Kekalahan besar 0-4 melawan Everton akhir pekan lalu, tidak menyurutkan hasrat Ole Gunnar Solskjaer untuk sukses bersama Manchester United. Mantan pemain timnas Norwegia ini, masih menganggap dirinya sebagai sosok yang tepat untuk mengembalikan Setan Merah kembali berjaya layaknya di era Sir Alex Ferguson dulu.
“Saya sudah mengatakan kalau saya ingin tim saya menjadi kesebelasan yang paling bekerja keras di liga. Kami ingin tim ini tampil seperti era Sir Alex Ferguson dulu. Saya ingin sukses di sini bersama para pemain yang saya rasa masih layak menjadi bagian dalam tim saya,” tutur Solskjaer.
Pria yang akrab disapa Ole ini sebenarnya sudah berhasil melakukan itu. Setidaknya itulah yang tercermin dari penampilan United dalam tiga bulan pertamanya menangani tim. United kembali bermain dengan enak, nyaman, dan penuh percaya diri sehingga kemenangan demi kemenangan terus mereka raih.
Ole’s at the wheel menjadi chant baru yang akrab dinyanyikan setiap pertandingan. Sosok Solskjaer mulai dianggap sebagai nakhoda yang berhasil mengembalikan kapal besar bernama United yang hampir tenggelam dalam perjalanan keras mengarungi luasnya laut kompetisi Premier League. Hal ini membuahkan hasil dengan kontrak tiga tahun sebagai manajemen tetap.
Namun setelah tanda tangan kontrak, kapal United justru kembali oleng. Kekalahan demi kekalahan kembali akrab diraih sang nakhoda. Sejak pertengahan Maret hingga pertandingan terakhir melawan City kemarin, Ole sudah menderita tujuh kekalahan dalam sembilan pertandingan. Ole’s at the wheel kini berganti menjadi Ole’s at the wheelchair alias Ole kini layaknya orang sakit yang mulai tidak berdaya di kursi roda.
Terakhir, Manchester United kembali kalah dari saudaranya yang kini mulai mengambil alih status sebagai penguasa kota Manchester. Hal ini menimbulkan kembali keraguan terkait tepat atau tidaknya sosok Ole menjadi manajer Manchester United berikutnya. Apakah dia benar-benar sosok yang tepat untuk membawa United kembali sukses karena kekalahan demi kekalahan kini mulai dirasakan kembali oleh Setan Merah.
Kapasitas Taktik yang Mulai Dipertanyakan
Rasio kemenangan Ole Gunnar Solskjaer bersama United tergolong tinggi yaitu 61 persen. Ia meraih 16 kemenangan dalam 26 pertandingan yang sudah ia jalani. Namun jika hanya menghitung rasio kemenangan ketika dirinya sudah dipermanenkan, maka ia baru memiliki persentase kemenangan sebanyak 28,6 persen saja. Singkatnya, Ole jauh lebih hebat saat masih berstatus pegawai magang ketimbang sebagai pegawai tetap.
Latar belakang Ole yang hanya menangani tim sekelas Molde membuat taktiknya diragukan bisa cocok dengan para pemain United. Jika bersama Louis Van Gaal dan Jose Mourinho, dua manajer yang cukup sukses di Eropa, United masih bisa gagal, maka tidak menutup kemungkinan Ole akan mengikuti jejak yang sama karena datang dari kompetisi yang berada di peringkat ke-32 dari 55 negara yang terdaftar di Uefa. Liga Norwegia hanya lebih bagus dari negara-negara seperti Montenegro, Siprus, hingga Azerbaijan.
Pendekatan taktik Ole sebenarnya sangat berbeda dibanding Mourinho. United tetap bermain 4-3-3 dengan build up serangan bergantung kepada dua sosok cepat di sisi sayap yaitu Anthony Martial (kiri) dan Jesse Lingard (kanan). Mereka juga mulai rajin menjemput bola ketika para pemain belakang sedang menguasai bola.
Ole bisa membuat pergerakan para pemain tengah dan depan United menjadi lebih cair. Ditambah serangan balik yang menjadi senjata, maka seranga-serangan United mulai tidak bisa ditebak oleh lawan-lawannya. Selain itu, adaptifnya taktik Ole terhadap situasi pertandingan membuat kontrol pertandingan bisa mereka kuasai.
