Foto: Mirror.co.uk

Dalam skuad Manchester United saat ini, ada beberapa pemain yang nampaknya sudah mengantungi label sebagai “cadangan mati.” Sebut saja Matteo Darmian dan Marcos Rojo. Julukan ini diberikan kepada mereka yang masih berstatus pemain United, namun kariernya seolah mentok dan tidak lagi menjadi pilihan sang manajer. Di sisi lain, pemain seperti ini seolah sulit mendapatkan klub pembeli jika mereka ingin menjualnya.

Status “cadangan mati” sebenarnya tidak hanya muncul di era kepelatihan Ole Gunnar Solskjaer saja. Ketika Ole masih berstatus pemain United, ada beberapa sosok pemain yang kariernya pantas mendapat julukan tersebut. Salah satunya adalah David May.

Kisah David May di kota Manchester bisa dikatakan hampir mirip dengan kisah Marcos Rojo. Datang dengan penuh harapan, sama-sama berposisi pemain belakang, bisa bermain sebagai bek tengah dan bek sayap, sempat menjadi andalan, namun akhirnya tersingkir dari cedera dan lama dibiarkan terkatung-katung di dalam skuad.

Datang pada musim panas 1994, May, yang justru lahir di bulan Juni, direkrut dengan nilai 1,2 juta paun dari Blackburn Rovers. Kedatangannya diharapkan bisa menjadi penerus estafet dari Steve Bruce dan Gary Pallister yang sudah memasuki usia 30-an (Bruce 34 tahun, Palli 30 tahun).

“Saya diberi tahu Mark Robins (eks United) ketika melawan Norwich. Saat itu, ia berkata kalau pihak United sedang mengawasi saya. Pemandu bakat mereka, Les Kershaw, kemudian bertanya kepada saya tentang situasi kontrak saya dan perasaan saya jika mau bergabung dengan mereka. Saya langsung merasa kalau karier saya di Blackburn sudah cukup. Jika mereka mendatangi saya dengan uang banyak, saya tetap akan menolaknya,” tutur May.

Namun ketika tiba di United, May tidak mengisi posisi favoritnya sebagai bek tengah. Ia justru lebih sering bermain sebagai bek kanan untuk menggantikan Paul Parker yang konsisten dengan cedera. Meski bisa mengisi pos tersebut, namun Fergie tetap tidak puas dengan penampilannya sehingga harus tergusur oleh pendatang baru bernama Gary Neville.

Apes bagi May, United justru tidak bisa meraih gelar Premier League pada musim pertamanya. Yang membuat miris, timnya dikalahkan oleh mantan klubnya Blackburn Rovers pada pekan terakhir kompetisi. Meski kecewa, May menolak untuk menyesal karena ia yakin timnya akan memenangkan banyak gelar.

Harapan May langsung terkabul pada musim berikutnya. Tidak tanggung-tanggung, dua gelar langsung didapat yaitu Premier League dan Piala FA. Menyusul gap 12 poin dari Newcastle United lalu mengalahkan Liverpool di final FA membuat musim 1995/1996 menjadi salah satu musim terbaiknya.

“Musim 1995/1996 adalah yang favorit. Saya berkata kepada diri sendiri kalau di musim itu kami tidak boleh gagal lagi. Lalu pada musim itu, kami memenangkan liga di kandang Middlesbrough, mencetak gol pada pertandingan tersebut, dan mengalahkan Liverpool di Wembley,” tuturnya.

Jalan May untuk menjadi pemain andalan Setan Merah seolah terbuka. Pada musim 1996/1997, Bruce hengkang ke Birmingham. Ia bahu membahu bersama Pallister dan rekrutan anyar dari Norwegia, Ronny Johnsen. May kembali memenangi liga, membuat gol pada pertandingan Liga Champions, dan mendapat panggilan dari tim nasional sebagai ganjaran dari penampilan apiknya yang sukses bermain dalam 41 pertandingan.

Musim berikutnya, jumlah penampilan May langsung turun drastis. Cedera menjadi penyebab dirinya hanya bermain 11 kali. Kariernya kemudian semakin suram setelah Fergie mendatangkan beberapa pemain belakang seperti Henning Berg, Jaap Stam, dan mengorbitkan Wes Brown dari tim akademi.

Meski begitu, May terkadang masih diandalkan oleh Fergie terutama dalam partai-partai yang statusnya krusial. Ia turun sejak menit awal pada final Piala FA. Namanya bahkan ada di bangku cadangan United pada final Liga Champions 1999. Penggemar United tentu tidak lupa perayaannya saat gol kemenangan Solskjaer hadir memberikan tiga gelar untuk klub.

Setelah merasakan tiga gelar bersama United, May benar-benar tersingkir dari skuad. Dari musim 1999/2000 hingga pertengahan musim 2002/2003, ia hanya bermain 12 kali saja. Hal itu berarti, per musimnya, May hanya diberi kesempatan tiga kali main saja oleh Sir Alex. Meninggalkan United pada 2003 menjadi sesuatu yang sulit untuk dilakukan seorang May.

“Saya sudah lama tidak bermain, lalu bos menarik saya ke kantornya dan berkata: “Lihat, Anda sudah terlalu sering absen.” Lalu Rio (Ferdinand), Brown, dan O’Shea masuk ke dalam tim. Saya paham kalau karier saya akan selesai tidak lama lagi,” tuturnya.

“Menerima telepon dan mengatakan kalau United mempersilahkan saya pergi adalah sesuatu yang sulit saya terima. Mereka adalah keluarga saya selama sembilan tahun, tetapi saya mengerti kondisinya. Sir Alex memberi tahu saya kalau saya sudah menjadi pemain yang baik

Secara keseluruhan, May hanya bermain 118 kali sepanjang kariernya dan membuat 8 gol. Jika hanya menghitung penampilannya di Premier League, ia hanya bermain 85 kali saja atau rata-rata hanya bermain sembilan pertandingan saja.

Namun yang membuat karier May berjalan menarik adalah jumlah gelarnya yang cukup banyak untuk seorang pemain cadangan yaitu tujuh gelar. Tak ayal, catatan ini memantik ide dari pendukung United untuk membuat chant khusus kepadanya.

David May, superstar! Got more medals than Shearer!