Ole Gunnar Solskjaer berada dalam tekanan. Setelah menang melawan Chelsea, satu per satu hasil kurang meyakinkan mulai didapat pada musim penuh pertamanya. Hanya satu kali menang dari lima laga terakhir Premier League menjadi catatan negatif yang harus dilalui sejauh ini. Bahkan ketika menghadapi klub-klub kecil macam Astana dan Rochdale pun, United kepayahan.

Belum ada perubahan yang berarti dari United saat ini. Terutama jika berkaca dari hasil akhir. Dalam 27 laga Premier League di era Solskjaer, United meraih 14 kemenangan, 6 seri, dan 7 kali kalah. Hasil ini identik dengan catatan 27 laga terakhir Jose Mourinho ketika ia masih menangani tim ini. Bahkan dari 15 pertandingan yang dijalani (sebelum melawan Arsenal) mereka baru empat kali menang.

Torehan ini mulai membawa namanya berada dalam sorotan. Baik itu berasal dari media, para pundit, maupun penggemar United itu sendiri. Banyak dari mereka yang mulai mempertanyakan kapasitasnya sebagai sosok yang tepat untuk membawa klub ini ke arah yang lebih baik lagi.

Solskjaer beberapa kali menekankan kalau dia butuh waktu. Kata yang disebut terakhir ini memang cukup langka dalam kondisi sepakbola yang serba instan dan cepat. Namun jika permainan di atas lapangan tidak ada perubahan, maka bisa jadi dia juga tidak akan diberi waktu.

“Situasinya tidak sama seperti yang kami alami tahun lalu. Tidak ada hasrat yang hilang di sana. Bagi kami adalah tentang membangun budaya baru, membangun tim baru, dan menyatukan semua orang. Saya tidak pernah mengatakan ini akan menjadi perbaikan yang cepat. Perbaikan yang kami lakukan sifatnya selangkah demi selangkah,” tuturnya kepada Sky Sports.

Pendukung United gemar menyebut Liverpool era Klopp sebagai contoh tepat bagaimana pentingnya waktu untuk seorang manajer. Ketika manajer asal Jerman ini pertama kali datang, Liverpool hanya meraih 23 poin dari kemungkinan 51 yang bisa didapat dalam 17 laga pertamanya. Namun berkat kepercayaannya kepada Klopp, Liverpool lambat laun berkembang dan mulai menjadi penantang gelar juara di Liga Inggris dan Liga Champions.

Namun tidak sedikit para penggemar United yang merasa enggan untuk mengharapkan kisah Solskjaer kedepannya akan sama dengan kisah Klopp di Anfield. Latar belakang kompetisi, kapasitas taktik, manajemen yang bagus, serta gelar yang diraih, Solskjaer memang belum ada apa-apanya dibandingkan Klopp.

Belum lagi soal detail kecil seperti permainan tim di atas lapangan. Penggemar United nampaknya lebih membutuhkan itu ketimbang harus berandai-andai kalau Solskjaer akan memiliki cerita yang sama seperti Klopp. Akan tetapi, ia tetap merasa yakin kalau dirinya bisa berhasil jika ia diberikan waktu.

“Saya berkali-kali katakan kalau pekerjaan ini tidak bisa cepat. Kita pasti akan menabrak beberapa sandungan. Roma tidak dibangun dalam seharis. Kita butuh waktu, dan sikap para pemain begitu luar biasa. Mereka ingin belajar, lalu suasana hati ditentukan ole permainan. Ketika saya melakukan wawancara, beberapa hari setelah tim kalah, maka itu akan membuat Anda lebih ingin menatap ke depan,” tuturnya.

Saya Tidak Mau Marah-Marah di Media

Tidak hanya soal hasil akhir dan kapasitas taktik, Solskjaer juga dipertanyakan dalam hal sikap dan pendekatan kepada beberapa pemainnya. Tidak sedikit yang menyebut kalau Ole orang yang lembek, tidak mau bersikap keras meski pemainnya memang bermain buruk, dan tidak pernah ada kritik yang keluar dari mulutnya.

Hal ini cepat-cepat diluruskan oleh mantan manajer Cardiff City ini. Ia menyebut kalau dirinya selalu marah jika tim mengalami kekalahan. Namun ia menyebut kalau rasa marahnya tersebut tidak akan ia umbar ke media seperti yang dilakukan manajer sebelunya. Hal ini seperti ketika tim masih dipegang oleh Sir Alex Ferguson dulu.

“Tentu saja saya marah (jika kalah). Tapi saya tidak akan menunjukkannya kepada semua orang. Saya tidak bisa keluar dengan kondisi seperti itu (marah-marah). Saya punya cara saya, dan memimpin pemain dengan cara yang saya anggap benar. Apa yang terjadi di ruang ganti, maka berhentilan di sana. Semua pemain harus diperlakukan secara berbeda. Itulah atribut yang dimiliki pelatih seperti (Sir Alex) Ferguson. Dia tahu cara menekan tombol yang berada dalam diri beberapa pemain.”

Selagi masih berada pada bulan September, United harus memperbaiki performa mereka. Lawan Arsenal bisa menjadi patokan awal untuk perjalanan mereka di sisa kompetisi yang dijalani. Ada ancaman dia akan kembali dihujat jika gagal memperbaiki performa klub. Namun ia tetap yakin kalau dia adalah orang yang tepat untuk klub sebesar United.

“Di Norwegia, ada pepatah yang menyebut kalau Anda harus mempercayai diri Anda sendiri dan mendukung diri Anda sendiri. Sebagai pemain, apakah saya cukup baik? Orang lain yang harus menjawab seperti itu. Namun sebagai manajer, apakah saya orang yang cukup baik? Saya percaya diri untuk bisa melakukannya,” tuturnya.