Inggris sebenarnya sudah siap menyambut Zlatan Ibrahimovic sejak usianya masih 18 tahun. Pada tahun 2000, Arsenal mengundangnya untuk melakukan trial sebelum mengontraknya secara permanen. Namun hal itu ditolak oleh si pemain karena Ibrahimovic tidak perlu melakukan trial.

“Arsene (Wenger) memberikan saya kaus Arsenal dengan nomor sembilan dan nama Ibrahimovic di sana. Itu momen fantastis bagi saya, jadi saya menunggu penawaran dari mereka. Namun penawaran itu tidak kunjung datang. Mereka justru meminta saya trial bersama mereka. Saya tidak percaya hal itu karena Zlatan tida butuh audisi,” tuturnya.

15 tahun kemudian, Ibra kembali diisukan ke Inggris. Arsenal lagi-lagi menjadi peminat utama. Dana 11 juta paun siap dikucurkan untuknya. Selain Arsenal, ada pula Chelsea dan duo Milan yang sama-sama tertarik kepada Ibra. Namun ia akhirnya bertahan satu tahun lagi di kota Paris.

Barulah pada kesempatan ketiga, Ibra datang ke negeri Ratu Elizabeth tersebut. Namun bukan Arsenal maupun Chelsea yang menjadi tempat pemberhentian, melainkan Manchester United yang saat itu memang membutuhkan sosok striker haus gol seperti Ibra.

Kedatangan Ibra sebenarnya disambut kurang baik oleh banyak kalangan. Maklum, kompetisi Inggris kerap dipandang istimewa dan tidak layak untuk pemain tua seperti dirinya (Ibra datang di usia 34 tahun). Para pengkritik menganggap Ibra tidak bisa mengimbangi kecepatan serta kekuatan fisik khas Premier League. Apalagi Ibra memperkuat United, tim yang nama besarnya mulai luntur saat itu.

“Saya tidak yakin kalau saya bermain di Inggris, tetapi ketika saya mengambil keputusan bahwa saya akan bermain di sana, saya sudah memiliki pikiran klub mana yang akan saya bela. Dan itu adalah United. Tim yang cocok untuk saya.”

Namun para pengkritik itu lupa kalau United juga pernah kedatangan bomber sepuh seperti Ibra. Teddy Sheringham datang pada 1997 ketika usianya sudah 31 tahun. Sedekade kemudian, mereka meminjam Henrik Larsson yang justru setahun lebih tua dari Ibra ketika datang ke Old Trafford. Keduanya pun sama-sama sukses. Teddy adalah pahlawan trebel sementara Larsson membantu Setan Merah dari krisis striker selama empat bulan. Kesuksesan yang nampak ingin ditiru Ibra.

“Saya selalu memperhatikan United. Ada ombak kesuksesan yang ditampilkan Ferguson dengan mendominasi Premier League. Mereka semua selalu memakai kaus merah ini. Saya berpikir kalau saya juga bisa memakai baju itu karena baju itu tidak berat bagi saya.”

Tekanan Premier League jelas berbeda dibanding tim lain yang pernah diperkuat Ibra. Di Serie A, tidak ada yang bisa menandingi Juventus, AC Milan, dan Inter Milan saat itu. Begitu juga yang terjadi saat di Barcelona. Bahkan di Prancis, tidak ada yang bisa menandingi PSG. Sementara di Premier League, ada enam tim yang bisa menjadi juara.

Namun Ibra merasa kalau itu adalah tantangan, dan tantangan ada untuk ditaklukkan. Wajar jika ia menganggap dirinya sebagai singa atau Benjamin Button. Karena dia merasa kalau seseorang punya kemauan, dan rasa lapar ingin meraih kesuksesan, maka segala tekanan bisa ditaklukkan.

Hal itu langsung ia tunjukkan saat debut tidak resminya bersama United. Melawan Galatasaray di Swedia, ia hanya butuh tiga menit untuk mencetak gol. Golnya pun dibuat melaluit tendangan salto. Cara yang elegan untuk memulai sebuah petualangan di rumah baru.

“Meski hanya laga persahabatan, namun Anda tetap harus melakukannya. Anda harus menyesuaikan diri secepat mungkin. Ketika Anda datang ke klub besar seperti itu, saya tidak tahu berapa lama mereka bisa sabar menunggu. Anda yang harus menentukannya sendiri secepat mungkin. Jadi itulah yang saya coba lakukan.”

