“Gini doang grup neraka tulis akun Twitter resmi Manchester United berbahasa Indonesia setelah Manchester United menang telak 5-0 atas RB Leipzig pada matchday kedua Liga Champions. Tingkah mereka diikuti dengan akun @TheUnitedStand yang berkicau dengan makna yang sama meski dengan bahasa Inggris. Dua pertandingan dan dua kemenangan membuat mereka dianggap arogan meski saya yakin keduanya memiliki dalih kalau itu sebagai bentuk kepercayaan diri.

Sayangnya, kicauan mereka justru menjadi karma bagi si pemilik akun. Kekalahan 3-2 dari RB Leipzig membuat Tweet tersebut menjadi bahan serangan akibat arogansi mereka di media sosial. Untuk kedua kalinya secara beruntun, fase gugur yang harus dirasakan United adalah fase gugur Europa League. Dari “Gini doang grup neraka” menjadi “Gini amat grup neraka”. Marhaban ya Europa League, selamat datang kembali kompetisi level kedua.

Segalanya memang tidak berjalan baik bagi United. Mereka sudah kebobolan dua gol hanya dalam waktu 13 menit. Saat menguasai bola penuh, malah kebobolan gol ketiga. Gol yang dicari justru datang ketika pertandingan sudah mau berakhir.

Situasi sulit United yang kehilangan beberapa pemain seperti Fred, Martial, dan Cavani memaksa Ole membuat beberapa perubahan. Yang paling kentara tentu formasi. Ia bermain dengan skema 3-5-2 atau 5-3-2 ketika bertahan. Tujuh pemain dengan tipikal bertahan dimainkan.

Harapannya, Ole ingin bermain reaktif seperti saat mereka menang 5-0 pada pertemuan pertama. Ketika itu, United juga kesulitan melawan mereka. Namun, dengan kecepatan yang dimiliki pemainnya, United berhasil beberapa kali menaklukkan Leipzig dengan kekuatan mereka yaitu counter.

Namun, Julian Nagelsmann bukan pelatih kacangan. Sebelum laga, ia bilang kalau timnya sudah belajar dari pertemuan pertama. Hasil belajat itu ia tunjukkan pada laga semalam. Leipzig sama-sama menurunkan tiga pemain belakang dengan gaya bermain yang berbeda dengan apa yang dimiliki Ole.

Beberapa kali sudah saya katakan, kelebihan formasi tiga bek adalah mereka bisa unggul jumlah ketika bertahan. Namun kelemahannya, taktik ini akan membuat tim boros jumlah pemain karena saat menyerang, mayoritas pemain masih berada di lini belakang.

Pada momen ini, Nagelsmann jauh lebih pintar dari Ole dalam memanfaatkan skema tiga bek. Tidak ada lagi target man seperti Timo Werner tidak membuatnya pusing. Sebaliknya, Dani Olmo yang diplot sebagai striker ia maksimalkan sebagai pemancing bek United untuk mendekat sehingga ruang di sisi sayap bisa dimaksimalkan oleh dua wingback mereka yaitu Haidara dan Angelino. Hasilnya adalah dua gol yang datang hanya dalam tempo 13 menit yang berasal dari kedua kaki mereka.

Jika bisa memaksimalkan komposisi tiga pemain belakang, maka United akan menjadi tim yang solid ketika bertahan dan menyerang. Sayangnya, semalam United tidak mampu memaksimalkan keduanya. Buruk dalam menyerang, berantakan ketika bertahan. Kapasitas United dalam bertahan hanya didasarkan pada jumlah pemain namun tidak diimbangi dengan kualitas.

Tiga gol Leipzig semuanya datang karena individual error para pemainnya. Wan-Bissaka tidak melihat Angelino yang memanfaatkan ruang lebar yang ia buat. Haidara memanfaatkan Luke Shaw yang naik jauh. Gol ketiga datang dari koordinasi buruk antara De Gea dan Maguire. Semuanya karena pemain bertahan United hanya melakukan ball watching ketimbang melihat pemain yang tidak menguasai bola.

Masalah ini sebenarnya menjadi masalah laten bagi United pada musim ini. Hampir semua gol yang bersarang ke gawang mereka hadir karena kebiasaan mereka yang ball watching. Solly March, pemain Spurs, Jan Bednarek, Pavel Soucek, beberapa pemain West Ham, Neymar, dan para pemain RB Leipzig sukses memanfaatkan kelemahan ini. Kelemahan yang membuat penggemar United heran karena selalu muncul dan seolah tidak diperbaiki di sesi latihan.

Pada babak kedua, United memegang kendali permainan lebih banyak. Sayangnya, hal ini terlambat karena United sudah tertinggal dua gol dan penampilan Gulacsi juga sedang bagus sehingga kehilangan satu peluang maka hasilnya akan sangat berbahaya. Saat mengejar gol, mereka justru kemasukan gol ketiga. Ole bahagia dengan penampilan timnya pada babak kedua, namun tetap saja sudah terlambat dan comeback yang diharapkan tidak bisa muncul.

Setelah pertandingan, Ole pasang badan dan mengutarakan tanggung jawabnya karena gagal membawa United lolos ke fase gugur. Tragis memang mengingat pada awalnya ia begitu percaya diri kalau timnya bisa lepas dari grup maut ini. Tiket ke Europa League dari Liga Champions menjadi salah satu dosa Ole lainnya dalam dua musim kepelatihannya selain kegagalan memanfaatkan tiga semifinal ajang piala musim lalu.

Ole out kembali muncul. Tekanan kepada dirinya kembali besar. Sekali lagi, inilah kelemahan United di era Ole yang tidak memiliki struktur bermain yang menjadi pakem layaknya Pep Guardiola atau bahkan Jurgen Klopp. Kebiasaan bermain dengan melihat gaya permainan lawan justru membuat United menjadi tim yang inkonsisten alih-alih kayak taktik. Ole juga perlu belajar detail-detail kecil seperti positioning pemain ketika bertahan dan menyerang. Namun, kita semua sudah tahu bagaimana United pada pertandingan berikutnya jika Ole Gunnar Solskjaer berada dalam posisi yang ‘mengkhawatirkan.’

Sekarang, yang tersisa hanya penyesalan. Dalam konferensi pers setelah laga, Ole menyesali hasil laga melawan basaksehir di Istanbul. Martial meungkin menyesali peluang emasnya ke gawang PSG, sedangkan admin ManUtd_ID dan The United Stand sedang menyesali arogansi mereka.