Foto: BR Football

Warisan Roy Keane di Manchester United banyak digambarkan sebagai salah satu dari tiga wajah pada spanduk di Stretford End dengan tulisan “standar klub”. Dan hal ini secara otomatis membuat pemain seperti Paul Pogba menjadi pemain United yang tidak pernah mencapai standar tersebut.

Sekitar 10 tahun setelah pemain asal Prancis itu meninggalkan Old Trafford dengan free transfer, ia pun kemudian akan melakukannya lagi di akhir bulan ini. Namun sayangnya, selama enam tahun terakhir di klub, ia cuma bisa mengakhiri ceritanya dengan menyedihkan.

Seperti yang diketahui, kadang-kadang, Pogba menjadi pemain yang tidak dimainkan oleh manajer. Padahal nilai transfernya mencapai 89 juta paun. Tapi alih-alih rugi karena jarang dimainkan, justru hal itu sering memperjelas statusnya di United; bahwa ia memang bukan seorang gelandang yang “memenuhi standar”.

Entah Pogba suka atau tidak, ia tentu saja sering memberikan banyak ruang untuk publik bisa mengkritiknya setiap kali ia bermain. Situasi inilah yang mendorong mendiang agennya, Mino Raiola, untuk menawarkan kliennya itu ke rival Manchester City pada Januari 2018.

Tak hanya itu, Raiola juga mengklaim kalau karier Paul Pogba di Manchester United telah “berakhir” pada 2020. Sementara itu Pogba sendiri pernah secara terbuka mengatakan bahwa “ini adalah waktunya untuk mencari tantangan baru di tempat lain” pada Juli 2019.

Padahal mantan pemain Juventus itu selalu mendapatkan banyak dukungan dari sebagian besar suporter United. Meskipun memang sebagian dari mereka meneriakan “f*ck off Pogba” di laga terakhirnya di Old Trafford musim ini. Suatu hal yang tidak boleh ditolerir, namun di satu sisi, teriakan tersebut merupakan respon yang wajar dari sekelompok suporter yang kecewa.

Baru-baru ini, Paul Pogba sempat memberi tahu UNINTERRUPTED bahwa ia ingin menemukan kebahagiaan, dan sangat penting baginya untuk pergi dari United. Ia mengklaim kalau dirinya sudah harus mencari tempat yang terbaik dan menikmati apapun yang ia kerjakan.

“Saya hanya ingin yang terbaik untuk diri saya. Saya berpikir, saya harus menyatukan semuanya, meluangkan waktu, dan saya hanya mencari yang terbaik. Saya ingin bermain sepakbola, selalu menjadi diri sendiri, dan menikmati apa yang saya kerjakan,” ujar Pogba dikutip dari MEN Sports.

“Saya perlu menikmati apa yang saya lakukan karena jika tidak, saya tidak bisa tampil baik. Saya tidak ingin berpikir negatif. Saya memang bisa merasakan kalah dalam pertandingan atau kehilangan trofi. Akan tetapi saya harus bahagia dan menikmati diri sendiri. Maka itulah yang saya cari sekarang.”

Sangat amat diwajarkan mengapa Pogba mengutamakan kesejahteraannya sendiri di atas profesionalismenya sebagai pesepakbola. Namun komentarnya ini justru telah menimbulkan pertanyaan tentang motivasinya dalam bermain sepakbola, jika dikatakan kalau memenangkan trofi bukanlah menjadi faktor pendorongnya.

Hal ini, sekali lagi, mengarahkan kita untuk membandingkan Pogba dengan trio yang ada pada spanduk di Stretford End. Di sana terpampang wajah garang Roy Keane, Bryan Robson dan Eric Cantona. Para pemain yang digambarkan sudah mengorbankan diri mereka untuk kebaikan dan kesuksesan klub di masa kejayaannya.

Bahkan salah satu di antara tiga legenda Setan Merah di spanduk tersebut, Roy Keane, pernah mengungkapkan pandangannya tentang Paul Pogba. Ia menggambarkan kalau Pogba belum cukup baik bermain untuk United. Dan menurutnya, pemain berusia 29 tahun itu tidak menunjukkan semangat yang cukup ketika bermain di tim utama.

“Penampilan Pogba selama beberapa tahun terakhir untuk United bagi saya belum cukup baik. Sesederhana itu. Saya sering berbicara tentang energi tim, tetapi dia membutuhkan lebih dari sekadar energi ketika bermain di lini tengah Manchester United,” tutur Keane kepada Sky Sports.

“Anda membutuhkan kreativitas. Anda membutuhkan pemain dengan sedikit karakter dan hati. Sedangkan dia (Pogba) tidak menunjukkan semangat dan pertarungan yang cukup. Dia memiliki bakat, tetapi itu tidak cukup untuk bermain di lini tengah Manchester United. Anda perlu sedikit lebih baik dari itu.”

Keane, Robson dan Cantona akan selalu dipandang sebagai pemain terbaik Manchester United. Tidak hanya karena mereka semua sangat berbakat, tetapi juga karena mereka memiliki mentalitas tinggi. Mereka semua adalah pemain dengan mental juara beruntun, dan karakter itulah yang dibutuhkan oleh pemain yang berada di klub sebesar United.

Dalam beberapa tahun terakhir, United sebetulnya memiliki pemain bertalenta atau berbakat seperti ketiga legendanya itu. Namun mereka semua tidak ada yang mampu menandingi kemampuan teknis, mental serta karakter “standar klub” seperti yang ditulis di spanduk Stretford End.

Bahkan sebaliknya, pemain seperti Paul Pogba hanyalah pemain komersil yang hanya menguntungkan pihak klub dengan daya jualnya daripada jumlah trofi yang ia raih. Tidak peduli seberapa tulus Pogba bermain untuk United, yang jelas, ia telah menyumbang penderitaan klub selama hampir dari satu dekade.

Mengutip ucapan dari pelatih bola basket legendaris John Wooden, “warisan tidak boleh dinilai dari apa yang dicapai oleh seseorang. Tetapi apa yang seharusnya mereka capai dengan bakat yang mereka miliki”. Dan dalam kasus Pogba di United, warisan yang ia buat –dengan bakat yang dimiliki– seharusnya lebih dari apa yang telah kita lihat sekarang.