Dengan kepribadiannya yang kuat, Hair Dryer Treatment menjadi sesuatu yang identik dalam diri seorang Alex Ferguson. Meski tidak selalu berhasil, nyatanya teknik ini menjadi kunci kesuksesannya selama menangani Manchester United.
Jonny Evans ketika itu masih sangat muda. Umurnya 22 tahun saat dipercaya mengawal lini belakang United ketika menghadapi AC Milan. Bagi pemain muda, ketegangan mungkin menjadi sesuatu yang lumrah. Apalagi bermain pada laga penuh tensi seperti yang dialami Evans yaitu pada 16 besar Liga Champions 2009/2010.
Sayangnya, Evans tidak hanya berhadapan dengan AC Milan. Ia dan 10 rekan setimnya berhadapan dengan Sir Alex Ferguson yang membenci kesalahan. Jika sang gaffer merasa ada sesuatu yang salah dan membuatnya emosional, maka makian kasar sudah pasti keluar dari mulutnya.
Evans masih ingat betapa marahnya Ferguson kepada dirinya yang kemudian coba ditenangkan oleh Mike Phelan. Mukanya memerah dan tidak ada raut muka bersahabat dari sang manajer meski saat itu United baru saja menyamakan kedudukan.
Saat itu, keadaannya memang berjalan buruk dan satu-satunya cara adalah melontarkan kalimat pedas dengan kata yang mungkin tidak enak didengar. Tujuannya demi kebaikan tim dan bukan untuk menghina atau menjatuhkan mental pemain.
Dan hasilnya terbukti. United yang pada awal-awal laga membuat banyak kesalahan menjadi lebih solid setelah kebobolan. Mereka menang 3-2 dan laga itu menjadi satu dari sekian banyaknya laga di mana United bangkit berkat semprotan Fergie.
“Mereka harus menenangkan diri karena itu yang terpenting. Setelah nasihat itu, mereka mulai menjadi tenang dan kembali ke permainan normal mereka. Hasilnya bisa saja berbeda jika bukan karena itu,” ujarnya.
***
Sir Alex Ferguson adalah contoh pelatih/manajer yang memiliki kemampuan kata-kata yang luar biasa. Salah satu ciri khasnya adalah Hairdryer Treatment miliknya yang sanggup membuat United yang sebelumnya loyo menjadi tim yang penuh semangat juang.
Ucapannya mungkin seperti seorang diktator. Bengis, kasar, tidak punya empati. Namun, dengan cara itulah United kemudian menjelma menjadi kesebelasan hebat di dunia. Kesebelasan yang punya identitas dan integritas.
Tugas Ferguson memang sangat berat. Tidak hanya membawa United untuk sukses tapi juga bisa menginspirasi dan memotivasi pemain untuk bisa mencapai standar tertentu. Hanya dengan cara itu sebuah kesebelasan bisa meraih kemenangan dan pemain akan memiliki kepribadian kuat di atas lapangan.
“Aku tidak akan menyangkal kalau aku adalah sosok yang kejam karena aku dibayar untuk menang dan itulah pekerjaanku. Kalian harus memiliki kepribadian yang kuat ketika memimpin banyak orang dan aku adalah orang yang memiliki kepribadian kuat,” tuturnya.
Hairdryer Treatment nyatanya tidak muncul ketika United sedang dalam kondisi tertinggal. Bahkan ketika mereka unggul pun, kalimat kasar akan tetap keluar karena Fergie merasa masih ada yang salah dalam permainan timnya.
Louis Saha tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya ketika diserang Ferguson meski sudah membuat dua gol pada babak pertama melawan Everton tahun 2004. Di mata Ferguson, Saha sudah menyia-nyiakan dua peluang yang bisa membuat United sudah unggul 3-0 pada babak pertama. Padahal, status Saha ketika itu adalah rekrutan anyar dan dua gol tentu bukan torehan yang remeh.
Hal yang sama juga dirasakan rekan setimnya, Mikael Silvestre. Hanya butuh dua pertandingan bagi Silvestre untuk bisa membuat Ferguson berkata ‘kau brengsek’. Bahkan ia berjanji untuk memulangkan si pemain ke Prancis jika kembali membuat kesalahan seperti yang ia lakukan melawan Southampton pada 1999.
Permainan pikiran yang sempurna akan menghasilkan individu yang sempurna. Itulah yang kemudian dirasakan Saha dan Silvestre. Ketertiban dan kedisiplinan yang ditanamkan Fergie mampu mengeluarkan kemampuan terbaik dalam diri keduanya. Saha merasa dia punya dimensi lain dari pandangannya soal hasil, sedangkan Silvestre menyebut kalau Hairdryer Treatment adalah cara bagus untuk membuat pemain lebih maju lagi.
“Bahkan ketika dia salah pun, dia masih terlihat benar. Para pemain yang menerimanya dengan baik, akan selalu memastikan kalau itu tidak akan terjadi lagi. Dia hanya ingin pemain yang ia punya berkembang dan bagi saya Hairdryer Treatment adalah sebuah berkah,” kata Silvestre.
***
Akan tetapi, tidak selamanya teknik ini membuahkan hasil. Ferguson akan selalu bertemu dengan pemain yang ingin membangkang dan melawannya. David Beckham adalah salah satu yang mencoba melawan.
Hasilnya, pintu keluar langsung terbuka. Inilah yang persis diucapkan oleh Silvestre. Keputusan membuang Beckham dianggap salah karena sang pemain adalah motor dari serangan United di sisi sayap. Namun ketika Cristiano Ronaldo datang, maka keputusan menjual Beckham menjadi keputusan yang tepat.
Selain itu, Hairdryer Treatment ala Sir Alex akhirnya kalah oleh waktu. Pergerakan zaman yang semakin maju membuat industri sepakbola juga berkembang pesat. Imbasnya pemain yang muncul adalah pemain yang memiliki mentalitas berbeda dari zamannya yang mau tidak mau pemain harus terus diberikan kenyamanan.
“Saya sudah mengamati dari tahun ke tahun kalau pemain masa kini lebih rapuh. Hairdryer Treatment tentu bukan solusi jika digunakan saat mental sedang memburuk. Mereka (para pemain) justru harus diberikan kenyamanan,” tuturnya dalam sebuah workshop bersama UEFA.