Park Ji-Sung, setengah senang dan kecewa saat mengangkat trofi Eropa.

Tidak semua hari-hari Park Ji-Sung sebagai pemain Manchester United berjalan bahagia. Ada juga hari yang menyedihkan bagi pria asal Korea Selatan tersebut. Salah satu yang masih membekas dalam benak Park adalah malam final Liga Champions musim 2007/2008.

Ketika itu, nama Park tidak ada dalam daftar 18 pemain yang berada di stadion Luzhniki. Ia tetap ikut rombongan yang berangkat ke Moskow, namun Park hanya mengenakan jas abu-abu dan duduk di tribun penonton bersama para pemain yang juga tidak didaftarkan oleh Ferguson untuk bermain atau sekadar duduk di bangku cadangan.

Inilah yang membuat Park sedih karena tidak bisa terlibat langsung di atas lapangan. Ia punya harapan untuk bisa berkontribusi pada laga final setelah tiga tahun sebelumnya ia nyaris mendapatkan kesempatan itu bersama PSV. Saat itu, Park gagal membawa juara Piala Champions 1988 itu ke laga final di Istanbul karena kalah gol tandang dari AC Milan.

Ketika kesempatan itu mulai terbuka saat pindah ke Manchester United, Sir Alex Ferguson tidak bisa memberikan kesempatan kepada Park.

“Kami juara Premier League berkali-kali dan mencapai banyak final, namun di Moskow saya memiliki salah satu momen paling menyedihkan ketika saya tahu kalau saya tidak ada dalam skuad untuk final Liga Champions melawan Chelsea,” kata Park kepada Utd Unscripted.

Musim 2007/2008 memang bukan menjadi musim yang baik bagi suami dari pembaca berita, Kim Min-Ji. Park hanya bermain 18 kali dengan 12 laga diantaranya terjadi di Premier League. Ia juga hanya empat kali berlaga di Liga Champions. Wajar jika Fergie tidak memberikan dia kesempatan main pada laga final.

Akan tetapi, empat laga ketika Park bermain terjadi pada fase gugur yaitu dua leg masing-masing melawan AS Roma pada perempat final, dan Barcelona pada semifinal. Bahkan penampilan Park cukup bagus saat mereka menyingkirkan Lionel Messi dan kawan-kawan. Penampilan apik yang pantas diganjar satu tempat pada laga final.

Momen ngenes Park tidak berhenti sampai di situ. Saat ia hanya duduk di bangku penonton, dua kawan karibnya, Patrice Evra dan Carlos Tevez justru bermain dari menit awal.

“Saya ingat Evra dan Tevez, datang dan mencoba menghibur saya. Saya sedih, tetapi mereka memeluk saya, lalu saya bisa membaca wajah mereka yang kecewa melihat saya dan betapa sedihnya perasaan mereka.”

“Mereka hanya ingin berbagi kesempatan dengan saya, jadi saya merasa sangat dihargai dengan perilaku mereka dan ekspresi di wajah mereka. Tapi apa yang bisa kita lakukan? Saya kecewa, lalu pertandingan dimulai dan saya mulai berdoa agar kita menang. Itulah situasinya. Begitu juga di runag ganti. Setelah semuanya, kita menjadi juata Liga Champions sehingga tidak ada yang bisa menyalahkan siapa pun,” kata Park.

Park bukannya tidak gembira. Saat Edwin Van der Sar menepis tendangan penalti Anelka, ia ikut turun ke lapangan dan bergembira bersama si penjaga gawang. Namun, kegembiraan itu sifatnya begitu semu karena sampai tim berpesta merayakan kemenangan, Park masih galau.

“Saya menikmati pesta kemenangan dengan setengah-setengah. Setengah sisi saya menikmatinya, namun setengah lagi tidak. Perasaan yang aneh. Saya mengerti kalau kami adalah juara Eropa tetapi saya tidak merasakannya di hati saya, perasaannya campur aduk.”

“Saya kemudian paham kalau bukan hanya saya yang merasakan hal seperti ini. Ada 25 pemain yang ingin berada di skuad namun hanya 18 yang bisa dipilih, jadi saya tahu kalau bukan hanya saya yang merasakannya,” ujarnya menambahkan.

Kesedihan sebenarnya tidak hanya dirasakan oleh Park, namun juga oleh Sir Alex Ferguson. Manajer justru berada dalam kondisi yang jauh lebih sulit karena harus memilih dan memberi tahu siapa yang tidak mendapat kesempatan.

Banyak beberapa alasan yang muncul ketika membahas mengenai alasan Fergie tidak membawa Park. Selain lini tengah yang saat itu banyak diisi pemain hebat, Ferguson ditengarai sudah berjanji kepada Paul Scholes untuk memberikannya kesempatan bertanding jika United kembali lolos ke final Liga Champions. Sembilan tahun sebelumnya, Scholes tidak main pada malam indah di Camp Nou karena akumulasi kartu kuning.

Slot di posisi sayap juga sudah diisi nama-nama seperti Nani, Owen Hargreaves, Cristiano Ronaldo, dan Ryan Giggs sehingga Fergie tidak punya pilihan selain tidak membawa Park dan menempatkannya bersama Gerard Pique, Danny Welbeck, Louis Saha, dan Gary Neville yang sepanjang musim itu berkutat dengan cedera.

Meski begitu, Ferguson adalah manajer yang adil. Apa yang dialami Scholes juga dialami Park ketika United kembali melaju ke final pada 2009 dan 2011. Sayangnya, United justru menderita kekalahan dalam dua final tersebut atas lawan yang sama, Barcelona.

Park sedih karena kejadian 2008. Namun, ia beberapa kali menegaskan kalau yang paling penting adalah kepentingan tim. Beruntung bagi dirinya, karena ia masih bisa merasakan nikmatnya mengangkat trofi Liga Champions yang kini sudah 12 tahun tidak bisa diraih oleh Setan Merah.