Foto: The Times

Optimis! Itulah citra yang coba dibentuk oleh Erik ten Hag saat pertama kali datang ke Manchester United. Sebuah hal yang positif meski di satu sisi rasa keyakinan sang pria Belanda juga berpotensi menjadi bumerang.

Tidak ada salahnya memang menjadi optimis. Orang yang optimis adalah individu yang memiliki motivasi diri. Dia akan melihat segala hal sebagai peluang daripada masalah, dan akan mengambil tindakan untuk apa yang mereka inginkan. Dengan kata lain, Ten Hag percaya dan yakin akan kemampuannya sendiri untuk menangani Manchester United.

Suporter pun juga tidak salah untuk optimis atau bahkan berharap lebih. Toh, tidak ada larangannya. Lagipula, Ten Hag adalah sosok pelatih yang membawa bekal berupa ide-ide jelas yang sebelumnya sukses menghadirkan sepakbola yang atraktif dan enak ditonton untuk Ajax Amsterdam.

Entah sudah berapa tahun, United dan kata kecewa selalu datang beriringan. Dalam periode itu, sederet orang baru berdatangan dengan membawa misi dan beban serupa yaitu membawa Manchester United kembali ke tempat semestinya, papan atas. Sayangnya, tidak ada satu pun yang mampu.

Ketika United menunjuk Erik ten Hag sebagai manajer anyar, optimistis yang tinggi kembali datang. Sederet puja dan puji telah muncul dari bibir para penggemarnya yang kemudian diikuti dengan keyakinan kalau pria kelahiran Haaksbergen ini merupakan jawaban dari masalah yang muncul dalam satu dekade terakhir ini.

Akan tetapi, optimisme Ten Hag juga bisa menjadi bumerang. Khususnya bagi dirinya sendiri. Kita semua sadar kalau tempat yang diinjak oleh Ten Hag sekarang merupakan kuburan bagi banyak pelatih-pelatih. Moyes, Van Gaal, Mourinho, dan terakhir Ole Gunnar Solskjaer, semuanya berakhir dengan nasib yang sama. Dipecat.

Ten Hag punya banyak PR yang beberapa diantaranya harus diselesaikan pada musim ini. Khususnya gaya main. Musim lalu, United menjadi kesebelasan yang tidak jelas sepakbola apa yang ingin dimainkan. Baik menyerang dan bertahan sama-sama hancurnya. Di belakang, para pemain kerap berdekatan dalam penempatan posisi. Terlihat seperti melakukan pressing ala Liverpool tapi justru abai terhadap ruang di sisi lainnya.

Untuk urusan menyerang, United hanya bisa bergantung dari sayap. Dua pivot mereka, terkadang kesulitan memajukan serangan baik itu dengan umpan atau dribel ke depan. Saat bola ada di kaki McTominay dan Fred, maka ending dari sirkulasi tersebut sudah ketebak yaitu ke sisi sayap yang kemudian membuat serangan United menjadi monoton.

Dua hal krusial ini yang harus cepat dibereskan Ten Hag pada pra-musim. Karena imbasnya adalah kepada hasil akhir. Ketika hasil pertandingan tidak berakhir dengan kemenangan, maka suporter pasti akan bertanya mengenai filosofi apa yang sudah diberikan olehnya kepada pemain ini. Apalagi ia yakin kalau bisa mengimbangi Manchester City dan Liverpool, dua kekuatan sepakbola Inggris dalam empat tahun terakhir.

“Saya mengagumi mereka berdua, City dan Liverpool. Mereka memainkan sepakbola fantastis. Tapi Anda akan selalu melihat kalau sebuah era bisa berakhir dan saya tidak sabar bertarung melawan mereka,” kata Ten Hag yang ketika ditanya kembali apakah superioritas mereka bisa berakhir sebelum Pep maupun Klopp pergi, ia menjawab “saya pikir ya.”

Baik City maupun Liverpool semuanya tidak bisa diimbangi oleh Setan Merah dari segi permainan. Terutama sang rival abadi yang tidak bisa mereka kalahkan di liga sejak 2018. Musim lalu, United adalah ladang pembantaian mereka dan musim depan harapannya sudah pasti tidak lagi dibantai atau setidaknya bisa mengimbangi mereka meski hasil akhirnya tetap berupa kekalahan.

Hasil akhir yang bagus hanya akan terjadi apabila manajer dan pemain sama-sama sejalan dalam menjalankan tugasnya. Ini juga yang menjadi PR Ten Hag selanjutnya yaitu membuat para pemain terkesan dengan ide-ide sepakbola yang ia bawa.

Semua manajer United semuanya mengalami masalah yang serupa yaitu kesulitan mengontrol ruang ganti. Semuanya kalah power dari para pemain. Tulisan Jonathan Northcroft di The Times membeberkan betapa sulitnya mengatur pemain United. E-mail Van Gaal terkait evaluasi permainan pernah diabaikan oleh beberpapa pemain yang tidak mengenalnya. Bahkan interim sekelas Rangnick pun gagal total karena taktik sepakbolanya justru sulit dicerna yang membuat para pemain kemudian tidak puas dengan metode kepelatihannya.

“Saya selalu berkata kalau Anda bisa menjadi pelatih jenius dalam hal taktik, tapi ketika Anda berkomunikasi dengan pemain Anda dan pemain Anda tidak paham, maka Anda tidak akan mendapat apa-apa,” kata Patrice Evra yang memberi peringatan kepada Ten Hag kalau dia akan menjalani pekerjaan yang sulit.

Tulisan ini bukan berarti meragukan kemampuan Ten Hag. Namun lebih kepada memperingatkan kalau Ten Hag hanyalah satu dari sekian banyak cara untuk membenahi Manchester United. Selagi manajemen dan para pemain tidak bisa berjalan sesuai dengan visi yang ia bawa, maka tidak tertutup kemungkinan kalau Ten Hag bisa bernasib sama dengan para pelatih sebelumnya.

Dalam kesepakatan yang dibuat, ada klausul yang menyebut kalau Ten Hag mendapat otoritas penuh dalam menangani tim ini. Tapi, kita semua juga sudah tahu betapa bobroknya manajemen United dan betapa besarnya ego para pemain yang dimiliki sekarang.