Tepat pada hari ini 15 Maret, Paul Pogba, berulang tahun. Pemain termahal di dunia ini punya banyak cerita, dari yang bahagia sampai mengharukan. Penulis kami, Dzikry Lazuardi, merangkum masa kecil Pogba yang bahagia.

Di apartemen kecilnya di Roissy-en-Brie, daerah kecil di pinggiran timur Paris, Fassou Antoine Pogba memeperhatikan dengan serius halaman depan surat kabar Telegraph di mana terdapat foto anaknya, Paul. Ia juga merenungi hidunya sebagai ayah dari pemain termahal dunia. “Jika klub itu tidak berpikit bahwa ia pantas atas uang sebanyak itu, mereka tidak akan pernah membayarnya,” ujar Fassou.

Jika dibahas lebih dalam, mungkin kalimat ayah Paul akan panjang urusannya. Entah bagaimana Paul bisa menjadi pemain termahal dunia di umurnya yang baru menginjak 23 tahun. Tapi, setiap kesuksesan pasti ada awalnya. Begitu pun dengan Paul Pogba.

Pogba lahir di Lagny-sur-Marne, tepat 24 tahun yang lalu. Ia terlahir dari orang tua asal Guinea. Pogba adalah anak ketiga dari Fassou dan Yeo setelah anak kembar mereka, Mathias dan Florentin yang lahir tiga tahun sebelum Paul. Masa kecil Paul dihabiskan di daerah kecil dengan penuh kesederhanaan.

Paul tinggal di flat kecil dimana ia harus sekamar dengan kedua kakanya itu. “Saya tumbuh di sebuah flat bersama kakak dan sepupu saya. Saya tidur di kasur yang sama dengan kakak saya. Itu tidak mudah sehingga Anda ingin melakukan sesuatu yang dapat membuat hidup Anda berubah,” ujar Pogba.

Paul kecil memang sudah memiliki sifat-sifat orang sukses. “Dia selalu penasaran terhadap hal baru, meskipun ketika ia masih sangat kecil. Dia selalu ingin belajar hal baru. Kami selalu mendorongnya agar melakukan banyak hal dan mengikuti minatnya. Ketika saya melihat dia bermain sepakbola untuk pertama kalinya, saya bisa melihat bahwa tekniknya sangat baik. Dia berusia empat tahun saat itu, dan dia selalu bermain dengan anak yang lebih tua,” ujar Fassou yang pernah menjadi pelatih sepakbola itu.

Untuk anak-anak, hal yang sangat berpengaruh tentu adalah umur. Semakin tua maka semakin banyak pengalaman bermainnya. Selain itu, fisik anak yang lebih tua tentu saja cenderung lebih besar. Tapi Paul tidak mempermasalahkan itu.

Masa kecil Paul tidak terlepas dari keluarganya yang sangat mendukungnya. Ayahnya mengenalkannya kepada sepakbola. Saat itu, Fassou bekerja di bidang telekomunikasi setelah sebelumnya sempat menggeluti sepakbola namun tidak sampai ke level yang tinggi. Yeo tidak berhenti mendukung Paul untuk mencapai cita-citanya, bahkan Yeo seperti sudah mengetahui bahwa anak-anaknya akan menjadi pesepakbola ketika mereka masih kecil.

Sementara itu, Mathias dan Florentin kerap mengajak Paul untuk bermain bersama mereka dan teman-temannya yang umurnya cukup jauh diatas Paul. Namun itulah yang membuat Paul benar-benar berkembang.

“Saya bermain pada level di bawah yang saya inginkan. Saya ingin anak-anak saya (Pogba dan kedua kakanya) bermain di level tertinggi. Saya sangat keras kepada mereka sejak kecil dan bertujuan agar mereka bisa belajar dengan cepat. Akhirnya saya bisa melakukan itu ketika saya melatih anak-anak lain agar saya bisa memberi Paul pengalaman bertanding saat ia masih empat, lima, dan enam tahun. Saya berusaha untuk membawa dia ke level di mana ia seharusnya berada,” ungkap Fassou.

“Ketika saya berusaha untuk mengembangkan anak saya, Paul terus berkembang dan bermain dengan anak yang umurnya jauh diatas dia, termasuk kedua kakanya. Di Renardiere (residen dimana keluarga Pogba tinggal), semua anak bermain sepakbola sepanjang hari jadi dia selalu memiliki kesempatan untuk bermain. Saat dia masih sangat kecil, dia sudah ingin menjadi pemain profesional.”

Saat itu, Paul amsih bermain 5-a-side-football (mirip futsal) di lingkungan rumahnya. Hingga akhirnya ia tumbuh dan mulai menapaki level yang lebih tinggi, bermain 11 melawan 11. Hanya ada satu tempat untuk bermain sepakbola di Renardiere, yaitu di sebuah lapangan yang bernama Stade Paul Bessuard, tempat yang juga menjadi pusat pelatihan US Roisy, sebuah klub kecil dimana mimpi Paul benar-benar dimulai.