Berawal dari sepak pojok yang dieksekusi Angelos Basinas, Angelos Charisteas memanfaatkan salah komunikasi antara penjaga gawang Ricardo dengan pemain belakang Portugal untuk menanduk bola tersebut ke gawang yang menganga. Yunani unggul di Estadio da Luz melawan Portugal pada final Piala Eropa 2004 dan bertahan hingga akhir pertandingan.

Gol Charisteas begitu krusial bagi Yunani. Mereka tidak diunggulkan sepanjang turnamen. Gaya permainan mereka disebut-sebut terlalu pragmatis. Namun garis takdir mereka membawa ke final dan menjadi juara dengan menyingkirkan banyak jagoan termasuk Prancis, Rep Ceska, dan Portugal yang bermain bagus sepanjang turnamen. Seantero Yunani bergembira karena mendapatkan sesuatu yang mungkin tidak bisa diulang lagi bertahun-tahun kemudian.

Namun, bagi Cristiano Ronaldo gol tersebut sangat menyakitkan. Tidak hanya bagi warga Portugal, tapi juga bagi dirinya sendiri sebagai pemain yang berjuang mewakili nama negara. Dengan spontan ia menangis betapa menyesakkannya gol tersebut. Ia mencoba menahan dengan mengeraskan rahang pipinya, namun kesedihan itu terlalu kuat dari upayanya mencoba tegar. Ronaldo akhirnya tertunduk dan menangis sampai terduduk. Luis Figo berusaha untuk membesarkan hati Ronaldo untuk berdiri. Ronaldo kemudian berdiri tapi tetap dengan raut muka yang penuh air mata.

“Kami tak pantas kalah karena kami memiliki tim yang fantastis dan bermain bagus sepanjang turnamen” kata Cristiano Ronaldo.

Foto: Bleacher Report

Ronaldo adalah salah satu pemain dengan penampilan terbaik pada Euro 2004. Dengan dua gol dan dua asis yang dibuat, ia masuk dalam Team of the Tournament pada akhir kejuaraan. Lagipula, ia baru saja menjalani tahapan karier tertingginya di dunia sepakbola setelah hijrah ke Manchester United setahun sebelum Euro 2004. Sukses menjuarai Piala FA 2003/2004 membuat Ronaldo bernafsu untuk mendapatkan gelar lainnya. Ketika kesempatan meraih gelar yang jauh lebih tinggi lagi terbuka, ia gagal memanfaatkan kesempatan tersebut. Inilah yang membuatnya menangis.

Karier hebat Ronaldo, hingga usianya yang sekarang tepat 35 tahun, tidak hanya diwarnai dengan kegembiraan. Ada air mata yang berperan juga di sana. Air mata yang melatihnya untuk menjadi pribadi yang lebih kuat. Tidak hanya sekali dua kali Ronaldo menangis. Ketika ia menangis, maka itu adalah sinyal untuk membuatnya menjadi orang yang lebih kuat dan lebih hebat lagi.

Setahun setelah Euro 2004, Ronaldo kembali menangis. Kali ini di final Piala FA ketika United kalah dari Arsenal. Inkonsistensinya Setan Merah di Premier League hanya bisa dibayar melalui trofi Piala FA. Sangat disayangkan, ketika sepakan Ronaldo masuk dalam babak adu penalti, sepakan Paul Scholes justru gagal. United kalah dan ia menangis lagi di pertandingan besar yang seharusnya bisa ia menangkan.

Kesedihan Ronaldo pada final Piala FA 2005 (Foto: Pinterest)

Air mata Ronaldo tidak hanya muncul karena kekalahan. Hair dryert treatment dari Sir Alex Ferguson pernah membuatnya menangis. Tidak di lapangan melainkan di ruang ganti dan di depan teman-teman sesama pemain United lainnya. Fergie kesal karena Ronaldo terlalu bermain individu ketika United disingkirkan Benfica sekaligus membuat mereka gagal ke fase gugur Liga Champions untuk pertama kalinya sejak 1994.

“Kamu pikir kamu siapa? Mencoba bermain sendiri? Kamu tidak akan pernah menjadi pemain bagus jika terus melakukan ini,” kata Guillem Balague, menceritakan momen tersebut dalam bukunya Cristiano Ronaldo: The Biography.

“Ronaldo mulai menangis. Para pemain lain meinggalkan dia sendirian. ‘Dia perlu belajar,’ kata Rio Ferdinand. Itu adalah pesan dari seluruh tim, bukan hanya dari Ferguson melainkan semua orang berpikir kalau dia memang perlu mendapatkan pelajaran agar dia belajar.”

