Awal sulit harus dirasakan Andre Onana. Namun melihat apa yang sudah ia lakukan sejak pertama kali kedatangannya, Onana sebenarnya harus bersyukur karena masalah yang ia alami tidak sekompleks David de Gea.

Harry Maguire menjadi bintang lapangan saat Manchester United menang melawan Copenhagen pada matchday 3 Liga Champions. Satu golnya membuat Setan Merah memperpanjang asa untuk lolos ke fase gugur sekaligus mendapatkan tiga poin perdana mereka.

Namun sosok yang tidak kalah sentral dari kemenangan tersebut adalah sang penjaga gawang, Andre Onana. Selama 90 menit, Onana mementahkan banyak peluang berbahaya dari mantan klub Rasmus Hojlund tersebut.

Puncaknya sudah pasti ketika Copenhagen mendapat penalti pada menit terakhir pertandingan. Betapa sembrononya Scott McTominay saat itu memaksa wasit menunjuk titik putih. Beruntung Onana hadir di saat yang tepat. Eksekusi penalti Jordan Larsson berhasil ia baca dengan baik dan menjadi tendangan terakhir pada pertandingan tersebut.

Onana begitu emosional. Ia disambut dengan pelukan dari para rekannya. Aksi heroiknya datang pada saat yang tepat.

Momen tersebut tampak menjadi momen penebusan kembali bagi eks Inter Milan ini. Pada awalnya, ia dituduh tidak lebih baik dari David de Gea. Terutama dalam kemampuan menahan tembakan. Laga melawan Bayern Munich dan Galatasaray saat itu menjadi masa penghakiman bagi dirinya.

Namun sejak aksinya melawan Copenhagen tersebut performa Onana pelan-pelan mulai membaik. Meski harus kemasukan tiga kali melawan City, namun Onana tetap menunjukkan penampilan yang positif di tengah lini belakang United yang berantakan.

Setidaknya kini Onana mulai bisa menunjukkan aksi sebagai shot-stopper. Tidak lagi dipandang sebagai kiper yang hanya bisa build-up. Terlebih lagi, kini Onana tampak mulai bisa beradaptasi dengan standar sepakbola di Manchester United dan juga Inggris. Onana jauh lebih cepat mendapatkan momentumnya. Tidak seperti De Gea yang mengalami awal musim jauh lebih sulit ketimbang dirinya.

***

Saat United kehilangan Edwin Van der Sar, manajemen klub berharap tidak ingin berlama-lama mencari sosok pengganti. Deretan kiper hebat pun diseleksi dan hasilnya De Gea saat itu didatangkan dari Atletico Madrid.

Tapi kita semua tahu apa yang terjadi setelah perekrutan itu. Keraguan hadir dengan postur De Gea yang kurus kering ditakutkan ia tidak bisa beradaptasi dengan sepakbola Inggris. Hal itu pun terlihat ketika ia tidak bisa menahan sergapan Lescott dan Dzeko saat Community Shield melawan City.

Pekan pertamanya di Premier League juga tidak kalah mengecewakan. Meski United menang 2-1 melawan WBA, namun satu-satunya gol lawan saat itu hadir karena De gea tidak bisa menangkap tendangan Shane Long yang bisa dibilang sangat pelan. Tidak hanya itu, tubuhnya yang kurus membuatnya menjadi sasaran. Tiap kali WBA mendapat bola mati, sebisa mungkin bola ditempatkan di kotak kecil agar De Gea dipaksa berduel dengan lawannya.

Selain itu, De Gea juga mendapat masalah kedisiplinan. Ia tidak mau belajar bahasa Inggris, tidak bisa nyetir, hingga kebanyakan makan taco sampai larut malam. Hal ini bahkan membuat pelatih kiper saat itu, Eric Steele, pusing bagaimana cara untuk membuat anak ini patuh.

“Enam bulan pertamanya buruk sekali. Berat De Gea hanya 71 kilogram. Kami ingin membuatnya berubah. Setiap kali selesai latihan, ia pasti memilih untuk langsung pulang. Saat saya memintanya untuk kembali ke sini sore hari ia justru akan menjawab: ‘Mengapa?’

Berbeda dari De Gea, Onana punya kedisiplinan yang cukup oke. Dia sangat patuh. Bahkan mentalitasnya luar biasa. Ketika ia membuat kesalahan, ia langsung pasang badan. Faktor usia mungkin sangat berpengaruh. De Gea datang dengan statusnya yang masih remaja, sedangkan Onana datang ketika usianya sebagai pemain sepakbola sudah cukup matang.

Beruntung bagi keduanya karena baik Onana dan De Gea mendapat perlindungan dari manajernya masing-masing. Di tengah keraguan soal De Gea pada saat itu, Ferguson memilih untuk meminta pelatih kiper untuk terus memberi protein shake kepada De Gea agar tubuh sang penjaga gawang lebih ideal. Padahal, disaat itu Fergie masih punya Anders Lindegaard yang juga tidak buruk-buruk amat.

Di sisi lain, kehadiran Erik ten Hag benar-benar membantu Onana untuk melewati masa sulitnya. Saat tekanan untuk memainkan Altay Bayindir begitu besar, Ten Hag terus percaya kepada mantan anak asuhnya tersebut. Pada sesi latihan, Onana mendapat treatment berupa sesi menahan tendangan langsung baik dari luar maupun dari dalam kotak penalti.

Yang membedakannya adalah ketika itu Lindegaard masih mendapat kesempatan dalam beberapa laga untuk menguji apakah De Gea mau berubah untuk menjadi kiper yang lebih baik lagi. Beda dengan Bayindir yang hingga tulisan ini dibuat belum terlihat kapan dia akan berdiri di bawah mistar.

Singkatnya, kesalahan adalah bagian dari permainan sepakbola. Semua penjaga gawang pada umumnya pasti pernah melakukan itu. Bahkan kiper sarat pengalaman macam Gianluigi Buffon saja pernah membuat blunder konyol.

Tinggal bagaimana si pemain mengubah kesalahan yang pernah ia lakukan tersebut menjadi sebuah motivasi untuk tampil lebih baik lagi pada pertandingan berikutnya. Itulah yang kemudian dilakukan De Gea pada masa lalu dan sekarang sedang dicoba oleh Onana pada masa sekarang.