Gol tersebut menjadi awal dari gol-gol yang berikutnya. Ibra menjadi pahlawan pada debut resminya di Community Shield melawan Leicester. Menerima umpan dari Antonio Valencia, tubuh raksasanya tidak sanggup dibendung oleh dua bek tengah Si Rubah. Debut Premier League di kandang Bournemouth juga diwarnai gol Ibra. Debut kandangnya juga dihiasi dua gol. Lima gol dari lima pertandingan sudah cukup untuk membungkam kritik.

“Orang-orang mengatakan saya kalau saya tidak cukup baik. Dan semua omongan tersebut adalah omong kosong. Tapi saya suka hal itu karena bisa memicu saya. Para pembenci saya memberikan saya adrenalin. Setelah tiga bulan, mereka menelan kata-katanya sendiri. Saya butuh pembenci karena pembenci sebelumnya sudah menjadi penggemar saya,” ujar Ibra.

Seketika Ibra menjadi pahlawan. Dalam beberapa pekan saja, lagu khusus sudah dibuat oleh para penggemar. Seperti dalam lirik lagu tersebut, Ibra membuat pendukung United kembali bersemangat. Mereka kembali memiliki pemain yang punya skill komplet, jiwa pemimpin yang tinggi, serta arogan. Ibra begitu tersentuh dengan apa yang diberikan fans United sehingga membangkitkan gairahnya untuk sukses bersama Setan Merah.

“Penggemar United luar biasa. Saya tidak perlu menjadi penjilat karena mereka benar-benar mengagumkan. Saya mencetak gol debut melawan Bournemouth, dan selama 45 menit mereka menyanyikan nama saya. 20 menit kemudian, saya merasa kalau hal itu berlebihan. Tapi di ruang ganti, saya berkata kalau mereka luar biasa.”

Sayangnya, Ibra tidak bisa memberikan gelar Premier League yang diidam-idamkan oleh para penggemarnya. Namun Ibra membuat beberapa pencapaian yang sebelumnya sulit untuk dicapai. Sebelum Marcus Rashford, Ibra adalah pemain United terakhir yang memenangi penghargaan player of the month. Selain itu, ia juga striker pertama United yang mencetak lebih dari 20 gol semusim setelah Robin Van Persie.

Ibra berandil besar dalam dua dari tiga gelar yang diraih United saat itu. Selain gol penentu kemenangan di laga Community Shield, dua golnya ke gawang Southampton juga membawa United meraih gelar Piala Liga kelima mereka. Meski cedera memaksanya absen di semifinal dan final Liga Europa, namun Ibra berandil dalam sembilan gol yang dibuat United sepanjang turnamen dan masuk dalam team of the season. Ibra membawa klub ini kembali ke Liga Champions meski lewat jalur belakang.

“Sebelum saya ke United, saya selalu menang, dan saya senang hal itu terjadi lagi di Inggris. Menang adalah DNA saya. Aku benci kalah. Saya bukan pecundang, tapi saya benci kalah. Saya bilang kami akan menang dan dua trofi yang saya raih sudah berbicara sendiri.”

Sayang Ibra mengalami cedera yang membuatnya kehilangan tempat semusim berikutnya. Ia kemudian memutuskan untuk ke LA Galaxy. Seandainya ia bisa bersabar, bukan tidak mungkin Ibra masih bertahan di United sampai sekarang. Hanya memperkuat Setan Merah selama 18 bulan membuat Ibra merasa menyesal. Stadion, suporter, rekan setim, dan manajemen, memberikan rasa aman dan nyaman kepada Ibra.

Meski ia belum bisa memberikan gelar liga, namun tiga piala dalam semusim menjadi bukti kalau Ibra sukses menaklukkan Inggris. Hasratnya meraih trofi Eropa pun kesampaian meski labelnya hanya Liga Eropa. Tanpa Ibra, United kehilangan sosok yang bisa menjamin datangnya gelar. Buktinya, tanpa Ibra United kehilangan kesempatan meraih gelar Piala Super Eropa dan Piala FA semusim berikutnya.

Tulisan ini adalah pengubahan dari tulisan asli yang ditulis oleh Ibra sendiri berjudul Manchester United and me yang terbit di situs resmi klub