Direkrut dengan harga 75 juta paun serta ekspektasi sebagai pencetak gol utama Setan Merah, namun kenyataannya Romelu Lukaku hanya bertahan dua musim saja di Manchester United. Pada musim panas kali ini, ia resmi hijrah ke Inter Milan setelah negosiasi yang sempat berlarut-larut dan drama kucing-kucingan antara keduanya.

Selama dua musim, pemain asal Belgia ini sebenarnya memiliki catatan statistik yang tidak terlalu buruk. Ia mencetak 42 gol dengan musim pertamanya membuat 27 gol. Sejak Robin van Persie pada 2012/2013, hanya Lukaku dan Ibrahimovic saja yang bisa mencetak 20 gol per musimnya. Meski pada musim kedua, torehan gol Lukaku menurun (15 gol), namun ia adalah pencetak gol terbanyak di antara pemain depan lainnya.

“Banyak orang yang berpikir kalau saya tidak tepat menjadi bagian dari sistem di Manchester United. Itulah perasaan saya dari percakapan yang saya miliki dan saya tahu itu. Bagi saya, hal yang membuat saya sering tertawa adalah bagaimana mungkin hal-hal buruk justru terjadi ketika saya memperkuat Manchester United, tapi ketika saya bermain di tim nasional Belgia, maka hal-hal bagus yang terjadi.”

“Apakah saya harus berbicara satu lawan satu dengan setiap pemain MU lain dan saling membahas taktik? Kita semua tahu sepakbola internasional berbeda dengan sepakbola di level klub tetapi gaya bermain yang kami terapkan di timnas adalah gaya bermain yang ingin dimainkan MU. Lantas, apakah ini semua salah saya?” tutur Lukaku dalam Podcast LightHarted bersama Josh Hart.

Meski begitu, Lukaku seperti sudah mendapat stigma buruk dari para suporter United. Meski mencetak cukup banyak gol, namun ia dianggap bukan striker yang bagus. Tubuhnya kegemukan, sentuhan pertamanya begitu mengkhawatirkan, serta dianggap terlalu banyak menyia-nyiakan peluang. Tiga hal yang kemudian membuat mantan pemain Anderlecht ini selalu menjadi sasaran kambing hitam penggemarnya.

Lukaku kemudian mencontohkan situasi yang ia alami bersama Paul Pogba dan Alexis Sanchez. Ketiga pemain ini menjadi pemain yang paling sering mendapat kritikan dan hujatan ketika mereka bermain buruk. Khususnya dari para suporter dan media yang dianggap tidak cukup untuk melindunginya. Dengan kepergiannya, ia menilai kalau suporter United kini sedang mencari orang baru untuk disalahkan.

“Mereka harus menemukan orang baru untuk disalahkan. Di United, hanya ada tiga pemain yang disalahkan yaitu saya, Pogba, dan Alexis. Mereka harus mencari seseorang lain untuk disalahkan karena saya kini sudah angkat tangan. Tahun ini, saya merasa kalau bukan saya saja yang bermain buruk. Banyak yang bermain buruk tapi mereka harus menemukan siapa yang paling pantas disalahkan. Jika mereka ingin menyalahkan saya, mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan,” tuturnya menambahkan.

Ekspektasi yang Terlalu Tinggi Atau Fans yang Terlalu Instan?

Lukaku tidak perlu menunggu lama untuk melihat bagaimana para penggemar United begitu gemar dan mudahnya mencari kambing hitam. Beberapa waktu lalu, Pogba sudah merasakannya. Setelah diprediksi akan menjadi pemain yang disayang para penggemarnya karena berani nampang meski sempat berucap ingin tantangan baru, Pogba justru mendapat serangan rasisme hanya karena kesalahan yang tergolong manusiawi yaitu gagal menendang penalti.

Keluhan Lukaku ini seolah menunjukkan kalau dia adalah pemain yang tidak memiliki mental baja alias memiliki mental “tempe”. Banderol yang mahal serta gaji yang tinggi membuat para penggemar menginginkan Lukaku tampil bagus setiap pertandingannya. Tidak salah memang karena nilai mahal yang dikeluarkan United menunjukkan kalau si pemain dianggap mampu mengemban tugas sebagai pemain utama Setan Merah.

Namun menurut mantan striker United, Robin van Persie, pemain-pemain yang dibeli dan digaji mahal ini sebenarnya datang saat kondisi tim yang sedang carut marut. RVP sendiri mengambil contoh kasus Alexis Sanchez yang kini dianggap sebagai biang kerok dan virus dalam tubuh Manchester United.

Dari kacamata pemain Belanda ini, para pemain baru United sebenarnya perlu diberikan waktu adaptasi yang lebih panjang. Namun karena klub sudah lama tidak mengecap gelar juara maka suporter menuntut segala sesuatunya dengan instan. Alhasil ketiga pemain seperti yang disebut Lukaku tersebut tidak bisa kompromi dengan situasi yang membuat ketiganya menjadi sasaran tembak.

“Saat segalanya tampak salah di United, sementara pada saat bersamaan, Anda sedang mengalami periode buruk, maka hal itu akan menyulitkan Anda karena media akan menelan Anda bulat-bulat,” tutur pahlawan United pada musim 2012/13 ini.

Lukaku kini sudah pergi, Alexis Sanchez kemungkinan besar akan menyusul. Seandainya kasus rasisme Pogba belum kunjung berhenti, maka si pemain akan menjadi kambing hitam terdepan diantara pemain lain. Lalu jika melihat permainan tim dalam dua laga terakhir, maka Jesse Lingard dan Luke Shaw kemungkinan akan berada di belakang mantan pemain Juventus tersebut. Namun mengingat media Inggris “terkadang” gemar melakukan standar ganda dan kerap melindungi pemain-pemain negaranya sendiri, maka Pogba nampaknya memimpin daftar sebagai kambing hitam utama Setan Merah.