Foto: BestHQWallpapers

Bagi Antonio Valencia, Inggris merupakan tempat yang indah dalam karier sepakbolanya. 14 tahun berada di sana (empat tahun bersama Wigan dan 10 tahun bersama United) membuat namanya menjadi salah satu pemain Ekuador terbaik yang pernah berkiprah di Premier League.

Bukti kesuksesannya bisa dilihat dari piala yang dimiliki. Hanya dia yang bisa menjadi juara liga dua kali. Keduanya diraih bersama United. Selain itu, hanya Valencia juga yang bisa masuk dalam PFA Team of the season yaitu pada musim pertamanya bersama Setan Merah musim 2009/10.

Setelah menghabiskan kariernya bersama United, ia kemudian kembali ke Ekuador untuk memperkuat LDU Quito. Ia baru saja membawa kesebelasan tersebut meraih gelar Copa Ecuador setelah mengalahkan Delfin SC melalui agregat gol tandang. Di sisi lain, klub lamanya masih berkutat dalam kesulitan demi kesulitan untuk menunjukkan permainan terbaiknya. Sesuatu yang membuat Valencia sangat sedih hingga membuatnya mengambil keputusan yang tergolong mengejutkan.

“Sejujurnya, saya tidak pernah menyaksikan pertandingan Manchester United. Menyakitkan bagi saya. Saya mencoba untuk menonton tapi saya justru menjadi sedih. Saya memiliki United dalam hati saya: kotanya, penggemarnya, dan 10 tahun saya berada di sana. Sulit untuk melihat mereka kalah. Saya rindu untuk berada di sana,” kata Valencia seperti penuturannya kepada The Athletic.

Kembali ke masa ketika ia pertama kali tiba di United, tidak ada yang menyangka kalau dia yang akan mengisi kekosongan Cristiano Ronaldo. Di sisi lainnya ada Gabriel Obertan yang juga berposisi di sektor sayap. Namun melihat pengalamannya bersama Wigan, maka Valencia yang kemudian menjadi pemain utama.

Empat musim pertama Valencia berjalan begitu lancar. Ia tidak juara pada musim pertamanya, namun sukses masuk dalam skuat terbaik Premier League. Musim berikutnya, ia mengalami cedera parah namun menutup kompetisi dengan medali Premier League pertamanya. Ia kemudian mengalami masa-masa mengerikan saat ia menjadi pemain terbaik klub namun melihat timnya gagal juara pada detik-detik terakhir kompetisi 2011/12. Ia sukses membalasnya dengan titel liga kedua semusim berselang.

“Saya ingat ketika kami berada di ruang ganti kandang Sunderland untuk menunggu peluit akhir City. Dan saya tidak melupakan apa yang terjadi setelah itu dan kata-kata manajer menguatkan kami semua. Dia berkata, ‘kalian tidak akan melupakan pelajaran yang ada sekarang, rasa sakit yang ada dalam perasaan kalian. Sekarang kalian harus membalasnya pada musim berikutnya dan kembali lebih kuat.’ Karena itu, mayoritas para pemain kembali 10 hari lebih cepat hanya untuk berlatih,” katanya.

Apa yang didapat Valencia di United begitu membantu untuk membentuk karakternya. Dia diajarkan oleh pemain lain cara untuk menjadi seorang pemenang. Tidak dari penjelasan secara teori, namun hanya dari melihat apa yang dilakukan oleh para pemain senior klub saat itu.

“Saya ingat ketika selepas bertanding dan menang, para pemain lain justru berbicara tentang menang di laga berikutnya. Tidak ada kata enjoy sehabis menang dalam satu laga. Evra, Rooney, Giggs selalu berada di pusat kebugaran sebelum latihan dimulai. Kadang saya berpikir, ‘orang-orang ini adalah orang dengan uang banyak, punya medali liga Champions, dan mereka ada di tempat latihan dari jam 7 pagi. Sebagai pemain muda saya belajar kalau mereka tidak hanya berlatih untuk menjadi pemenang, tetapi mereka kecanduan untuk menang.”

Semasa karirnya, Valencia dikenal sebagai pemain dengan umpan silang yang keras tapi akurat. Dia tidak seperti David Beckham atau Kevin de Bruyne yang mengandalkan akurasi melainkan power dengan ketepatan yang penuh presisi. Rooney adalah pemain yang dimanjakan betul oleh Valencia pada musim 2009/10. Ia dilatih untuk melakukan 30 umpan silang kepada Rooney dalam sesi latihan.

Karier Valencia memang tidak pernah mulus. Ada saja rintangan yang mau tidak mau harus ia lawan. Musim berikutnya ia mendapatkan cedera yang luar biasa menyakitkan ketika pergelangan kakinya mengalami kerusakan hingga memaksanya absen cukup panjang. Setelah menjadi pemain terbaik klub, performanya langsung anjlok ketika dengan berani menerima tawaran Sir Alex Ferguson menggunakan nomor punggung tujuh.

“Padahal saya bermain baik pada awal-awal musim dengan membantu mengkreasikan gol. Tiba-tiba saya mengalami cedera punggung dan membuat saya tidak bisa bersaing lagi. Pada diri saya sendiri, saya berkata, ‘cedera ini sudah menghinggapi saya selama delapan bulan. Mungkinkan ini berhubungan dengan beban memakai nomor tujuh?’ Saya kemudian mengganti nomor kembali ke 25 dan saya mulai kembali ke jalur yang sesuai.”

Setelah mengganti nomor, kariernya mulai membaik. Puncaknya ketika ia dilatih pada Jose Mourinho. Meski sudah berusia 30-an, namun ia masih bisa bermain konsisten satu musim penuh. Posisinya sudah berganti menjadi bek kanan dan Mourinho menyebutnya sebagai salah satu bek kanan terbaik yang pernah ia latih. Sampai kemudian hubungan keduanya dikabarkan merenggang ketika Valencia menekan tombol like dalam sebuah postingan di instagram yang meminta Mourinho untuk pergi.

“Saya tegaskan sekali lagi kalau itu adalah kesalahan saya. Saya tidak tahu apa yang dikatakan dan saya hanya menekan tombol like saja. Karena kejadian itu, saya yang mendatangi manajer lebih dulu untuk meminta maaf dan dia berkata ‘tidak masalah.’ Saya memang tidak banyak bermain pada musim terakhir Jose namun itu semua bukan karena masalah itu. Saya mengalami cedera, sementara hubungan saya dengan Mourinho begitu luar biasa.

Lantas mengapa United sulit untuk menjadi juara? Valencia kemudian menjawab kalau setiap manajer yang menggantikan Ferguson saat itu menemui masalahnya masing-masing. Khususnya terhadap para pemain.

“Hanya sedikit pemain yang merasakan Moyes adalah sosok penting. Ini semua soal tanggung jawab para pemain. Bersama Ferguson, kami sudah yakin di ruang ganti kalau kita bisa menang 4-0, sekarang rasa itu sudah hilang. Bersama Van Gaal dan Moyes rasa ingin menang itu tidak ada. Itu juga yang terjadi di Old Trafford ketika tempat itu tidak lagi angker. Bersama Van Gaal, ia berkonflik dengan para pemain seperti Rafael dan Jonny Evans. Pemain yang masih bagus untuk klub saat itu.”