Ferguson tidak suka dengan Ronaldo karena dia suka pamer. Untuk menghentikan sifat tersebut, Fergie tidak punya cara lain selain berbicara dengan kalimat-kalimat keras yang membuatnya bisa segera sadar. Kalau perlu harus dibuat menangis. Itulah yang dilakukan olehnya dan para pemain senior tim. Beruntung, tanggapan Ronaldo sangat baik pada saat itu.

“Setelah kejadian itu dan beberapa air mata, reaksi pemain Portugal itu sama seperti biasanya: terus bekerja dalam sesi latihan untuk meningkatkan kemampuannya. Bisa ditebak, kalau itu semua sebenarnya adalah jebakan untuk dirinya,” kata Balague.

Jika reaksi pemain-pemain senior sudah bisa membuatnya menangis, maka ia punya cara lain untuk melihat apakah Ronaldo sudah berubah atau belum. Caranya adalah dengan memerintahkan para pemain lain untuk menekel Ronaldo. Hal ini semata-mata untuk melihat apakah dia sudah berubah atau tetap menjadi pemain yang suka pamer. Beruntung, mentalitasnya perlahan-lahan mulai membaik. Dari yang suka pamer dan gampang jatuh menjadi sosok yang berani dan cepat bangkit ketika dijatuhkan.

Namun, ada satu sifat yang tidak bisa diubah oleh Ronaldo yaitu sikap cengengnya. Dibalik kehebatannya di atas lapangan, pribadi Ronaldo ternyata benar-benar sangat sensitif dan gampang emosional. Hanya karena tidak mendapatkan bola, maka Ronaldo akan menangis sewaktu kecil.

“Dia itu cengeng, ya, sangat cengeng. Ronaldo mudah menangis karena ia sangat ingin memenangi pertandingan seperti sekarang ini. Tiap kali kalah dan tidak dioper bola, maka dia pasti menangis,” kata Ricardo Santos, sahabat Ronaldo di CF Adorinha.

Seiring meningkatnya karier dan usia Ronaldo sebagai pesepakbola maupun sebagai manusia seutuhnya, namun ia tidak bisa untuk tidak menangis ketika menunjukkan ekspresinya. Yang membedakan adalah suasananya saja. Jika pada Euro 2004 dan Piala FA 2005 ia menangis karena timnya kalah, maka setelah itu tangisnya lebih disebabkan karena keberhasilan ia dan timnya di beberapa kejuaraan.

Ronaldo sesenggukan ketika Edwin van der Sar menepis penalti Nicolas Anelka. Segala bebannya terangkat karena sebelumnya ia menjadi satu-satunya pemain United yang gagal mengeksekusi penalti. Saat teman-temannya berlari ke arah penjaga gawang Belanda tersebut, ia hanya bisa diam di lapangan sambil menangis dan mungkin mengucapkan terima kasih kepada Van der Sar. Beberapa tahun kemudian, air matanya kembali turun saat menerima penghargaan Ballon d’Or 2013. Prestasi apiknya sepanjang tahun tersebut membuatnya berhasil memutus dominasi Lionel Messi.

Foto: FoxSports

Tiga tahun kemudian, Ronaldo merasakan bagaimana hidup dengan dua tangis yang berbeda dalam waktu bersamaan. Final Euro 2016 mempertemukan Portugal dan Prancis saat Ronaldo diterjang Dimitri Payet dari belakang. Ia mengerang kesakitan namun tetap memaksakan diri bermain. Sayangnya, ia tidak sanggup dan dikalahkan oleh rasa sakit itu sehingga mau tidak mau ia harus digantikan. Rasa tidak sanggup itulah yang membuatnya menangis.

Beruntung Portugal punya Eder yang datang sebagai penyelamat. Golnya pada perpanjangan waktu membuat Ronaldo begitu emosional. Ia menjadi kapten pertama yang bisa mengangkat trofi bergengsi untuk timnas Portugal. Trofi Henri Delaunay dipeluk dengan erat layaknya anak kecil yang baru mendapatkan mainan impiannya.

“Saya memohon kepada Tuhan agar kami menjadi juara karena kami memang layak menjadi juara. Sebelumnya, saya berharap setelah partai final akan ada senyum bahagian untuk kami. Tidak hanya itu, kami juga berharap ada tangisan bahagia di akhir turnamen.

Alih-alih tangis Ronaldo akan berakhis sedih layaknya 12 tahun sebelumnya, tangis Ronaldo kemudian berubah menjadi air mata penuh bahagia.

Foto: Newsweek

Tulisan ini dibuat untuk merayakan hari jadi Cristiano Ronaldo yang berulang tahun ke-35