yang dibuat oleh Manchester United. Setelah malam indah di Paris, yang mungkin masih dikenang hingga sekarang, permainan klub ini justru menjadi bahan tertawaan alih-alih menakutkan lawan-lawannya.

Dari aksi kocak Ashley Young (vs Barcelona), kekalahan telak 4-0 vs Everton, tidak bisa mengalahkan Huddersfield, hingga kalah di kandang melawan Cardiff adalah beberapa laga yang menjadikan mereka bahan tertawaan. Tawa mereka semakin keras ketika melihat fakta kalau United tetap mengakhiri posisi di urutan keenam pada musim lalu. Posisi yang sama ketika mereka memecat Jose Mourinho lima bulan sebelumnya.

Alih-alih sembuh, performa Manchester United justru belum menunjukkan tanda-tanda peningkatan dari musim lalu. Terlepas data yang dikeluarkan @UtdArena kalau Setan Merah masih belum beruntung, namun tetap saja hasil yang diraih United belum pantas untuk dibanggakan sejauh ini. Lagipula, bukankah sejarah akan selalu mencatat hasil akhir sebagai aspek penilaian bagus atau tidaknya sebuah kesebelasan ketimbang berapa peluang yang terbuang dalam satu pertandingan, bukan?

MU baru mengumpulkan lima poin dari empat laga awal mereka pada musim 2019/20. Catatan ini hanya lebih baik dari musim pertama Premier League yaitu empat poin dari empat laga. Mereka sebenarnya sudah terbiasa dengan raihan seperti ini. Pada 2007/08 dan 2008/09, mereka hanya mengumpulkan lima angka dari empat laga pertama mereka. Namun di akhir musim, merekalah yang mengangkat piala.

Apakah hal serupa bisa kembali terjadi? Bisa saja. Namun melihat perkembangan pesat beberapa kesebelasan Premier League, yang diawali dari berubahnya status dari Top Four menjadi Top Six, dan beberapa kesebelasan medioker yang menunjukkan perkembangan mereka untuk berebut posisi enam dan tujuh, maka peluang United untuk mengulangi cerita indah lebih dari sedekade lalu terasa sangat sulit. Apalagi dengan permainan tim yang masih jauh dari kata konsisten.

Hasil imbang 1-1 melawan Southampton sulit diterima akal sehat. United mengawali laga dengan bagus dan mencetak gol cepat. Namun setelah itu, permainan mereka semakin lama semakin menurun. Imbasnya, mereka kebobolan karena komunikasi yang tidak berjalan dengan baik antara dua bek tengah mereka. United kemudian mencoba untuk menyerang lagi dengan memasukkan beberapa pemain depan. Akan tetapi, hasilnya tetap nihil.

Laga melawan Soton membuat Solskjaer hanya memiliki tiga kemenangan dalam 16 pertandingan terakhirnya. Apesnya, 16 laga tersebut datang ketika statusnya sudah diangkat sebagai manajer permanen. Tak ayal, tekanan soal kelayakannya memegang klub besar kini sudah berdatangan.

“Lampard harus diberikan waktu yang jauh lebih banyak dibanding Solskjaer. Alasannya sederhana, ia tidak bisa membeli satu pemain pun dan hanya mengandalkan pemain-pemain pinjaman. Sementara Solskjaer, dia membuat rekor dengan membeli pemain bertahan, mereka tetap menghabiskan banyak uang dan Anda harus mendapat hasil dari itu. Anda tidak bisa memberinya dia pemakluman dengan jumlah uang yang sudah diberikan kepadanya,” tutur jurnalis Telegraph, Matt Law.

Terlalu cepat memang menilai Solskjaer hanya dari performanya yang belum genap semusim menangani klub. Masih ada 34 laga yang harus dijalani United sehingga masih ada 102 poin yang siap dikumpulkan. Selain itu, United juga belum bertanding pada ajang-ajang lain khususnya Europa League yang disasar sebagai target oleh Solskjaer beberapa waktu lalu.

Akan tetapi, hasil minor ini juga membuka peluang munculnya hasil minor lain dalam 34 pertandingan sisa. United juga belum mendapat ujian dari beberapa kesebelasan top 5 musim lalu dan beberapa klub medioker seperti Leicester City, Everton, dan West Ham United. Selain itu, United juga kerap kesulitan jika menghadapi kesebelasan-kesebelasan yang memiliki pola permainan bertahan.

Sebuah Proses Yang Terjebak Sepakbola Instan

Solskjaer beberapa kali memberi tahu para penggemarnya kalau dia meminta waktu untuk membangun Manchester United. “Anda harus bersabar. Membangun sebuah tim atau membangun ulang sebuah skuad membutuhkan waktu. Saya tidak akan meminta waktu lama karena sebagai manajer, Anda juga berada di bawah tekanan. Saya harap dengan pendekatan kami, fans akan melihat apa yang sedang kami lakukan dan hasilnya akan tiba,” ujarnya kepada BBC.

Ucapan Solskjaer juga didukung oleh rekan setimnya dulu. Gary Neville dan Paul Scholes meminta penggemar memberi kesempatan kepada pria Norwegia tersebut. Scholes bahkan meminta penggemar untuk menurunkan ekspektasi mereka kepada United sebelum Solskjaer menjalani empat sampai lima kali bursa transfer. Alasannya adalah agar penggemar United tidak terlalu kecewa berat karena timnya tidak kunjung meraih kesuksesan. Menurunkan ekspektasi akan membuat hasil di luar kemenangan menjadi terasa wajar. Mungkin itu yang dimau oleh Scholes.