Namun setelah dipermanenkan, Ole tidak bisa lagi membuat United mengontrol jalannya pertandingan. Bahkan ketika menghadapi kesebelasan medioker macam Watford dan West Ham pun, United keteteran. Formasi 4-3-3 yang sebelumnya begitu agresif kini kelihatan mulai mengendur.
Tidak hanya itu, keputusan Ole dalam memilih pemain yang layak menjadi starter juga mulai dipertanyakan. Ashley Young, Chris Smalling, Phil Jones, dan Jesse Lingard, empat pemain yang dianggap tidak layak lagi memperkuat United, masih terus dimainkan. Ole mungkin lebih tahu segalanya, namun para pemain ini kerap tidak bisa menjawab kepercayaan manajernya ketika dimainkan.
Belum lagi soal penempatan pemain yang justru membawa petaka bagi timnya sendiri. Dalot ia mainkan sebagai bek kiri, Lindelof sebagai bek kanan, Ashley Young sebagai bek tengah, posisi yang sangat jarang mereka mainkan. Selain itu, ia dengan berani memainkan Matteo Darmian, yang tiga bulan tidak bermain, sebagai starter dalam laga sekelas derby. Tak ayal, pemain Italia ini menjadi penyebab gawang David De Gea kebobolan melalui sepakan Leroy Sane.
Para Pemain yang Tidak Konsisten
Satu hal yang membuat Ole mulai terlihat buruk di mata penggemar adalah penampilan para pemainnya yang tidak konsisten. Konsistensi penting untuk dimiliki agar performa tim bisa terus terjaga. Hal ini sebenarnya bisa dilakukan United pada awal-awal kepelatihan Ole.
Paul Pogba bisa dijadikan contoh. Lepas dari belenggu Mourinho, ia tampil kesetanan dengan membuat banyak gol dan asis. Namun setelah memasuki Maret, ditambah isu dari Real Madrid, penampilan Pogba mulai merosot. Ia hanya mencetak dua gol saja dari sembilan pertandingan. Kedua-duanya bahkan dari titik penalti.
Marcus Rashford juga sama. Sempat menjadi pemain terbaik bulan Januari berkat penampilan apiknya pada bulan tersebut, kini si nomor 10 mulai kesulitan menemukan jala gawang lawan. Hal serupa juga dialami Romelu Lukaku. Setelah membuat enam gol dalam tiga pertandingan beruntun, penyerang Belgia ini belum pernah kembali mencetak gol. Belum lagi para pemain tengah macam Matic, Herrera, dan Mata, yang langsung flop setelah mendapatkan cedera.
Tidak konsistennya para pemain United inilah yang memusingkan Ole. Ia pun beberapa kali sudah menyebut kata pra-musim saking tidak sabarnya untuk mematangkan taktik dan melatih para pemainnya untuk bermain lebih konsisten lagi ketika memasuki musim baru.
Dukungan Manajemen dan Fans Menjadi Kunci
Banyak yang mengatakan kalau taktik Ole bukanlah penyebab keterpurukan United dalam beberapa pertandingan terakhir. Para pemainlah biang keladi memburuknya penampilan United karena dianggap tidak sungguh-sungguh dalam membela tim di atas lapangan. Mereka berharap adanya cuci gudang. Membuang pemain yang sudah tidak pantas lagi berbaju United dan menggantinya dengan pemain-pemain yang sesuai keinginan Ole sendiri.
Di sinilah peran manajemen akan menentukan nasib Ole apabila masalah taktik dan konsistensi para pemain sudah diselesaikan. Dalam beberapa musim terakhir, manajemen dianggap sering mengintervensi permintaan manajer terkait siapa saja pemain yang akan direkrut. Mereka tidak boleh lagi membeli pemain hanya sebatas meimliki nilai komersil yang bagus seperti kasus Paul Pogba dan Angel Di Maria.
Jika manajemen mau mendukung total Ole Gunnar Solskjaer pada bursa transfer nanti, maka peluang untuk melihat United era baru semakin terbuka lebar. Meski begitu, manajemen juga harus sabar karena Ole sendiri mengungkapkan butuh waktu untuk mengejar ketertinggalan dari tim-tim yang kekuatannya di atas mereka. Begitu pula dengan para penggemar. Untuk keempat kalinya, mereka akan disuguhkan United yang kembali memulai dari nol lagi. Jika dua unsur ini tidak bisa lagi menikmati proses layaknya di era Moyes, LVG, dan Mourinho, maka siap-siap saja Solskjaer akan kembali bernasib sama seperti mereka.