Solskjaer sudah melakukan peremajaan untuk United. Fellaini, Sanchez, Lukaku, Herrera Valencia, Smalling, dan Darmian, dijual atau dipinjamkan ke klub lain. Matic, Rojo, Jones, Mata, Young, statusnya kini hanya pemain cadangan. Pemain muda dijadikan andalan. Greenwood, James, Tominay, Wan-Bissaka, dikombinasikan dengan Rashford, dan Martial, plus pemain bintang dalam diri De Gea dan Paul Pogba. Jika regenerasi berjalan bagus, maka United akan punya skuad yang solid dan bisa diberdayakan 5-10 tahun ke depan.

Namun segala proses yang diminta Solskjaer terbentur situasi kalau sepakbola sekarang sudah berbeda dibanding ketika dia masih menjadi pemain. Sekarang, sepakbola menuntut hasil yang serba cepat. Manajer dituntut bisa memberikan peningkatan dari segi taktik dan juga hasil. Di sisi lain, pemain juga dituntut cepat beradaptasi dengan klub barunya.

“Jika Anda melihat cara bermain Man United, saya minta maaf karena saya tahu kalau para penggemar United akan mulai menjerit, tetapi hingga 60 menit melawan Chelsea, mereka menjadi bos,” tutur mantan chairman Crystal Palace, Simon Jordan.

Lengah sedikit, maka akan tertinggal dari klub-klub lainnya, Apalagi ini membawa nama besar Manchester United. Kesebelasan yang identik dengan trofi dan persaingan menjadi yang terbaik setiap musimnya. Lama kering prestasi, maka bukan tidak mungkin satu per satu sponsor akan mundur karena United dianggap tidak punya daya tarik untuk menjual brand mereka. Sejauh ini, beberapa kali sponsor apparel memotong anggaran karena klub ini tidak bisa lolos ke Liga Champions.

Pertanyaan utama dari segala situasi ini adalah, maukah para penggemar Manchester United bersabar? Dalam situasi sepakbola yang menuntut segalanya serba cepat, sabar memang menjadi sesuatu yang sulit dicari saat ini.

Manajemen Akan Memegang Peran

Beberapa kali penulis sering mengatakan kalau menurunnya United adalah efek domino yang harus diterima setelah Sir Alex Ferguson pensiun. Salah menunjuk pelatih, merekrut bintang yang selalu gagal, membayar gaji di luar performa si pemain, manajemen yang lambat dalam mererut pemain, serta Sir Alex Ferguson yang selalu terbayang jika melihat United tidak meraih hasil baik, akan selalu menjadi bayang-bayang yang harus dibawa setiap hari oleh para penggemar United.

Sekarang, Solskjaer sedang merasakan apa yang dirasakan oleh para pendahulunya, Moyes, LVG, dan Mourinho, berada dalam tekanan ketika hasil tidak sesuai dengan harapan. Suara-suara berupa pemecatan mulai didengungkan. Salah satu penggemar United bahkan sudah terang-terangan meminta Solskjaer dipecat dalam sebuah acara di TalkSPORT.

Banyak yang meminta penggemar United meniru apa yang dilakukan penggemar Liverpool kepada Klopp. Ia diberi waktu sampai empat tahun dan para penggemar bersabar dengannya. Namun membandingkan Klopp dengan Solskjaer tentu bukan sebuah perbandingan yang proporsional.

Taktik Klopp bisa langsung dijalankan dengan baik oleh para pemainnya dan bisa melangkah ke final dalam dua ajang meski di liga primer, mereka hanya finis di urutan kedelapan. Bekal itulah yang kemudian dibawa eks pelatih Borussia Dortmund ini hingga membuat Liverpool kembali menjadi kandidata juara. Selain itu, mereka juga didukung dengan beberapa sosok seperti Michael Edwards, hingga sosok yang dianggap remeh temeh seperti Thomas Gronnemark, pelatih yang mengajarkan pemain Liverpool cara memanfaatkan situasi lemparan ke dalam dengan baik dan benar.

Jika manajemen berubah pikiran dan memilih untuk ikut sabar bersama Solskjaer, maka United punya peluang untuk membangun skuad sesuai yang diinginkan. Dengan catatan, manajemen tetap mendukung permintaan manajer dan tidak melarang kemauannya seperti yang dilansir beberapa media kalau manajemen menolak pembelian Bruno Fernandes dan memaksanya untuk memainkan Jesse Lingard.

Namun perlu diingat kalau manajemen juga punya wewenang untuk mencopot jabatannya sebagai manajer. Meski beberapa kali Solskjaer menyebut, kalau ia memiliki komunikasi yang baik dengan Woodward dan Glazer, namun tidak tertutup kemungkinan kalau nasib Solskjaer bisa seperti tiga seniornya tersebut jika hasil buruk terus-terusan didapat dan pendapatan tim terus menurun karena performa mereka di atas lapangan.

Jadi, berhati-hatilah Ole! Karena manajemen bisa saja mengubah pendiriannya sewaktu-waktu jika hasil di lapangan tidak kunjung memuaskan.